FRANCIS Bacon menyuratkan, "...some books are to be tasted." Buku menjadi tambahan penting bagi seseorang untuk mendapat pengetahuan baru. Apa pun itu isi bukunya. Suratan Bacon tersebut termaktub dalam esai "Of Study, Of Truth and Of Friendship". Sementara itu Mohamad Hatta mengatakan, "Aku rela dipenjara bersama buku, sebab dengan buku aku bebas."
Jadi tak pelak lagi, buku menjadi barang yang sangat berharga. Buku sejatinya adalah jendela dunia dan pengetahuan. Melalui buku kita bisa mendapatkan wawasan luas tentang segala hal, dari mulai remeh temeh hingga hal luar biasa. Melalui buku, teori relativitasnya Einstein mampu meledakkan Kota Hiroshima. Bahkan, short message service (SMS) pun menggunakan kode-kode digital yang awalnya dipelajari lewat buku. Sederhananya, buku bisa membuka mata kita untuk menyingsingkan hijab cakrawala. Ketika tak ada lagi aktivitas pergulatan antara manusia dengan buku, peradaban akan hancur berkeping-keping, seperti halnya peradaban Islam, yang sempat tertutupi kemajuan pengetahun Eropa.
Revolusi Gutenberg pada abad ke-16 di Jerman yang menemukan mesin cetak manual pertama pada tahun 1645, menjadi pemicu informasi berbasis cetak, yang menyangga peradaban modern bagi seluruh bangsa dan memperluasnya menjadi industri buku. Seiring perkembangannya, disadari atau tidak, buku menjadi penopang berkembangnya modernitas bagi seluruh umat manusia.
Sebelumnya memang yang terjadi di masyarakat adalah hidupnya tradisi lisan (oral tradition) yang kuat, bahkan hingga saat ini pun. Seperti halnya ketika Indonesia (Sunda) di zaman Kolinial, tradisi membaca diperkenalkan oleh pihak penjajah (Belanda) pada abad 19, lewat sekolah melalui bahan bacaan dan lewat terjemahan, baik karya sastra mau pun yang lainnya (Moriyama: 2000).
Henri Chambert-Loir penyunting buku yang dikerjakan beberapa lembaga yang berjudul Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (KPG: 2009), "Pada masa lalu tentu saja amat berbeda, buku (berupa naskah) pada masa itu jauh lebih langka, karya yang ditulis dan dibaca/didengar jauh lebih sedikit, tetapi terjemahan juga mencapai angka proporsi yang amat besar." Rujukannya masa lalu itu, dalam konteks Indonesia pada zaman kolonial Belanda.
Esensi dan literasi
Tak ada gunanya buku tanpa aktivitas membaca. Buku akan menjadi replika tak berarti yang terpampang di perpustakaan dengan ketebalan debu menusuk hidung. Kelakar berbentuk pemeo bisa saja terucap "tanpa buku, bangsaku lesu!" Saya pikir, buku tanpa dibaca akan membuat bangsa ini hancur; bukan lagi lesu! Artinya sebuah bangsa yang besar, bangsa yang tidak melupakan buku dan aktivitas membaca. Dari buku inilah kita bisa membaca, merfleksikan kehidupan dan selebihnya mampu menulis. Seperti dikatakan penyair Amerika, Henry David Thoreau, "Kita dapat mengubah dunia dengan membaca buku" (Walden: Reading. 1854).
Membaca tidak hanya menambah wawasan-ilmu dan pengetahuan, tetapi membuka pikiran dan mata hati kita. Dalam doktrin Islam perintah membaca (iqra, bacalah) merupakan awal dari tugas kenabian. Ini berarti ketika kita membaca, posisinya sedang menjalankan salah satu tugas seorang nabi.
Membaca sejalan dengan visi mengembangkan literasi dalam arti lebih luas yakni seluruh masyarakat di dunia harus melek aksara. Secara harfiah, literasi mengacu pada kegiatan baca-tulis. Namun sesuai dengan yang dinyatakan UNESCO, kini arti literasi kian meluas. Dalam rumusannya, UNESCO menyatakan literasi merupakan kemampuan seseorang, berdasarkan kegiatan baca-tulis untuk mengerti, memahami, dan berkontribusi di dalam kegiatan masyarakat, di tempat orang yang terlibat dalam kegiatan literer tersebut.
