Seorang Arab Badui pulang dari pengembaraannya. Tidak lama kemudian, Abu Ja’far al-Manshur, seorang Khalifah Abasiyah, memanggilnya. Arab Badui ini diminta untuk bercerita tentang kesan perjalanannya. Khalifah pemoles Baghdad ini bermaksud untuk memastikan bahwa tiada yang semegah Baghdad.
“Benar!” demikian kesan lelaki Badui yang polos ini. “Baghdad megah, tapi angker. Rajanya sulit ditemui!” Dilanjutkanlah kisah perjalanannya itu dengan membandingkan Chang-an, ibu kota Cina, di mana ia sempat sangat lama berkunjung. “Kotanya rapi, kaisarnya sudah tua namun bijaksana.”
Dengan bersemangat, si Arab Badui ini terus melanjutkan kisahnya. Ketika semakin uzur, kaisar ini mulai kehilangan daya dengar. Dia mulai tuli dan teramat sedih yang mendalam. Para menteri menghiburnya. “Aku sedih bukan meratapi diri, wahai para menteriku,” ujar Kaisar, “aku menyesal sebab kini tidak lagi bisa mendengar langsung keluhan rakyat.”
Sejak saat itu, Sang Kaisar rajin bertandu mengelilingi dan blusukan ke tempat-tempat yang tak terjangkau. Sementara urusan pemerintahan diserahkan kepada salah seorang menteri terbaiknya yang lalu diangkat menjadi perdana menteri (Chen Xiang). Lalu apa yang dikerjakan Sang Kaisar tua ini?
Sang Kaisar semakin tak terkendali dalam “aksi unik”-nya ini. Ia masuk kampung keluar kampung. Rajin dia mendengar keluhan rakyat sekaligus menyemangati mereka. Karena pendengarannya lemah, Kaisar menitahkan agar yang ingin mengajukan masalah, mengenakan pakaian merah dan menuliskannya dalam secarik kertas.
Atas titahnya, tim khusus kekaisaran segera menindaklanjuti setiap aduan sesuai tingkat pengambil kebijakan, desa hingga pusat. Atas perbuatan kaisar ini, terilhamilah rakyat; baca tulis meningkat, kinerja semakin bersemangat, pemerintahan tertata, dan pada akhirnya Dinasti Tang semakin jaya.
Nah, kesimpulan si Badui ini pada al-Manshur, “Amirul Mukminin tentu lebih berhak melakukan semua hal indah itu dari pada Kaisar Cina. Sebab, Kaisar itu melakukannya demi kemaslahatan dunia. Sementara engkau adalah pemimpin yang dibimbing Alquran dan sunah, di dunia hingga akhirat.”
Seperti kita tahu, Baghdad di masa Abu Ja’far adalah kota terbesar di dunia dengan penduduk tiga juta jiwa. Terbesar kedua setelah Chang-an, ibu kota Dinasti Tang. Puncak Baghdad, tempat tinggal sang penguasa, menjulang tinggi di tengah kota; untuk sampai ke ruang Sang Khalifah, harus melewati 40 lapis penjaga.
Sementara kepribadian Abu Ja’far, tertulis dengan berlumur darah tinta sejarah. Bengis dan tidak berperikemanusiaan. “Aku takut terciprati darah Ibnu Thawus saat kami bertiga diinterogasi al-Manshour (Abu Ja’far),” ujar Imam Malik menuturkan tentang kisahnya saat dipanggil bersama Abu Hanifah dan Ibnu Thawus al-Yamani.
Bagaimana dengan kepemimpinan di negeri ini? Jika tidak ingin tersinggung oleh nasihat Arab Badui atau nanti kotor dalam tinta sejarah, ‘amalan’ Kaisar Chang-an boleh ditiru. Wallahu a’lam.
, Oleh Ustaz M Arifin Ilham
sumber : www.republika.co.id
“Benar!” demikian kesan lelaki Badui yang polos ini. “Baghdad megah, tapi angker. Rajanya sulit ditemui!” Dilanjutkanlah kisah perjalanannya itu dengan membandingkan Chang-an, ibu kota Cina, di mana ia sempat sangat lama berkunjung. “Kotanya rapi, kaisarnya sudah tua namun bijaksana.”
Dengan bersemangat, si Arab Badui ini terus melanjutkan kisahnya. Ketika semakin uzur, kaisar ini mulai kehilangan daya dengar. Dia mulai tuli dan teramat sedih yang mendalam. Para menteri menghiburnya. “Aku sedih bukan meratapi diri, wahai para menteriku,” ujar Kaisar, “aku menyesal sebab kini tidak lagi bisa mendengar langsung keluhan rakyat.”
Sejak saat itu, Sang Kaisar rajin bertandu mengelilingi dan blusukan ke tempat-tempat yang tak terjangkau. Sementara urusan pemerintahan diserahkan kepada salah seorang menteri terbaiknya yang lalu diangkat menjadi perdana menteri (Chen Xiang). Lalu apa yang dikerjakan Sang Kaisar tua ini?
Sang Kaisar semakin tak terkendali dalam “aksi unik”-nya ini. Ia masuk kampung keluar kampung. Rajin dia mendengar keluhan rakyat sekaligus menyemangati mereka. Karena pendengarannya lemah, Kaisar menitahkan agar yang ingin mengajukan masalah, mengenakan pakaian merah dan menuliskannya dalam secarik kertas.
Atas titahnya, tim khusus kekaisaran segera menindaklanjuti setiap aduan sesuai tingkat pengambil kebijakan, desa hingga pusat. Atas perbuatan kaisar ini, terilhamilah rakyat; baca tulis meningkat, kinerja semakin bersemangat, pemerintahan tertata, dan pada akhirnya Dinasti Tang semakin jaya.
Nah, kesimpulan si Badui ini pada al-Manshur, “Amirul Mukminin tentu lebih berhak melakukan semua hal indah itu dari pada Kaisar Cina. Sebab, Kaisar itu melakukannya demi kemaslahatan dunia. Sementara engkau adalah pemimpin yang dibimbing Alquran dan sunah, di dunia hingga akhirat.”
Seperti kita tahu, Baghdad di masa Abu Ja’far adalah kota terbesar di dunia dengan penduduk tiga juta jiwa. Terbesar kedua setelah Chang-an, ibu kota Dinasti Tang. Puncak Baghdad, tempat tinggal sang penguasa, menjulang tinggi di tengah kota; untuk sampai ke ruang Sang Khalifah, harus melewati 40 lapis penjaga.
Sementara kepribadian Abu Ja’far, tertulis dengan berlumur darah tinta sejarah. Bengis dan tidak berperikemanusiaan. “Aku takut terciprati darah Ibnu Thawus saat kami bertiga diinterogasi al-Manshour (Abu Ja’far),” ujar Imam Malik menuturkan tentang kisahnya saat dipanggil bersama Abu Hanifah dan Ibnu Thawus al-Yamani.
Bagaimana dengan kepemimpinan di negeri ini? Jika tidak ingin tersinggung oleh nasihat Arab Badui atau nanti kotor dalam tinta sejarah, ‘amalan’ Kaisar Chang-an boleh ditiru. Wallahu a’lam.
, Oleh Ustaz M Arifin Ilham
sumber : www.republika.co.id