, Oleh Dr A Ilyas Ismail
Di zaman edan, manusia mengalami dehumanisasi secara besar-besaran, sehingga banyak dari mereka mengidap penyakit skizofrenia. Hal ini lantas membuat mereka lupa ingatan dan kehilangan kesadaran tentang fitrah kebenaran (logika), baik buruk (etika), dan keindahan (estetika).
Di zaman edan, manusia tak hanya bersekutu dan menjadi teman dekat setan (QS al-Nisa [4]: 38), tetapi sebagian telah menjadi seperti setan. Dalam arti selalu membisikkan (meniupkan) kejahatan ke dalam hati manusia. (QS an-Nas [114]: 4-5).
Terompet (nyanyian) setan itu disenandungkan dalam aneka rupa, sehingga manusia berpaling dari jalan Allah. Di antaranya, rayuan agar manusia bersifat kikir serta melakukan kejahatan, fakhsya’, (QS al-Baqarah [2]: 268), seperti berbuat zina, mabuk-mabukan, judi, dan semgala tindakan sesat lainnya.
Dalam Alquran disebutkan bahwa sebagian manusia memang senang dan gemar membeli terompet setan itu (lahwa al-hadits). (Lihat QS Luqman [31]: 6).
Dalam satu riwayat, Abdullah bin Masud ditanya tentang makna perkataan tidak berguna (lahwa al-hadits) dalam ayat di atas. Ia menjawab, “Demi Allah, tiada tuhan selain Dia, perkataan tak berguna itu adalah nyanyian (al-Ghina’). Abdullah mengulangnya hingga tiga kali sambil bersumpah. (Tafsir Ibnu Katsir [6]: 330).
Imam Hasan al-Bashri memahami lahwa al-hadits sebagai sesuatu yang memalingkan manusia dari mengingat Allah. Seperti candaan, lelucon, gosip murahan, serta lirik dan lagu yang membangkitkan birahi. (Tafsir al-Alusi [15]: 408).
Namun, ini tidak berarti bahwa Islam anti dengan seni (kesenian). Seni dalam pengertian yang sebenarnya sebagai rasa (akan) keindahan, sensibilitas estetis (syu`ur bi al-jamal), dan kemampuan mengekspresikannya (wa al-ta`bir `anhu).
Bahkan, menurut ulama besar dunia, Syekh Yusuf Qaradhawi, tak ada agama yang memberikan apresiasi kepada seni melebihi agama Islam. Dalam al-Fann fi al-Islam, Qaradhawi menjelaskan bahwa seni musik, nyanyian, syair, lirik, dan lagu, tidak tergolong terompet setan manakala memenuhi lima syarat.
Pertama, mengandung pesan yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran dan moral Islam. Kedua, dibawakan dengan cara yang bagus, tidak erotis, sensual, dan membangkitkan nafsu birahi.
Ketiga, tak ikut serta di dalamnya barang yang haram, seperti narkoba, miras (al-khamr), dan perjudian (maysir). Keempat, musik dan nyanyian tidak ekstrem atau berlebihan (ghuluw). Kelima, penonton musik atau konser wajib memiliki pertahanan diri, semacam early warning system jika ada hal-hal buruk yang tak diinginkan.
Apabila tidak memenuhi lima syarat di atas maka musik dan nyanyian itu tergolong terompet setan (mizmar al-syaithan). Inilah maksud sabda Nabi, “Lonceng (dentuman musik) tergolong terompet setan.” (HR Ahmad dari Abu Hurairah).
Di zaman edan, kehidupan dunia bisa jungkir balik. Setan atau terompet setan bisa dianggap sebagai kebaikan dan dibela mati-matian atas nama seni dan kebebasan berekspresi. Benarkah? Wallahu a`lam.
sumber : www.republika.co.id