, Oleh Prof Yunahar Ilyas
Pagi itu cuaca sangat panas. Tenggorokan terasa terbakar kehausan. Apalagi naik bus kota yang tidak ada alat pengatur udaranya. Sambil menutup kepala dengan kain serban, saya bergegas menuju kantor. Begitu melangkah masuk, saya sudah merasakan kesejukan alat pendingin udara. Rasanya lega. Walaupun belum minum, rasa haus langsung berkurang.
Saya datang ke kantor itu untuk bertemu dengan Syekh bin Baz, ulama besar Arab Saudi yang sangat berpengaruh. Orangnya sangat sederhana, sering memakai gamis dari bahan katun, pakai sandal kulit khas Arab, kepalanya ditutupi serban merah kotak-kotak halus atau serban putih yang disebut khudrah. Buta sejak masa kecil karena cacar. Pernah menjadi Rektor Universitas Islam Madinah. Pada waktu berkunjung itu, Bin Baz menjabat kepala sebuah lembaga riset dan fatwa yang sangat berpengaruh di Arab Saudi.
Dari Riyadh, saya dapat informasi bahwa selama musim panas, beliau berkantor di Thaif, daerah dataran tinggi yang lebih sejuk udaranya. Tetapi, sampai di Thaif, ternyata Bin Baz sudah pindah kantor ke Makkah hingga musim haji selesai. Begitulah, pagi itu saya datang ke kantor beliau di kawasan ‘Aziziyah.
Ternyata banyak sekali tamu, hampir semua kursi di ruang tamu yang luas itu terisi penuh. Ada sekitar 30-an orang. Petugas memberi tahu, Bin Baz baru akan menerima tamu setelah shalat Zhuhur selesai. Saya harus menunggu lebih lama lagi, kalau setiap tamu dilayani lima menit saja, berarti kira-kira pukul 14.30, saya baru dapat giliran. Padahal, Zhuhur masih satu jam lagi. Saya menyempatkan membaca koran.
Setelah azan Zhuhur, ruang tunggu itu sudah berubah menjadi mushala, sajadah dibentangkan. Tamu-tamu dengan sigap mengambil air wudhu. Lebih kurang 15 menit setelah azan, Bin Baz keluar, langsung memerintahkan muazin untuk iqamah, lalu beliau memimpin shalat berjamaah.
Setelah shalat sunah ba’diyah, saya kaget tatkala melihat para petugas bergegas menghidangkan jamuan makan siang. Beberapa buah pinggan besar berisi nasi biryani dengan daging kambing diletakkan di ruangan tempat shalat didirikan tadi. Seluruh tamu dipersilakan menikmati makan siang yang menggoda itu. Alhamdulillah, rezeki tidak boleh ditolak.
Setelah jamuan makan selesai, saya kaget karena sebagian besar tamu-tamu tadi langsung pergi. Yang tinggal hanya beberapa orang, yakni mereka yang benar-benar ingin bertemu dengan Bin Baz. Dari tamu yang masih ada, saya jadi tahu bahwa selama berkantor di Makkah pada musim haji ini —lebih kurang dua bulan— setiap hari Bin Baz menyediakan makan siang untuk para tamu. Semua dibiayai dengan uang pribadinya. Rupanya tradisi baik itu sudah lama dilakukan Bin Baz, sehingga setiap hari ada saja yang datang untuk menikmati makan siang di kantor Bin Baz, sekalipun tidak ada urusan dengan beliau seperti tamu-tamu hari itu.
Menjamu para tetamu adalah tradisi Arab yang kemudian dilestarikan oleh Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia memuliakan tamu.” Jamuan adalah salah satu cara memuliakan tamu.
sumber : www.republika.co.id