PERJALANAN Isra Mikraj, sebagaimana termaktub secara eksplisit dalam dalam Alquran (QS 17:1) adalah petualangan menangkap kekuatan kebesaran Allah swt. Dari Masjidil Haram, Muhammad saw beranjak sampai di Masjidil Aqsa di Baitul Maqdis. Tafsir ayat ini menyatakan bahwa ia menangkap hikmah dan kebesaran Allah swt yang tiada tara ketika ber-Miraj di rentetan lapisan langit.
Dalam proses Mikraj itu, Muhammad saw melihat umat yang dipimpin Nabi dan rasul-rasul sebelumnya, seperti Nabi Adam, Isa as, Yahya, Yusuf, Idrus, Harun, Musa, dan Ibrahim as. Pada waktu Muhammad saw dibebani amanah untuk umatnya dalam rangka mengerjakan kewajiban salat 50 kali sehari semalam, beliau menunduk dan bergumam keberatan, yang kemudian diperintahkan untuk menemui Musa di langit keenam. Musa as keberatan atas amanah yang terlalu berat itu. Atas inisiatifnya, Muhammad saw diminta kembali lagi dihadapan-Nya memohon keringanan, agar jumlah salat wajib dikurangi 5 kali sehari semalam.
Dengan sikap kejunioritasannya di hadapan Musa, Muhammad menyampaikan inisiatif tersebut, Allah swt menerimanya tanpa disertai sikap preserve, otoritarisme dan keditaktoran. Inilah salah satu pertanda sifat ke-"demokrasian" Allah swt di hadapan Nabi dan Rasul-Nya, khususnya kepada Muhammad saw yang tercinta.
Transendensi Tuhan
Allah swt adalah transenden karena berada di luar jangkauan kasat mata pemikiran manusia. Dia tetap mengatur tata kehidupan ini, bahkan tetap berfungsi aktif dalam domain imanensi membayang-bayangi makhluk-Nya lewat asisten-asisten-Nya. Dia tidak pasif, bahkan tidak mati sebagaimana yang disinyalir Nietzche dan August Comte lewat berbagai komentator-komentatornya. Melalui firman-Nya dalam ayat-ayat suci Alquran --termasuk ayat-ayat kaun-Nya-- diharapkan manusia dapat mengaktualisasikan fungsi aktif Allah swt di alam ini.
Konsep agar manusia harus mempertajam hubungannya dengan transenden, serta merta pula memperkuat hubungan dengan sesama makhluk, termasuk alam, hanya dapat dicapai secara langgeng bila manusia mengerti tentang apa yang diinginkan oleh Allah, baik lewat pertanyaan-pertanyaan tersirat maupun tersurat-Nya.
Perjalanan Isra Mikraj, misalnya, bagi manusia tidak semata melihat secara sempit peristiwa itu, tapi harus dilihat secara utuh dan universal. Artinya, peristiwa Isra Mikraj, di samping berdimensi realistik dan transenden, juga secara tersirat berdimensi sosial-realistis jika dioperasionalisasikan di semesta kita, termasuk di dalamnya dimensi sosial-demokratis. Jadi, perjalanan Isra dan Miraj yang melahirkan perintah wajib salat di Sidratul Muntaha bukanlah gagasan pribadi Allah Swt, tapi hasil negosiasi dan partisipasi aktif dari nabi-nabi-Nya, sehingga salat 5 kali sehari semalam terwujud.
Demikian pula sikap demokratis Allah swt telah diperlihatkan-Nya ketika berdialog secara intens dengan Malaikat (QS 2:30) dan dengan Nabi Ibrahim (QS 2:60). Relevan dengan peristiwa perjalanan Isra dan Mikraj, di sini malaikat "menggugat" Allah, tatkala Allah swt menawarkan kepada malaikat-Nya bahwa Dia akan menciptakan seorang khalifah. Ketika itu, malaikat terperanjat dan berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau...." (QS 2:30). Hal tersebut juga dalam wacana (dialog) Allah swt dengan Nabi Ibrahim dalam mempertanyakan dan memperkuat keyakinannya kepada yang transenden.
Memanusiakan manusia
Dalam konsepsi humanitas, demokrasi merupakan suatu sikap untuk memanusiakan manusia, agar tidak terjebak pada sikap animals, atau sikap yang keluar dalam domain kemanusiaannya. Beranjak dari konsepsi ini, dalam hal pengelolaaan pemerintah suatu negara atau suatu daerah misalnya, sikap dan artikulasi rakyat sejatinya menjadi titik perhatian. Sebab, pemerintahan yang demokratis adalah sebuah pemerintahan yang mampu mengakomodasi getaran aspirasi rakyat.