Pada sisi lain, manusia tidak dapat meninggalkan kegiatan membaca. Esensinya --dalam filsafat Aristoteles dengan esensial dan desensial-- buku ialah sebuah bahan bacaan. Ini mengindikasikan bahwa manusia mesti membudayakan kegiatan membaca, selebihnya bagaimana membaca menjadi hal yang penting bagi kehidupan. Apa pun kendala yang dihadapi, misalnya, tak mempunyai buku karena mahal, kita bisa membaca di perpustakaan. Atau kini sudah banyak perpustakaan keliling, rumah baca masyarakat (pribadi) dan sejumlah pegiat Literasi. Ini bisa dimanfaatkan untuk menopang kegiatan baca, syukur-syukur selebihnya mampu menulis.
Menghadapi era digital
Kendati perkembangan zaman telah mengubah wujud buku dari cetak ke digital, namun tetap saja membaca-buku memang sangat diperlukan bagi siapa pun; baik siswa, mahasiswa, guru, dosen, maupun masyarakat luas agar dapat melek aksara. Apalagi kini zaman internet, di arus informasi semakin deras, sehingga kita dimudahkan membaca. Dengan perkembangan super cepat, bahan bacaan seperti buku sudah diunggah menggunakan gadget cerdas dalam bentuk aplikasi elektronik (e-book). Buku menjadi sangat penting di abad apa pun namanya, agar semua orang dapat membaca, selebihnya mampu menjadi bangsa yang mampu memproduksi peradaban.
Kesadaran membaca-buku tanggung jawab bersama, baik lembaga formal, pemerintah maupun kehidupan sosial (para pegiat literasi), lingkungan keluarga tertuama. Agar membaca buku tersebut menjadi budaya, saya kira tepat jika mendengarkan kata-kata dari seorang sastrawan Amerika, Cynthia Ozick, "Kalau anda ingin menghayati kehidupan yang akan menyebabkan anda merasa menjadi orang beradab, anda harus merebutnya melalui budaya anda sendiri".
Pada titik inilah seyogyanya kesadaran tersebut muncul secara kolektif (seluruh pihak) dengan membudayakan membaca-buku. Agar menjadi bangsa yang besar dan melek aksara. Sepertinya kita tidak hanya mengandalkan dari satu lokus kesadaran. Tapi saya pikir membaca buku itu, salah satu jalan untuk merengkuh kemanusiaan.
(Penulis adalah eksponen Komunitas Sasaka dan bergiat di Forum Alternatif Sastra (FAS) Bandung)**
Galamedia
ju'mat, 25 mei 2012 01:04 WIB
Oleh : Pungkit Wijaya
Jadi tak pelak lagi, buku menjadi barang yang sangat berharga. Buku sejatinya adalah jendela dunia dan pengetahuan. Melalui buku kita bisa mendapatkan wawasan luas tentang segala hal, dari mulai remeh temeh hingga hal luar biasa. Melalui buku, teori relativitasnya Einstein mampu meledakkan Kota Hiroshima. Bahkan, short message service (SMS) pun menggunakan kode-kode digital yang awalnya dipelajari lewat buku. Sederhananya, buku bisa membuka mata kita untuk menyingsingkan hijab cakrawala. Ketika tak ada lagi aktivitas pergulatan antara manusia dengan buku, peradaban akan hancur berkeping-keping, seperti halnya peradaban Islam, yang sempat tertutupi kemajuan pengetahun Eropa.
Revolusi Gutenberg pada abad ke-16 di Jerman yang menemukan mesin cetak manual pertama pada tahun 1645, menjadi pemicu informasi berbasis cetak, yang menyangga peradaban modern bagi seluruh bangsa dan memperluasnya menjadi industri buku. Seiring perkembangannya, disadari atau tidak, buku menjadi penopang berkembangnya modernitas bagi seluruh umat manusia.
Sebelumnya memang yang terjadi di masyarakat adalah hidupnya tradisi lisan (oral tradition) yang kuat, bahkan hingga saat ini pun. Seperti halnya ketika Indonesia (Sunda) di zaman Kolinial, tradisi membaca diperkenalkan oleh pihak penjajah (Belanda) pada abad 19, lewat sekolah melalui bahan bacaan dan lewat terjemahan, baik karya sastra mau pun yang lainnya (Moriyama: 2000).
Henri Chambert-Loir penyunting buku yang dikerjakan beberapa lembaga yang berjudul Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (KPG: 2009), "Pada masa lalu tentu saja amat berbeda, buku (berupa naskah) pada masa itu jauh lebih langka, karya yang ditulis dan dibaca/didengar jauh lebih sedikit, tetapi terjemahan juga mencapai angka proporsi yang amat besar." Rujukannya masa lalu itu, dalam konteks Indonesia pada zaman kolonial Belanda.
