“Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta menjadi pemimpin sebab jika engkau dijadikan pemimpin karena permintaanmu, maka engkau akan terbebani. Tapi jika engkau menjadi pemimpin bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu untuk mengatasinya.”(HR. Bukhari Muslim)
Demikian suatu kali Rasulullah SAW menasihati seorang sahabat bernama Abdurrahman bin Samurah. Ketika itu, ia meminta untuk diangkat menjadi seorang pemimpin. Melalui hadis ini, Rasul tak bermaksud melarang mukmin terjun ke politik.
Terutama bila niatnya didasari tujuan dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Namun niat baik saja tentu tak cukup. Sebab, seorang pemimpin hendaknya memiliki kompetensi mumpuni terkait amanah yang diembannya.
Untuk menjadi pemimpin yang baik, idealnya seseorang tak mengandalkan kharisma, popularitas, atau faktor kedekatan dengan penguasa. Hal lebih penting adalah kemampuan dan integritas moral.
Rasul bersabda saat Abu Dzar meminta jabatan. ‘’Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, dan jabatan itu amanah yang pada hari akhir hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang mampu menunaikan hak kewajibannya dan memenuhi tanggung jawabnya.’’ (HR Muslim).
Hadis ini menyiratkan implikasi kepemimpinan tanpa kemampuan, yang akan berbuah ketidakamanahan. Rasulullah SAW mengajarkan kepada para sahabatnya untuk tidak menonjolkan diri agar terpilih menjadi pemimpin.
Apalagi pada zaman itu, begitu banyak pribadi pilihan dengan jiwa kepemimpinan kuat dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan karena para sahabat dikader langsung Rasul, maka beliau memahami potensi mereka.
Sebagai utusan Allah SWT, Rasulullah SAW tak pernah lepas dari arahan wahyu dalam setiap pengambilan keputusan penting terkait pergantian kepemimpinan, juga bermusyawarah dengan para sahabat.
Namun sekali lagi, bukan berarti Islam mengharamkan seorang mukmin mengajukan diri menjadi pemimpin. Seperti digambarkan Alquran, Nabi Yusuf mengajukan diri untuk menerima kepemimpinan.
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (integritas), lagi berpengetahuan (kompetensi).” (QS Yusuf : 55).
Tampak jelas, bolehnya seseorang mengajukan diri menjadi pemimpin setidaknya harus memenuhi sejumlah kriteria. Yakni integritas moral yang tinggi, kompetensi, dan kapabilitas yang mumpuni serta rekam jejak yang bersih dan telah teruji.
Dalam Alquran dikisahkan, Nabi Yusuf mengajukan diri menjadi pemimpin setelah terbukti tidak bersalah dan dibebaskan dari penjara negara. Krisis ekonomi yang menimpa bangsa Mesir membutuhkan pemimpin baru yang solutif.
Mereka menemukan jawabnya pada sosok pribadi menawan dan potensi kepemimpinan Nabi Yusuf. Memegang tampuk kepemimpinan menjadi amal yang sangat terpuji manakala dilaksanakan dalam koridor ketaatan pada Allah dan RasulNya.
Buah sistem kaderisasi yang Rasulullah rintis adalah pemimpin dengan tipikal Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin thalib, dan Umar bin Abdul Aziz. Mereka membuktikan, kepemimpinannya tak didasarkan syahwat berkuasa.
Sementara, pemimpin bangsa di dunia yang hanya bermodalkan ambisi dan dorongan syahwat berkuasa tanpa menaati rambu-rambu Allah dan RasulNya, ternyata membawa rakyatnya kepada kehancuran.
Kekuasaan mereka berakhir dengan cara paling nista dan kehinaan serta penyesalan di hari kiamat kelak. “Sesungguhnya kalian meminta menjadi pemimpin. Nanti kalian akan mendapatkan penyesalan pada hari Kiamat…” (HR Bukhari).
Oleh: N Imam Akbari
sumber : www.republika.co.id
Demikian suatu kali Rasulullah SAW menasihati seorang sahabat bernama Abdurrahman bin Samurah. Ketika itu, ia meminta untuk diangkat menjadi seorang pemimpin. Melalui hadis ini, Rasul tak bermaksud melarang mukmin terjun ke politik.
Terutama bila niatnya didasari tujuan dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Namun niat baik saja tentu tak cukup. Sebab, seorang pemimpin hendaknya memiliki kompetensi mumpuni terkait amanah yang diembannya.
Untuk menjadi pemimpin yang baik, idealnya seseorang tak mengandalkan kharisma, popularitas, atau faktor kedekatan dengan penguasa. Hal lebih penting adalah kemampuan dan integritas moral.
Rasul bersabda saat Abu Dzar meminta jabatan. ‘’Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, dan jabatan itu amanah yang pada hari akhir hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang mampu menunaikan hak kewajibannya dan memenuhi tanggung jawabnya.’’ (HR Muslim).
Hadis ini menyiratkan implikasi kepemimpinan tanpa kemampuan, yang akan berbuah ketidakamanahan. Rasulullah SAW mengajarkan kepada para sahabatnya untuk tidak menonjolkan diri agar terpilih menjadi pemimpin.
Apalagi pada zaman itu, begitu banyak pribadi pilihan dengan jiwa kepemimpinan kuat dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan karena para sahabat dikader langsung Rasul, maka beliau memahami potensi mereka.
Sebagai utusan Allah SWT, Rasulullah SAW tak pernah lepas dari arahan wahyu dalam setiap pengambilan keputusan penting terkait pergantian kepemimpinan, juga bermusyawarah dengan para sahabat.
Namun sekali lagi, bukan berarti Islam mengharamkan seorang mukmin mengajukan diri menjadi pemimpin. Seperti digambarkan Alquran, Nabi Yusuf mengajukan diri untuk menerima kepemimpinan.
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (integritas), lagi berpengetahuan (kompetensi).” (QS Yusuf : 55).
Tampak jelas, bolehnya seseorang mengajukan diri menjadi pemimpin setidaknya harus memenuhi sejumlah kriteria. Yakni integritas moral yang tinggi, kompetensi, dan kapabilitas yang mumpuni serta rekam jejak yang bersih dan telah teruji.
Dalam Alquran dikisahkan, Nabi Yusuf mengajukan diri menjadi pemimpin setelah terbukti tidak bersalah dan dibebaskan dari penjara negara. Krisis ekonomi yang menimpa bangsa Mesir membutuhkan pemimpin baru yang solutif.
Mereka menemukan jawabnya pada sosok pribadi menawan dan potensi kepemimpinan Nabi Yusuf. Memegang tampuk kepemimpinan menjadi amal yang sangat terpuji manakala dilaksanakan dalam koridor ketaatan pada Allah dan RasulNya.
Buah sistem kaderisasi yang Rasulullah rintis adalah pemimpin dengan tipikal Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin thalib, dan Umar bin Abdul Aziz. Mereka membuktikan, kepemimpinannya tak didasarkan syahwat berkuasa.
Sementara, pemimpin bangsa di dunia yang hanya bermodalkan ambisi dan dorongan syahwat berkuasa tanpa menaati rambu-rambu Allah dan RasulNya, ternyata membawa rakyatnya kepada kehancuran.
Kekuasaan mereka berakhir dengan cara paling nista dan kehinaan serta penyesalan di hari kiamat kelak. “Sesungguhnya kalian meminta menjadi pemimpin. Nanti kalian akan mendapatkan penyesalan pada hari Kiamat…” (HR Bukhari).
Oleh: N Imam Akbari
sumber : www.republika.co.id