Implikasinya, wajah demokrasi itu merupakan manifestasi dari wajah rakyat itu sendiri. Karena itu, di sinilah dituntut sikap sosial kontrol dari rakyat itu pada satu sisi, dan pada sisi lain pengendali kebijakan dari suatu pemerintahan harus pula arif dan mengerti apa yang dikendalikannya itu. Cukup banyak penguasa pemerintahan saat ini, mengempaskan rakyat yang telah berpartisipasi memilihnya pada saat prosesi Pemilu dengan biaya ratusan triliun rupiah. Alih-alih membantu rakyat, padahal menjual rakyat demi membangun politik pencitraan.
Sidney Hook dalam Democracy (2000) menulis, wajah demokrasi itu adalah wajah rakyat, hanya mampu terwujud jika memenuhi syarat-syarat: pertama, masyarakatnya mesti merupakan masyarakat terinformasi dalam artian masyarakat itu kaya akan informasi yang ada, yang memungkinkan pula taraf tingkat pendidikan suatu masyarakat itu akan meningkat; kedua, partisipasi rakyat mesti terus terwujud, agar dalam hal pengambilan keputusan, resonansi, dan artikulasi suara masyarakat turut berpengaruh; ketiga, distribusi wewenang bagi anggota masyarakat mesti terealisasi dengan melihat kapasitas masyarakat itu sendiri
Kerangka konsepsional yang dikemukakan Hook itu sangat relevan. Hanya saja, yang menjadi titik perhatian dalam perwujudan kehidupan demokrasi adalah dimensi kemanusiaan masyarakat yang dipimpin.
Untuk menciptakan hal itu, sikap-sikap otoritarisme, diktator, dan feodalisitik-elitis mesti dienyahkan. Sebab, sikap-sikap itu akan dapat mengganggu mulusnya penataan kehidupan demokrasi. Sikap-sikap yang dilakukan oleh Allah swt dalam menghadapi Nabi, Rasul, dan Malaikat-Nya, haruslah direnungkan, betapa sikap dan sifat Tuhan itu begitu indah jika segera dioperasionalkan dalam mozaik politik negeri ini.
(Penulis, dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan STAI Alazhari Cianjur)**
Galamedia
kamis, 28 juni 2012 01:12 WIB
Oleh : Acep Hermawan
Dalam proses Mikraj itu, Muhammad saw melihat umat yang dipimpin Nabi dan rasul-rasul sebelumnya, seperti Nabi Adam, Isa as, Yahya, Yusuf, Idrus, Harun, Musa, dan Ibrahim as. Pada waktu Muhammad saw dibebani amanah untuk umatnya dalam rangka mengerjakan kewajiban salat 50 kali sehari semalam, beliau menunduk dan bergumam keberatan, yang kemudian diperintahkan untuk menemui Musa di langit keenam. Musa as keberatan atas amanah yang terlalu berat itu. Atas inisiatifnya, Muhammad saw diminta kembali lagi dihadapan-Nya memohon keringanan, agar jumlah salat wajib dikurangi 5 kali sehari semalam.
Dengan sikap kejunioritasannya di hadapan Musa, Muhammad menyampaikan inisiatif tersebut, Allah swt menerimanya tanpa disertai sikap preserve, otoritarisme dan keditaktoran. Inilah salah satu pertanda sifat ke-"demokrasian" Allah swt di hadapan Nabi dan Rasul-Nya, khususnya kepada Muhammad saw yang tercinta.
Transendensi Tuhan
Allah swt adalah transenden karena berada di luar jangkauan kasat mata pemikiran manusia. Dia tetap mengatur tata kehidupan ini, bahkan tetap berfungsi aktif dalam domain imanensi membayang-bayangi makhluk-Nya lewat asisten-asisten-Nya. Dia tidak pasif, bahkan tidak mati sebagaimana yang disinyalir Nietzche dan August Comte lewat berbagai komentator-komentatornya. Melalui firman-Nya dalam ayat-ayat suci Alquran --termasuk ayat-ayat kaun-Nya-- diharapkan manusia dapat mengaktualisasikan fungsi aktif Allah swt di alam ini.
