Islam memaknai waktu tak sekadar deretan angka belaka. Namun, lebih dalam lagi yang ujungnya sampai pada perenungan, siapa yang menciptakan waktu, untuk siapa waktu diciptakan, dan bagaimana mengelola waktu agar tak rugi di dunia dan akhirat?
Inilah jawaban untuk semua pertanyaan itu, ''Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.'' (Ad-Dzaariyat: 56). Dari ayat pendek ini, sudah terjawab tiga pertanyaan di atas dengan lugas.
Siapa sang pencipta waktu? Jawabnya adalah Allah SWT. Untuk siapa waktu diciptakan? Untuk jin dan manusia. Dan, bagaimana mengelola waktu? Jawabnya, waktu harus digunakan untuk mengabdi atau beribadah kepada Sang Pencipta waktu, yaitu Allah SWT.
Nikmat tertinggi yang diberikan Allah kepada manusia adalah waktu. Karena itu, seharusnya manusia mampu mengelola karunia waktu dengan seefektif dan seefisien mungkin untuk menjalankan tugasnya sebagai makhluk Allah di bumi ini.
Karena pentingnya waktu ini, Allah bahkan telah bersumpah pada permulaan berbagai surat dalam Alquran yang turun di Makkah dengan berbagai macam bagian dari waktu. Misalnya demi waktu malam, demi waktu siang, demi waktu fajar, demi waktu dhuha, dan demi masa.
Menurut para mufassirin, apabila Allah bersumpah dengan sesuatu dari ciptaan-Nya termasuk waktu, hal itu mengandung maksud agar kaum Muslimin memperhatikan dengan serius terhadap isi ayat-ayat berikutnya.
Contohnya, Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) atau Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Melalui dua ayat pembuka ini, Allah ingin menunjukkan kekuasaan dalam pengaturan dan pergeseran waktu yang menjadi kekuasaan-Nya.
Dari keteraturan pergerakan alam, kita bisa mengambil kesimpulan, salah satu manfaat dari eksistensi benda-benda langit itu adalah untuk menentukan waktu-waktu ibadah. Dan, ciri-ciri Muslim yang kafah adalah mereka yang menghargai dan mengelola waktu dengan baik.
Sebab, menghargai waktu merupakan salah satu indikasi keimanan dan bukti ketakwaan. Dalam surah al-Furqan ayat 62 dinyatakan, Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.
Dalam konteks ini, secara vertikal seorang Muslim mengisi waktunya dengan beragam ibadah. Sebut saja shalat malam, puasa sunah, dan menuntut ilmu. Secara horizontal, Muslim mengisi waktunya dengan bermuamalah dengan masyarakat.
Selain itu, dia mencari nafkah bagi keluarganya, menunaikan tugas dakwah di lingkungan masyarakat, dan di tempat-tempat lainnya. Sejarah keberhasilan perjuangan Rasulullah SAW dalam berdakwah juga karena manajemen waktu yang efektif.
Ini terbukti dalam waktu singkat, Rasulullah SAW mampu membawa umat dari zaman Jahiliyah menuju peradaban yang gemilang.
Umat menjelma sebagai sosok-sosok beriman dan beradab. Mari kita meneladani Rasulullah SAW dengan mengisi waktu yang kita miliki dengan melakukan ketaatan kepada Allah SWT.
Penting juga bagi kita mengingat nasihat Imam Al-Ghazali, Jadikan gerak dan diammu sebagai ibadah kepada-Nya, selama umur masih bersamamu.
, Oleh: Arifin Hadiarso
sumber : www.republika.co.id
Inilah jawaban untuk semua pertanyaan itu, ''Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.'' (Ad-Dzaariyat: 56). Dari ayat pendek ini, sudah terjawab tiga pertanyaan di atas dengan lugas.
Siapa sang pencipta waktu? Jawabnya adalah Allah SWT. Untuk siapa waktu diciptakan? Untuk jin dan manusia. Dan, bagaimana mengelola waktu? Jawabnya, waktu harus digunakan untuk mengabdi atau beribadah kepada Sang Pencipta waktu, yaitu Allah SWT.
Nikmat tertinggi yang diberikan Allah kepada manusia adalah waktu. Karena itu, seharusnya manusia mampu mengelola karunia waktu dengan seefektif dan seefisien mungkin untuk menjalankan tugasnya sebagai makhluk Allah di bumi ini.
Karena pentingnya waktu ini, Allah bahkan telah bersumpah pada permulaan berbagai surat dalam Alquran yang turun di Makkah dengan berbagai macam bagian dari waktu. Misalnya demi waktu malam, demi waktu siang, demi waktu fajar, demi waktu dhuha, dan demi masa.
Menurut para mufassirin, apabila Allah bersumpah dengan sesuatu dari ciptaan-Nya termasuk waktu, hal itu mengandung maksud agar kaum Muslimin memperhatikan dengan serius terhadap isi ayat-ayat berikutnya.
Contohnya, Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) atau Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Melalui dua ayat pembuka ini, Allah ingin menunjukkan kekuasaan dalam pengaturan dan pergeseran waktu yang menjadi kekuasaan-Nya.
Dari keteraturan pergerakan alam, kita bisa mengambil kesimpulan, salah satu manfaat dari eksistensi benda-benda langit itu adalah untuk menentukan waktu-waktu ibadah. Dan, ciri-ciri Muslim yang kafah adalah mereka yang menghargai dan mengelola waktu dengan baik.
Sebab, menghargai waktu merupakan salah satu indikasi keimanan dan bukti ketakwaan. Dalam surah al-Furqan ayat 62 dinyatakan, Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.
Dalam konteks ini, secara vertikal seorang Muslim mengisi waktunya dengan beragam ibadah. Sebut saja shalat malam, puasa sunah, dan menuntut ilmu. Secara horizontal, Muslim mengisi waktunya dengan bermuamalah dengan masyarakat.
Selain itu, dia mencari nafkah bagi keluarganya, menunaikan tugas dakwah di lingkungan masyarakat, dan di tempat-tempat lainnya. Sejarah keberhasilan perjuangan Rasulullah SAW dalam berdakwah juga karena manajemen waktu yang efektif.
Ini terbukti dalam waktu singkat, Rasulullah SAW mampu membawa umat dari zaman Jahiliyah menuju peradaban yang gemilang.
Umat menjelma sebagai sosok-sosok beriman dan beradab. Mari kita meneladani Rasulullah SAW dengan mengisi waktu yang kita miliki dengan melakukan ketaatan kepada Allah SWT.
Penting juga bagi kita mengingat nasihat Imam Al-Ghazali, Jadikan gerak dan diammu sebagai ibadah kepada-Nya, selama umur masih bersamamu.
, Oleh: Arifin Hadiarso
sumber : www.republika.co.id