“Manusia menadi saksi atas dirinya sendiri, walaupun ia mengemukakan dalih-dalihnya,” (QS. Al-Qiyâmah [75] : 14-15)
Nurani berasal dari kata nur, yang berarti cahaya. Jadi, nuraniyyun, ialah sesuatu yang bersifat cahaya dan menerangi. Menurut ahli tasawuf, manusia terdiri dari akal, hati, nurani, syahwat dan hawa nafsu.
Akal untuk memecahkan masalah, hati untuk memahami realita, nurani adalah pandangan batin, syahwat penggerak tingkah laku atau motif, dan hawa nafsu ialah kekuatan membahayakan untuk menguji manusia.
Perangkat manusia tadi dipimpin oleh hati. Kalau hatinya baik, perilakunya juga baik. Sebaliknya, kalau hatinya buruk, perilakunya juga buruk. Makna nurani lebih dekat kepada hati, sehingga terkenal dengan istilah hati nurani. Sifatnya sangat ruhaniah dan mengajak manusia agar berperilaku baik, membantunya mengatakan mana yang benar dan mana yang salah. Dia (nurani) bersemayam dalam diri semua orang.
Nurani seseorang pada hakikatnya tidak pernah berbeda dengan nurani orang lain. Dengan kata lain, apa yang dirasa benar oleh nurani seseorang sebenarnya dirasa benar juga oleh orang lain asalkan berlaku kondisi dan situasi yang sama.
Allah Swt. Berfirman: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang megotorinya,” (Q.S. Syams [91]: 7-10). Nurani sebagai petunjuk jalan menuju kebenaran adalah ilham dari Allah.
Melalui nurani, Allah membiarkan kita tahu sikap dan perilaku terbaik dan paling indah. Nurani menjadikan manusia mendapatkan petunjuk guna menempuh jalan yang benar dan lurus. Seseorang yang mau mendengar hati nuraninya akan mencari jawaban dan menjelajahi apa yang terlihat di sekelilingnya untuk kebenaran. Seseorang yang telah mengembangkan kepekaan ini akan dengan mudah merasakan dirinya tinggal di sebuah dunia yang tercipta tanpa cacat (baca: bersyukur).
Armahedi Mahzar dalam Integralisme; Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam (1983: 33) mengatakan, seorang individu selalu berusaha menyesuaikan dirinya dengan etika yang berlaku di masyarakat. Kesadaran terhadap dirinya adalah hasil dari proses “akali-qalbi-nurani” dalam mengurai apa yang terdapat dalam diri.
Dengan akali atau intelektualita seseorang terus digunakan untuk berpikir tentang dirinya. Qalbi atau sensibilita diarahkan untuk terus merenungkan kepribadian yang ditunjukkan kepada lingkungan masyarakat. Sedangkan nurani atau moralita dijadikan upaya untuk memadukan akali dan qalbi dengan mengetengahkan prinsip-prinsip moral.
Berpadunya intelektualita, sensibilita, dan moralita dalam kehidupan kita memang sangat penting. Nurani sangat menentukan kadar keimanan dan akhlak manusia, karena dapat menangkal bisikan hati yang buruk (dzulmani). Pakar ESQ, Ary Ginanjar Agustian, misalnya, mengartikan nurani sebagai bisikan kebaikan universal dalam diri manusia untuk mengisi hidup dengan perilaku mulia.
Menghormati nurani kita berarti terus-menerus menjalankan perilaku yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. Ketika kita sedang berjalan di trotoar jalanan yang ramai dengan kendaraan, kemudian melihat nenek-nenek yang akan menyebrang. Muncullah bisikan dari hati untuk segera membantunya. Sederhananya, itulah yang disebut dengan nurani. Ada semacam niat untuk menolong orang yang sedang membutuhkan pertolongan.
Begitu juga dengan keagamaan seseorang. Ketika kita mendengar dari ustadz bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang, ada dua bisikan hati: benar atau tidak? Apabila mengikuti hati nurani kita, akan mengikuti bisikan hati yang baik dan positif dalam meyakini sifat-sifat-Nya itu.
Kita, tidak akan menolak dan menafikan sifat Rahman dan Rahim Allah sang Penguasa Alam. Tetapi manusia diberikan kebebasan untuk memilih bisikan-bisikan hatinya dengan syarat bertanggung jawab atas pilihannya. Di dalam Al-Quran dijelaskan: “Manusia menadi saksi atas dirinya sendiri, walau¬pun ia mengemukakan dalih-dalihnya,” (Q.S. Al-Qiyâmah [75] : 14-15).
Ketika kita tidak mendengarkan dan melaksanakan apa yang dibisikan nurani, itu sama saja dengan memasung hak nurani untuk memberikan arahan dalam hidup. Pemasungan nurani men-cabut totalitas kita sebagai manusia. Karena itu, agama Islam menegaskan siapa yang berbuat baik, kebaikan itu kem¬bali kepada dirinya sendiri. Demikianlah agama memberikan kebebasan ke-pada kita sekaligus meletakkan tanggung jawab kepada setiap individu.
Mengetahui apakah bisikan hati terkategori nurani adalah dengan mengetahui apakah bisikan hati itu baik dan bermanfaat untuk orang banyak ataukah tidak. Sebab, kalau bisikan hati cenderung kepada bisikan buruk dan jahat, itu dinamakan dengan dzulmani (kegelapan diri).