Konsep agar manusia harus mempertajam hubungannya dengan transenden, serta merta pula memperkuat hubungan dengan sesama makhluk, termasuk alam, hanya dapat dicapai secara langgeng bila manusia mengerti tentang apa yang diinginkan oleh Allah, baik lewat pertanyaan-pertanyaan tersirat maupun tersurat-Nya.
Perjalanan Isra Mikraj, misalnya, bagi manusia tidak semata melihat secara sempit peristiwa itu, tapi harus dilihat secara utuh dan universal. Artinya, peristiwa Isra Mikraj, di samping berdimensi realistik dan transenden, juga secara tersirat berdimensi sosial-realistis jika dioperasionalisasikan di semesta kita, termasuk di dalamnya dimensi sosial-demokratis. Jadi, perjalanan Isra dan Miraj yang melahirkan perintah wajib salat di Sidratul Muntaha bukanlah gagasan pribadi Allah Swt, tapi hasil negosiasi dan partisipasi aktif dari nabi-nabi-Nya, sehingga salat 5 kali sehari semalam terwujud.
Demikian pula sikap demokratis Allah swt telah diperlihatkan-Nya ketika berdialog secara intens dengan Malaikat (QS 2:30) dan dengan Nabi Ibrahim (QS 2:60). Relevan dengan peristiwa perjalanan Isra dan Mikraj, di sini malaikat "menggugat" Allah, tatkala Allah swt menawarkan kepada malaikat-Nya bahwa Dia akan menciptakan seorang khalifah. Ketika itu, malaikat terperanjat dan berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau...." (QS 2:30). Hal tersebut juga dalam wacana (dialog) Allah swt dengan Nabi Ibrahim dalam mempertanyakan dan memperkuat keyakinannya kepada yang transenden.
Memanusiakan manusia
Dalam konsepsi humanitas, demokrasi merupakan suatu sikap untuk memanusiakan manusia, agar tidak terjebak pada sikap animals, atau sikap yang keluar dalam domain kemanusiaannya. Beranjak dari konsepsi ini, dalam hal pengelolaaan pemerintah suatu negara atau suatu daerah misalnya, sikap dan artikulasi rakyat sejatinya menjadi titik perhatian. Sebab, pemerintahan yang demokratis adalah sebuah pemerintahan yang mampu mengakomodasi getaran aspirasi rakyat.
Implikasinya, wajah demokrasi itu merupakan manifestasi dari wajah rakyat itu sendiri. Karena itu, di sinilah dituntut sikap sosial kontrol dari rakyat itu pada satu sisi, dan pada sisi lain pengendali kebijakan dari suatu pemerintahan harus pula arif dan mengerti apa yang dikendalikannya itu. Cukup banyak penguasa pemerintahan saat ini, mengempaskan rakyat yang telah berpartisipasi memilihnya pada saat prosesi Pemilu dengan biaya ratusan triliun rupiah. Alih-alih membantu rakyat, padahal menjual rakyat demi membangun politik pencitraan.
Sidney Hook dalam Democracy (2000) menulis, wajah demokrasi itu adalah wajah rakyat, hanya mampu terwujud jika memenuhi syarat-syarat: pertama, masyarakatnya mesti merupakan masyarakat terinformasi dalam artian masyarakat itu kaya akan informasi yang ada, yang memungkinkan pula taraf tingkat pendidikan suatu masyarakat itu akan meningkat; kedua, partisipasi rakyat mesti terus terwujud, agar dalam hal pengambilan keputusan, resonansi, dan artikulasi suara masyarakat turut berpengaruh; ketiga, distribusi wewenang bagi anggota masyarakat mesti terealisasi dengan melihat kapasitas masyarakat itu sendiri
Kerangka konsepsional yang dikemukakan Hook itu sangat relevan. Hanya saja, yang menjadi titik perhatian dalam perwujudan kehidupan demokrasi adalah dimensi kemanusiaan masyarakat yang dipimpin.
Untuk menciptakan hal itu, sikap-sikap otoritarisme, diktator, dan feodalisitik-elitis mesti dienyahkan. Sebab, sikap-sikap itu akan dapat mengganggu mulusnya penataan kehidupan demokrasi. Sikap-sikap yang dilakukan oleh Allah swt dalam menghadapi Nabi, Rasul, dan Malaikat-Nya, haruslah direnungkan, betapa sikap dan sifat Tuhan itu begitu indah jika segera dioperasionalkan dalam mozaik politik negeri ini.
(Penulis, dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan STAI Alazhari Cianjur)**
Galamedia
kamis, 28 juni 2012 01:12 WIB
Oleh : Acep Hermawan