Oleh: Abi Muhammad Ismail Halim
Di dalam kitab Fiqus-Sunnah dikutip sebuah diskusi mencekam tentang orang yang meninggalkan shalat. Di dalam Thabaqat asy-Syafi'iyah disebutkan bahwa Syafi'i dan Ahmad RA pernah berdiskusi tentang hukumnya orang yang meninggalkan shalat.
Berkata Syafi'i: “Hai Ahmad, apakah menurut pendapat Anda ia kafir?”. Ujar Ahmad: “Memang”. Syafi'i: “Jika ia kafir, bagaimana caranya masuk Islam?”. Ahmad: “Hendaklah ia mengatakan: Laa ilaha illallah Muhammadarrasulullah”. Syafi'i: “Orang itu masih mempertahankan ucapan tersebut dan belum pernah meninggalkannya”. Ahmad: “Kalau begitu, ia masuk Islam dengan melakukan Shalat”. Syafi'i: “Shalat orang kafir tidak sah, dengan itu ia tak dapat dikatakan masuk Islam”. Maka Ahmad pun diam, dan semoga kedua imam itu diberi rahmat oleh Allah SWT.
Membaca kisah itu aku teringat kembali nasihat Buya Hamka tentang shalat. Nilai shalat itu kata beliau, ibarat angka satu di depan angka sepuluh, seratus, seribu, sejuta, semilyar atau bahkan lebih dari itu. Kalau tidak ada angka satu di depan (atau nol shalatnya), maka berapapun angka nol di belakangnya, tidak akan ada gunanya. Pantaslah jika demikian, karena bagi seorang muslim, shalat adalah amal yang mula-mula akan diperhitungkan, bukan kebaikan lainnya.
Memang berat mendirikan dan memelihara shalat. Bahkan yang mengerjakan shalat pun masih kerap melalaikannya. Apalagi iman kadang naik dan turun, hati sering berbolak balik. Belum lagi kesibukan yang tak kunjung usai membuat waktu terasa kian sempit. Tak terasa, shalat wajibpun akhirnya ditinggalkan juga.
Suatu hari, seorang pernah menasehatiku. “Berusahalah untuk sedapatnya mengerjakan amalan sunah, karena ia adalah hadiah dari Allah, sekaligus benteng imanmu”. Terus terang aku kurang dapat memahami kalimat pendek yang disampaikan dengan tulus itu. Yang pernah kupelajari di buku-buku pelajaran agama adalah bahwa, sunnah artinya jika dikerjakan mendapat pahala, jika ditinggalkan tidak berdosa, amat sederhana. Tapi apa maksudnya amalan sunnah dapat membentengi iman?
Ketika badan sedang tak sehat, waktu tak banyak, tenggat waktu mendesak, baru sedikit demi sedikit kupahami maknanya. Ketika badan sedang payah, atau kesibukan sedang memuncak, kadang kita terpaksa harus mengurangi ibadah. Seorang yang terbiasa beramal sunnah tentu amal sunnahnya-lah yang mula-mula terpangkas saat imannya sedang turun, sehingga selamatlah amal wajibnya. Jika kemudian diperbaharui lagi imannya, maka kembalilah dia ke tingkat semula. Tetapi jika terus menurun, masih ada benteng amalan sunnah selanjutnya. Shalat sunnah rawatib misalnya, akan menjadi benteng shalat wajib 5 waktu. Demikian pula bacaan sunnah di dalam shalat wajib, menjadi benteng dari bacaan dan perbuatan wajib di dalam shalatnya.
Baru kusadari bahwa, kalau saja seseorang hanya sekedar melakukan amalan wajib saja (minimalis), maka dalam kondisi tertentu, ia akan berada di dalam bahaya. Kalau shalat wajib sudah ditinggalkan, maka apa lagi nilai hidup kita di sisi Allah. “Ya Robb, ampunilah hamba-Mu yang sering menganggap ringan dosa meninggalkan shalat, melalaikan, bahkan meninggalkannya, baik terang-terangan ataupun tersembunyi, sengaja maupun tidak”. Wallahu 'a'lam,
Penulis adalah sahabat Republika Online di Texas
sumber : www.republika.co.id