KONFLIK negara adalah isu yang terus menggelinding setiap waktu dan penyelesaiannya sangatlah alot. Setiap tahun selalu ada persengketaan antara dua negara. Indonesia pernah memanas dengan Malaysia di Sipadan wilayah perairan Kalimantan, Cina sekarang berseteru dengan Filipina di perairan Laut Cina Selatan, Serbia dengan Bosnia, dan perseteruan yang tak pernah berakhir antara Israel dan Palestina. Masih banyak catatan persengketaan bilateral dua negara yang terpaksa harus diselesaikan dengan angkat senjata.
Antrean problematika konflik bilateral --yang kerap memicu konflik multilateral-- menuntut para pihak untuk menyelesaikannya secara damai. PBB sebagai organisasi perdamaian dunia dituntut untuk mengatasi perselisihan dengan cara damai, konsisten berada di tengah-tengah tanpa diintervensi oleh kekuatan negara-negara super power. Itulah sebabnya PBB kemudian membentuk pasukan pemeliharaan perdamaian (peacekeeper) pada 29 Mei 60 tahun silam.
Pasukan pemelihara perdamaian adalah alat yang terdapat dalam tubuh PBB yang memiliki hak legitimasi, kemampuan untuk membatasi ruang gerak tentara dan polisi di seluruh dunia, serta mengintegrasi tentara dan polisi dengan pasukan penjaga perdamaian dalam operasi multidimensi.
Menurut data yang dihimpun dari United Nations Blog (http://www.un.org/en/ peacekeeping/ operations/history.shtml) hingga bulan Mei 2010, pasukan pemelihara perdamaian PBB memiliki lebih dari 124.000 personel militer, polisi, dan staf sipil yang berasal lebih dari 110 negara di dunia. Jumlah tersebut terus meningkat hingga saat ini, terbukti dengan bertambahnya kuota staf sipil resmi PBB hingga tembus angka 1.009 pada Februari 2012.
Tantangan
Pasukan pemeliharaan perdamaian yang telah eksis lebih dari 60 tahun semakin hari semakian mendapat tantangan yang luar biasa beratnya. Pasukan ini harus menjalankan misi sebagai kontigen perdamaian, mendukung dan menyuplai institusi negara pascakonflik yang masih lemah selama transisi politik sehingga mampu bangkit dan menata kembali negaranya sendiri bertahap mulai dari alas fundamental, serta memberdayakan dan melindungi warga sipil korban konflik sesuai prosedur hukum dan peradilan untuk menekan sikap introvert.
Di satu sisi pasukan ini harus besikap netral, tidak berpihak kepada negara manapun, dan tidak boleh diintervensi oleh kekuatan mana pun; di sisi lain dalam situasi tertentu pasukan pemelihara perdamaian pun harus tetap tegas dan siap "menghukum" negara-negara pembangkang yang melanggar kesepakatan. Oleh karena itu, mau tidak mau anggota pasukan ini mesti memiliki kemampuan militer dan berstrategi.
Kontingen Garuda
Indonesia sebagai anggota perdamaian dunia mengimplementasikannya dengan berpartisipasi di tubuh Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB sejak 1957. TNI dengan standar manuver terbaik yang tergabung dalam Kontigen Garuda merupakan unsur vital di dalamnya.
Dalam kurun waktu 55 tahun, Indonesia telah mengirimkan 26 kontigen untuk mengintervensi negara konflik dalam upaya perdamaian. Kontingen Garuda I, dengan 559 personel yang merupakan gabungan dari Resimen Infanteri-15 Tentara Territorium IV/Diponegoro dengan Resimen Infanteri-18 Tentara Territorium V/Brawijaya Malang, dikirim pada 8 Januari 1957 ke Mesir ketika Majelis Umum PBB memutuskan untuk menarik mundur pasukan Inggris, Prancis dan Israel dari wilayah Mesir. Saat ini, sekitar 2000 Pasukan Perdamaian Indonesia dioperasikan di 7 negara konflik, dengan rincian (halonusantara.com) Lebanon (1.455 orang), Kongo (192), Haiti(170), Darfur (146), Sudan Selatan (8)), dan Liberia (1orang).
