SEJAK masuk pada 2000 lalu, film Korea memiliki tempat istimewa dalam benak masyarakat Indonesia. Setidaknya, ada empat stasiun televisi swasta yang menayangkan film-film dari negeri ginseng itu. Mulai dari yang bertema cinta, penghianatan, peperangan, hingga sejarah.
Mula-mula hanya film, kemudian berkembang lagi fenomena musik-musik bergenre Korea. Hingga sebgian kalangan remaja Indonesia pun mengalami demam boy band dan girl band. Bahkan, sekarang Korean style membanjiri berbagai pusat perbelanjaan. Tak cukup dengan fashion dan musik, gaya bermake up, dan gaya rambut, gaya berbicara pun jadi trendsetter.
Bayangkan, mulai dari bahasa, budaya, dan pemikiran mereka transformasikan ke dalam film. Tapi rupa-rupanya penduduk Indonesia, menganggap fenomena ini biasa-biasa saja, bahkan mereka tidak sadar sedang terpengaruh budaya Korea dan mulai "menghapus" budaya sendiri.
Korea memang tidak salah, menjadikan film sebagai market budaya. Kitalah yang salah, yang tak mampu menyaring maupun membatasi peredarannya --Setidaknya dengan lebih mendukung film-film dalam negeri agar persaingan bisa berimbang. Karena, jalan cerita tidak kalah jauh. Dari segi propaganda budaya kita bahkan tak tahu cara menyisipkan budaya dalam film. Dalam segi bahasa, Indonesia lebih sering menggunakan bahasa campuran atau bahasa gaul yang membuat bahasa Indonesia menjadi bias.
Jika film Korea mampu membuat film yang memotivasi, misalnya saja "The Great of Queen Seondeok", "Jewel in The Palace", "Jumong Prince of The Legend", dan "Dong Yi", maka Indonesia hanya mampu membuat beberapa filem, sebuat saja diantaranya "Laskar Pelangi" dan "Garuda di Dadaku" yang hanya disiarkan dalam layar lebar yang tak semua orang bisa menikmatinya.
Selain film Korea, kehadiran film Barat yang mulai disiarkan di era 1990-an juga makin mengancam dunia perfilm-an tanah air. Mulai dari jam 05.00 WIB hingga 09.30 WIB, penonton sudah disuguhi kartun-kartun dari Eropa dan Jepang. Lalu pada pukul 5 sore kembali kartun-kartun dari negeri lain diputar, dilanjutkan dengan film-film layar lebar bergenre barat yang kerap ditayangkan mulai pukul 8 malam.
Total dipotong dengan program news dan kuis, hanya 7 jam masyarakat disuguhi film-film buatan Indonesia, itupun hanya sinetron dan FTV. Jika hal ni terus berlangsung, bukan tidak mungkin dua atau tiga tahun mendatang, program film atau sinetron Indonesia yang tayang hanya 4-5 jam saja.
Teori Jarum Suntik
Fenomena film-film Barat masuk ke Indonesia sama dengan fenomena Korea masuk ke Indonesia. Dengan film "Rambo" Amerika dan negara barat lainnya, mampu menyuntikkan dogma-dogma barat dalam pemikiran masyarakat kita. Mereka mampu membuat kita percaya, bahwa negara barat adalah pusatnya ilmu pengetahuan dan kekayaan. Nyatanya, semua itu hanyalah film yang sudah di konstruksi. Dibangun atas dasar-dasar filosofi dan tujuannya.
Produk-produk Eropa dan Amerika mulai membanjiri dan digemari Indonesia. Dari celana jeans hingga berbagai model bra. Semua yang berbau Amerika dan berlogo barat pasti jadi serbuan. Kita telah terkena oleh imabas teori jarum suntik (hipodermik) yang dicetuskan Wilbur Schram pada 1950-an mulai terlihat.
"Media massa sebagai jarum suntik raksasa yang menusukkan message ke dalam khalayak yang pasif. Media massa dianggap punya pengaruh yang sangat kuat terhadap tingkah laku manusia. Media yang kuasa ini, menyampaikan message kepada massa yang menunggu untuk menerimanya tanpa ada yang memersoalkan." Tulis Schram.
Media massa, baik itu elektronik maupun cetak terus menyiarakan tayangan berbau Korea, hingga secara tidak sadar, masyarakat Indonesia (sebagai udiens) terus mengupdate segala sesuatu tentang Korea, tanpa memikirkan baik buruknya. Kita tidak sadar bahwa kita sudah mengikuti seluruh gaya Korea dan Eropa.