Kalau kita gagal menetapkan bisikan hati menjadi perilaku, tidak perlu gelisah dan menggerutu. Bukankah peraturan hanya membantu mengarahkan dan belum menjamin terlaksananya apa yang kita inginkan? Ingat, manusia terus berproses memahami kebaikan dan kebenaran yang disampaikan. Wallahua’lam
Oleh Sukron Abdilah
sumber : www.republika.co.id
Nurani berasal dari kata nur, yang berarti cahaya. Jadi, nuraniyyun, ialah sesuatu yang bersifat cahaya dan menerangi. Menurut ahli tasawuf, manusia terdiri dari akal, hati, nurani, syahwat dan hawa nafsu.
Akal untuk memecahkan masalah, hati untuk memahami realita, nurani adalah pandangan batin, syahwat penggerak tingkah laku atau motif, dan hawa nafsu ialah kekuatan membahayakan untuk menguji manusia.
Perangkat manusia tadi dipimpin oleh hati. Kalau hatinya baik, perilakunya juga baik. Sebaliknya, kalau hatinya buruk, perilakunya juga buruk. Makna nurani lebih dekat kepada hati, sehingga terkenal dengan istilah hati nurani. Sifatnya sangat ruhaniah dan mengajak manusia agar berperilaku baik, membantunya mengatakan mana yang benar dan mana yang salah. Dia (nurani) bersemayam dalam diri semua orang.
Nurani seseorang pada hakikatnya tidak pernah berbeda dengan nurani orang lain. Dengan kata lain, apa yang dirasa benar oleh nurani seseorang sebenarnya dirasa benar juga oleh orang lain asalkan berlaku kondisi dan situasi yang sama.
Allah Swt. Berfirman: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang megotorinya,” (Q.S. Syams [91]: 7-10). Nurani sebagai petunjuk jalan menuju kebenaran adalah ilham dari Allah.
Melalui nurani, Allah membiarkan kita tahu sikap dan perilaku terbaik dan paling indah. Nurani menjadikan manusia mendapatkan petunjuk guna menempuh jalan yang benar dan lurus. Seseorang yang mau mendengar hati nuraninya akan mencari jawaban dan menjelajahi apa yang terlihat di sekelilingnya untuk kebenaran. Seseorang yang telah mengembangkan kepekaan ini akan dengan mudah merasakan dirinya tinggal di sebuah dunia yang tercipta tanpa cacat (baca: bersyukur).
Armahedi Mahzar dalam Integralisme; Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam (1983: 33) mengatakan, seorang individu selalu berusaha menyesuaikan dirinya dengan etika yang berlaku di masyarakat. Kesadaran terhadap dirinya adalah hasil dari proses “akali-qalbi-nurani” dalam mengurai apa yang terdapat dalam diri.
Dengan akali atau intelektualita seseorang terus digunakan untuk berpikir tentang dirinya. Qalbi atau sensibilita diarahkan untuk terus merenungkan kepribadian yang ditunjukkan kepada lingkungan masyarakat. Sedangkan nurani atau moralita dijadikan upaya untuk memadukan akali dan qalbi dengan mengetengahkan prinsip-prinsip moral.
Berpadunya intelektualita, sensibilita, dan moralita dalam kehidupan kita memang sangat penting. Nurani sangat menentukan kadar keimanan dan akhlak manusia, karena dapat menangkal bisikan hati yang buruk (dzulmani). Pakar ESQ, Ary Ginanjar Agustian, misalnya, mengartikan nurani sebagai bisikan kebaikan universal dalam diri manusia untuk mengisi hidup dengan perilaku mulia.
Menghormati nurani kita berarti terus-menerus menjalankan perilaku yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. Ketika kita sedang berjalan di trotoar jalanan yang ramai dengan kendaraan, kemudian melihat nenek-nenek yang akan menyebrang. Muncullah bisikan dari hati untuk segera membantunya. Sederhananya, itulah yang disebut dengan nurani. Ada semacam niat untuk menolong orang yang sedang membutuhkan pertolongan.
Begitu juga dengan keagamaan seseorang. Ketika kita mendengar dari ustadz bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang, ada dua bisikan hati: benar atau tidak? Apabila mengikuti hati nurani kita, akan mengikuti bisikan hati yang baik dan positif dalam meyakini sifat-sifat-Nya itu.
Kita, tidak akan menolak dan menafikan sifat Rahman dan Rahim Allah sang Penguasa Alam. Tetapi manusia diberikan kebebasan untuk memilih bisikan-bisikan hatinya dengan syarat bertanggung jawab atas pilihannya. Di dalam Al-Quran dijelaskan: “Manusia menadi saksi atas dirinya sendiri, walau¬pun ia mengemukakan dalih-dalihnya,” (Q.S. Al-Qiyâmah [75] : 14-15).
Ketika kita tidak mendengarkan dan melaksanakan apa yang dibisikan nurani, itu sama saja dengan memasung hak nurani untuk memberikan arahan dalam hidup. Pemasungan nurani men-cabut totalitas kita sebagai manusia. Karena itu, agama Islam menegaskan siapa yang berbuat baik, kebaikan itu kem¬bali kepada dirinya sendiri. Demikianlah agama memberikan kebebasan ke-pada kita sekaligus meletakkan tanggung jawab kepada setiap individu.
Mengetahui apakah bisikan hati terkategori nurani adalah dengan mengetahui apakah bisikan hati itu baik dan bermanfaat untuk orang banyak ataukah tidak. Sebab, kalau bisikan hati cenderung kepada bisikan buruk dan jahat, itu dinamakan dengan dzulmani (kegelapan diri).
Kalau kita gagal menetapkan bisikan hati menjadi perilaku, tidak perlu gelisah dan menggerutu. Bukankah peraturan hanya membantu mengarahkan dan belum menjamin terlaksananya apa yang kita inginkan? Ingat, manusia terus berproses memahami kebaikan dan kebenaran yang disampaikan. Wallahua’lam
Oleh Sukron Abdilah
sumber : www.republika.co.id