Allah SWT berfirman, “Di antara manusia, ada yang menyembah Allah sekadar ritual (formalitas), bila dia mendapat suatu manfaat (dari ibadahnya), dia merasa puas, namun bila dia ditimpa ujian (fitnah), dia berbalik menjadi kafir. Orang ini merugi di dunia dan akhirat, itulah kerugian yang sangat besar.” (QS al-Haj:11).
Ayat ini adalah salah satu dari pesan penting surat al-Haj mengenai hikmah perintah ibadah haji. Tujuan ibadah haji di antaranya adalah membersihkan iman yang bersifat pragmatis dan ibadah ritual simbolis dan formalitas menjadi iman dan ibadah yang hakiki dan sejati.
Allah SWT menjelaskan, orang yang beribadah simbolis dan formalitas dalam semua bentuk ibadahnya seperti shalat yang tidak khusyuk, tilawah Alquran tanpa tadabur (merenungkannya) dan menghadirkan hati, atau infak untuk meraih popularitas, zikir yang riya, dan semua ibadah yang sekadar ritual simbolis tanpa hati, adalah ibadah yang tidak dapat membentuk karakter dan integritas dalam diri seseorang.
Ibadah model ini hanya melahirkan pribadi-pribadi cengeng, mudah mengeluh, penakut, pesimistis, pengecut, bahkan oportunis yang pada akhirnya tidak mampu memikul beban hidup dan ujian dari Allah SWT.
Sebaliknya, ibadah khusyuk yang menghadirkan hati dan akal sehingga menjadi sarana audiensi antara hamba dan Sang Khalik adalah ibadah sejati dan substantif.
Ibadah seperti inilah yang dimaksud oleh Fudhail Ibnu Iyadh, seorang ulama dari generasi tabi’in, ketika ditanya tentang ibadah terbaik, ia menjawab, ibadah yang ikhlas dan benar sesuai syariat.
Seorang abid (ahli ibadah) sejati adalah mereka yang selalu merindukan untuk sujud di sajadahnya, merindukan waktu-waktu tahajudnya, dan mendambakan saat-saat munajatnya.
Salah seorang salafus saleh berkata, “Hanya satu yang paling aku tidak sukai di dunia ini ketika fajar terbit. Mengapa? Karena, tahajud dan munajatku pada malam hari akan terputus bila fajar mulai terbit.”
Ibadah seperti di ataslah yang akan melahirkan hamba-hamba yang berkarakter sebagai berikut: Pertama, para rijal’ (tokoh yang berkarakter). Ibadah khusyuk dan bukan sekadar simbolis akan memproduksi para ulama dan para pemimpin abadi.
Kedua, ibadah sejati dan terbaik melahirkan para pejuang sejati, prajurit pemberani, dan manusia-manusia yang optimistis, giat, rajin, dan profesional. Ketiga, ibadah sejati dan khusyuk melahirkan para perindu syahid dan surga.
Namun, sebaliknya, ibadah yang sebatas simbolis dan formalitas akan melahirkan pribadi-pribadi pengecut dan penakut, oportunis, pragmatis, karakter pencuriga, dan berprasangka buruk pada orang lain.
Pribadi yang pelit dan takut berkorban, pribadi yang pesimistis, tak berani melakukan terobosan, dan inisiatif. Bila karakter model ini dipelihara dalam kehidupan, orang seperti ini menjadi manusia yang paling merugi di dunia dan akhirat.
Hakikat ibadah haji untuk menghindarkan umat dari penyakit-penyakit kepribadian di atas. Karena itu, mereka yang berhaji atau berumrah bukan karena Allah dan mencari ridha-Nya, haji dan umrahnya menjadi sia-sia. Dia akan rugi di dunia dan akhirat. Wallahu a’alam.
, Oleh: Dr Khairan Muhammad Arif
sumber : www.republika.co.id
Ayat ini adalah salah satu dari pesan penting surat al-Haj mengenai hikmah perintah ibadah haji. Tujuan ibadah haji di antaranya adalah membersihkan iman yang bersifat pragmatis dan ibadah ritual simbolis dan formalitas menjadi iman dan ibadah yang hakiki dan sejati.
Allah SWT menjelaskan, orang yang beribadah simbolis dan formalitas dalam semua bentuk ibadahnya seperti shalat yang tidak khusyuk, tilawah Alquran tanpa tadabur (merenungkannya) dan menghadirkan hati, atau infak untuk meraih popularitas, zikir yang riya, dan semua ibadah yang sekadar ritual simbolis tanpa hati, adalah ibadah yang tidak dapat membentuk karakter dan integritas dalam diri seseorang.
Ibadah model ini hanya melahirkan pribadi-pribadi cengeng, mudah mengeluh, penakut, pesimistis, pengecut, bahkan oportunis yang pada akhirnya tidak mampu memikul beban hidup dan ujian dari Allah SWT.
Sebaliknya, ibadah khusyuk yang menghadirkan hati dan akal sehingga menjadi sarana audiensi antara hamba dan Sang Khalik adalah ibadah sejati dan substantif.
Ibadah seperti inilah yang dimaksud oleh Fudhail Ibnu Iyadh, seorang ulama dari generasi tabi’in, ketika ditanya tentang ibadah terbaik, ia menjawab, ibadah yang ikhlas dan benar sesuai syariat.
Seorang abid (ahli ibadah) sejati adalah mereka yang selalu merindukan untuk sujud di sajadahnya, merindukan waktu-waktu tahajudnya, dan mendambakan saat-saat munajatnya.
Salah seorang salafus saleh berkata, “Hanya satu yang paling aku tidak sukai di dunia ini ketika fajar terbit. Mengapa? Karena, tahajud dan munajatku pada malam hari akan terputus bila fajar mulai terbit.”
Ibadah seperti di ataslah yang akan melahirkan hamba-hamba yang berkarakter sebagai berikut: Pertama, para rijal’ (tokoh yang berkarakter). Ibadah khusyuk dan bukan sekadar simbolis akan memproduksi para ulama dan para pemimpin abadi.
Kedua, ibadah sejati dan terbaik melahirkan para pejuang sejati, prajurit pemberani, dan manusia-manusia yang optimistis, giat, rajin, dan profesional. Ketiga, ibadah sejati dan khusyuk melahirkan para perindu syahid dan surga.
Namun, sebaliknya, ibadah yang sebatas simbolis dan formalitas akan melahirkan pribadi-pribadi pengecut dan penakut, oportunis, pragmatis, karakter pencuriga, dan berprasangka buruk pada orang lain.
Pribadi yang pelit dan takut berkorban, pribadi yang pesimistis, tak berani melakukan terobosan, dan inisiatif. Bila karakter model ini dipelihara dalam kehidupan, orang seperti ini menjadi manusia yang paling merugi di dunia dan akhirat.
Hakikat ibadah haji untuk menghindarkan umat dari penyakit-penyakit kepribadian di atas. Karena itu, mereka yang berhaji atau berumrah bukan karena Allah dan mencari ridha-Nya, haji dan umrahnya menjadi sia-sia. Dia akan rugi di dunia dan akhirat. Wallahu a’alam.
, Oleh: Dr Khairan Muhammad Arif
sumber : www.republika.co.id