Lahirnya teori jarum suntik inipun didasaran pada perubahan sikap, gaya, dan moral anak anak Amerika yang keranjingan film. Sama dengan Indonesia, masyarakat Amerika pada waktu itu, juga tidak mampu membendung keinginannya untuk menyamai gaya-gaya dalam film yang mereka tonton.
Ini patut diwaspadai, mengingat film mampu menjadi market budaya. Jika aliran budaya dari luar negeri terus membanjiri negeri kita, maka budaya sendiri lambat laun akan tersisihkan. Ruang gerak sineas kita akan menjadi sempit dan cenderung mengikuti aliran film yang digemari. Penonton lebih suka gaya Korea, maka kita juga mencontoh gaya-gaya Korea.
Indonesia tidak sadar bahwa dirinya telah dijajah secara budaya dan bahasa. Inilah yang disebut oleh Eriyanto dalam bukunya "Analisis Wacana". "Media adalah sumber dari kekuasaan hegemonik, dimana kesadaran khalayak dikuasai. Media juga dapat menjadi sumber legitimasi, dimana lewat media, mereka yang berkuasa dapat memupuk kekuasaannya agar tampak absah. Proses semacam itu melibatkan suatu usaha pemaknaan yang terus menerus yang diantaranya dilakukan lewat pemberitaan, sehingga khalayak tanpa sadar terbentuk kesadarannya dengan paksa," kata Eriyanto.
Dalam perkara film barat dan film Korea, media yang dimaksudkan Eriyanto adalah Film yang mampu menguasai kesadaran masyarakat Indonesia. Pemutaran film-film Korea dan barat juga menjadi sebuah pemaknaan yang terus menerus, hingga masyarakat Indonesia tanpa sadar telah membentuk sebuah kesadaran baru bahwa kebudayaan Korea dan barat dianggap lebih baik dari budaya kita sendiri.
Masyarakat Indonesia mesti lebih bijak lagi dalam menonton, mendukung perfilman negeri sendiri lebih baik dibanding bergumul membicarakan film-film negera lain.
(Penulis adalah Mahasiswa Jurnalistik Stikom Bandung)**
Galamedia jumat, 11 mei 2012 01:48 WIB
Oleh : RINI AGUSTINA
Mula-mula hanya film, kemudian berkembang lagi fenomena musik-musik bergenre Korea. Hingga sebgian kalangan remaja Indonesia pun mengalami demam boy band dan girl band. Bahkan, sekarang Korean style membanjiri berbagai pusat perbelanjaan. Tak cukup dengan fashion dan musik, gaya bermake up, dan gaya rambut, gaya berbicara pun jadi trendsetter.
Bayangkan, mulai dari bahasa, budaya, dan pemikiran mereka transformasikan ke dalam film. Tapi rupa-rupanya penduduk Indonesia, menganggap fenomena ini biasa-biasa saja, bahkan mereka tidak sadar sedang terpengaruh budaya Korea dan mulai "menghapus" budaya sendiri.
Korea memang tidak salah, menjadikan film sebagai market budaya. Kitalah yang salah, yang tak mampu menyaring maupun membatasi peredarannya --Setidaknya dengan lebih mendukung film-film dalam negeri agar persaingan bisa berimbang. Karena, jalan cerita tidak kalah jauh. Dari segi propaganda budaya kita bahkan tak tahu cara menyisipkan budaya dalam film. Dalam segi bahasa, Indonesia lebih sering menggunakan bahasa campuran atau bahasa gaul yang membuat bahasa Indonesia menjadi bias.
Jika film Korea mampu membuat film yang memotivasi, misalnya saja "The Great of Queen Seondeok", "Jewel in The Palace", "Jumong Prince of The Legend", dan "Dong Yi", maka Indonesia hanya mampu membuat beberapa filem, sebuat saja diantaranya "Laskar Pelangi" dan "Garuda di Dadaku" yang hanya disiarkan dalam layar lebar yang tak semua orang bisa menikmatinya.
Selain film Korea, kehadiran film Barat yang mulai disiarkan di era 1990-an juga makin mengancam dunia perfilm-an tanah air. Mulai dari jam 05.00 WIB hingga 09.30 WIB, penonton sudah disuguhi kartun-kartun dari Eropa dan Jepang. Lalu pada pukul 5 sore kembali kartun-kartun dari negeri lain diputar, dilanjutkan dengan film-film layar lebar bergenre barat yang kerap ditayangkan mulai pukul 8 malam.