Eksistensi Indonesia dalam upaya memproteksi negara konflik dengan aktif mengirimkan pasukan pemelihara perdamaian diapresiasi secara positif. Poin terpenting, kebudayaan Indonesia yang mendoktrin warganya untuk menjadi masyarakat berbudi, ramah, dan hangat, direfleksikan dengan baik oleh Kontigen Garuda secara lebih fleksibel, hal itu merupakan tindakan preventif terhadap penolakan warga sipil negara konflik, seperti di Sudan. Keramahan adalah langkah diplomatik agar ketegangan tidak berlarut.
Pasukan pemelihara perdamaian, memerlukan kecermatan dalam menjalin hubungan baik dengan pihak yang terkait konflik, sehingga tidak melakukan kegiatan yang melanggar marjin dan tidak akan menurunkan citra independensi dan netralitas.
Kontingen Garuda telah memberi warna tersendiri dalam pasukan pemeilahara perdamaian. Kontingen Garuda lebih menggunakan pendekatan preventif dan persuasif agar dicapai perdamaian yang sesungguhnya. Kontingen Garuda berpegang pada prinsip-prinsip perdamaian sebagaimana yang dikumandangkan PBB. United Nations Blog menyatakan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar operasi pemelihara perdamaian dapat berjalan sukses dan sinkron.
1. Pasukan pemelihara perdamaian harus mengikuti prinsip-prinsip persetujuan, ketidakberpihakan, dan menghindari penggunaan kekuatan kecuali untuk membela diri dan melaksanakan mandat. 2. Menunjukkan kredibilitas terutama di mata penduduk setempat. 3. Membuat komitmen politik dengan pihak terkait menuju perdamaian. 4. Menunjukkan kepekaan tinggi terhadap penduduk setempat dan menetapkan standar profesionalisme tinggi dalam berperilaku, karena pasukan perdamaian harus menghindarkan diri menjadi bagian dari konflik.
Kesungguhan Indonesia
Saat ini, TNI menempatkan pasukan penjaga perdamaian Indonesia dengan jumlah personel terbesar di Lebanon, Haiti, dan Kongo. Sedangkan military observer, personel yang terlatih dan dibekali ilmu dalam misi PBB serta mempunyai kecakapan khusus sebagai pengamat militer, ditempatkan di beberapa negara seperti Sudan, Sudan Selatan, Liberia, dan Suriah.
Untuk memenuhi klasifikasi sebagai sepuluh besar negara pengirim pasukan perdamaian PBB, Indonesia tengah meningkatkan personel TNI yang siap dikirim hingga 4000 personel dengan salah satu kualifikasi memiliki kecakapan berbahasa Inggris.
Indonesia membuka Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pasukan Misi Perdamaian di Sentul seluas 261 hektar untuk melatih tentara yang berkapasitas lebih. Karena kapasitas yang dibutuhkan tidak hanya berperang, melainkan upaya mengatasi terorisme, menangani korban bencana, dan memahami kebudayaan negara yang dilanda konflik. (Pikiran Rakyat, 20 Maret 2012)
Tugas Kontingen Garuda XXII/H yang terhitung mulai 23 Agustus 2008 - 22 Agustus 2009, memikul tugas pokok untuk monitoring, verifikasi, dan implementasi perjanjian damai komprehensif (comprehensive peace agreement/CPA). Tujuannya adalah terlaksananya proses gencatan senjata, proses DDR, sensus, pemilu, dan referendum. Ini berarti bukan hanya mengutamakan kekuatan fisik, melainkan juga intelektual, abilitas, dan integritas.
Akhirnya damai Indonesia, damailah dunia!
(Penulis adalah mahasiswa Jurusan Satra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Unpad Bandung)**
Galamedia jumat, 18 mei 2012 01:38 WIB
Oleh : Auliya Millatina Fajwah