Esensi dan literasi
Tak ada gunanya buku tanpa aktivitas membaca. Buku akan menjadi replika tak berarti yang terpampang di perpustakaan dengan ketebalan debu menusuk hidung. Kelakar berbentuk pemeo bisa saja terucap "tanpa buku, bangsaku lesu!" Saya pikir, buku tanpa dibaca akan membuat bangsa ini hancur; bukan lagi lesu! Artinya sebuah bangsa yang besar, bangsa yang tidak melupakan buku dan aktivitas membaca. Dari buku inilah kita bisa membaca, merfleksikan kehidupan dan selebihnya mampu menulis. Seperti dikatakan penyair Amerika, Henry David Thoreau, "Kita dapat mengubah dunia dengan membaca buku" (Walden: Reading. 1854).
Membaca tidak hanya menambah wawasan-ilmu dan pengetahuan, tetapi membuka pikiran dan mata hati kita. Dalam doktrin Islam perintah membaca (iqra, bacalah) merupakan awal dari tugas kenabian. Ini berarti ketika kita membaca, posisinya sedang menjalankan salah satu tugas seorang nabi.
Membaca sejalan dengan visi mengembangkan literasi dalam arti lebih luas yakni seluruh masyarakat di dunia harus melek aksara. Secara harfiah, literasi mengacu pada kegiatan baca-tulis. Namun sesuai dengan yang dinyatakan UNESCO, kini arti literasi kian meluas. Dalam rumusannya, UNESCO menyatakan literasi merupakan kemampuan seseorang, berdasarkan kegiatan baca-tulis untuk mengerti, memahami, dan berkontribusi di dalam kegiatan masyarakat, di tempat orang yang terlibat dalam kegiatan literer tersebut.
Pada sisi lain, manusia tidak dapat meninggalkan kegiatan membaca. Esensinya --dalam filsafat Aristoteles dengan esensial dan desensial-- buku ialah sebuah bahan bacaan. Ini mengindikasikan bahwa manusia mesti membudayakan kegiatan membaca, selebihnya bagaimana membaca menjadi hal yang penting bagi kehidupan. Apa pun kendala yang dihadapi, misalnya, tak mempunyai buku karena mahal, kita bisa membaca di perpustakaan. Atau kini sudah banyak perpustakaan keliling, rumah baca masyarakat (pribadi) dan sejumlah pegiat Literasi. Ini bisa dimanfaatkan untuk menopang kegiatan baca, syukur-syukur selebihnya mampu menulis.
Menghadapi era digital
Kendati perkembangan zaman telah mengubah wujud buku dari cetak ke digital, namun tetap saja membaca-buku memang sangat diperlukan bagi siapa pun; baik siswa, mahasiswa, guru, dosen, maupun masyarakat luas agar dapat melek aksara. Apalagi kini zaman internet, di arus informasi semakin deras, sehingga kita dimudahkan membaca. Dengan perkembangan super cepat, bahan bacaan seperti buku sudah diunggah menggunakan gadget cerdas dalam bentuk aplikasi elektronik (e-book). Buku menjadi sangat penting di abad apa pun namanya, agar semua orang dapat membaca, selebihnya mampu menjadi bangsa yang mampu memproduksi peradaban.
Kesadaran membaca-buku tanggung jawab bersama, baik lembaga formal, pemerintah maupun kehidupan sosial (para pegiat literasi), lingkungan keluarga tertuama. Agar membaca buku tersebut menjadi budaya, saya kira tepat jika mendengarkan kata-kata dari seorang sastrawan Amerika, Cynthia Ozick, "Kalau anda ingin menghayati kehidupan yang akan menyebabkan anda merasa menjadi orang beradab, anda harus merebutnya melalui budaya anda sendiri".
Pada titik inilah seyogyanya kesadaran tersebut muncul secara kolektif (seluruh pihak) dengan membudayakan membaca-buku. Agar menjadi bangsa yang besar dan melek aksara. Sepertinya kita tidak hanya mengandalkan dari satu lokus kesadaran. Tapi saya pikir membaca buku itu, salah satu jalan untuk merengkuh kemanusiaan.
(Penulis adalah eksponen Komunitas Sasaka dan bergiat di Forum Alternatif Sastra (FAS) Bandung)**
Galamedia
ju'mat, 25 mei 2012 01:04 WIB
Oleh : Pungkit Wijaya