Total dipotong dengan program news dan kuis, hanya 7 jam masyarakat disuguhi film-film buatan Indonesia, itupun hanya sinetron dan FTV. Jika hal ni terus berlangsung, bukan tidak mungkin dua atau tiga tahun mendatang, program film atau sinetron Indonesia yang tayang hanya 4-5 jam saja.
Teori Jarum Suntik
Fenomena film-film Barat masuk ke Indonesia sama dengan fenomena Korea masuk ke Indonesia. Dengan film "Rambo" Amerika dan negara barat lainnya, mampu menyuntikkan dogma-dogma barat dalam pemikiran masyarakat kita. Mereka mampu membuat kita percaya, bahwa negara barat adalah pusatnya ilmu pengetahuan dan kekayaan. Nyatanya, semua itu hanyalah film yang sudah di konstruksi. Dibangun atas dasar-dasar filosofi dan tujuannya.
Produk-produk Eropa dan Amerika mulai membanjiri dan digemari Indonesia. Dari celana jeans hingga berbagai model bra. Semua yang berbau Amerika dan berlogo barat pasti jadi serbuan. Kita telah terkena oleh imabas teori jarum suntik (hipodermik) yang dicetuskan Wilbur Schram pada 1950-an mulai terlihat.
"Media massa sebagai jarum suntik raksasa yang menusukkan message ke dalam khalayak yang pasif. Media massa dianggap punya pengaruh yang sangat kuat terhadap tingkah laku manusia. Media yang kuasa ini, menyampaikan message kepada massa yang menunggu untuk menerimanya tanpa ada yang memersoalkan." Tulis Schram.
Media massa, baik itu elektronik maupun cetak terus menyiarakan tayangan berbau Korea, hingga secara tidak sadar, masyarakat Indonesia (sebagai udiens) terus mengupdate segala sesuatu tentang Korea, tanpa memikirkan baik buruknya. Kita tidak sadar bahwa kita sudah mengikuti seluruh gaya Korea dan Eropa.
Lahirnya teori jarum suntik inipun didasaran pada perubahan sikap, gaya, dan moral anak anak Amerika yang keranjingan film. Sama dengan Indonesia, masyarakat Amerika pada waktu itu, juga tidak mampu membendung keinginannya untuk menyamai gaya-gaya dalam film yang mereka tonton.
Ini patut diwaspadai, mengingat film mampu menjadi market budaya. Jika aliran budaya dari luar negeri terus membanjiri negeri kita, maka budaya sendiri lambat laun akan tersisihkan. Ruang gerak sineas kita akan menjadi sempit dan cenderung mengikuti aliran film yang digemari. Penonton lebih suka gaya Korea, maka kita juga mencontoh gaya-gaya Korea.
Indonesia tidak sadar bahwa dirinya telah dijajah secara budaya dan bahasa. Inilah yang disebut oleh Eriyanto dalam bukunya "Analisis Wacana". "Media adalah sumber dari kekuasaan hegemonik, dimana kesadaran khalayak dikuasai. Media juga dapat menjadi sumber legitimasi, dimana lewat media, mereka yang berkuasa dapat memupuk kekuasaannya agar tampak absah. Proses semacam itu melibatkan suatu usaha pemaknaan yang terus menerus yang diantaranya dilakukan lewat pemberitaan, sehingga khalayak tanpa sadar terbentuk kesadarannya dengan paksa," kata Eriyanto.
Dalam perkara film barat dan film Korea, media yang dimaksudkan Eriyanto adalah Film yang mampu menguasai kesadaran masyarakat Indonesia. Pemutaran film-film Korea dan barat juga menjadi sebuah pemaknaan yang terus menerus, hingga masyarakat Indonesia tanpa sadar telah membentuk sebuah kesadaran baru bahwa kebudayaan Korea dan barat dianggap lebih baik dari budaya kita sendiri.
Masyarakat Indonesia mesti lebih bijak lagi dalam menonton, mendukung perfilman negeri sendiri lebih baik dibanding bergumul membicarakan film-film negera lain.
(Penulis adalah Mahasiswa Jurnalistik Stikom Bandung)**
Galamedia jumat, 11 mei 2012 01:48 WIB
Oleh : RINI AGUSTINA