Sekarang, negara kita tercinta, Indonesia, sedang sibuk mencari pemimpin. Rakyat bingung menentukan pilihan, standar yang digunakan hanya berkutat di tataran intelektualitas dan lahiriyah calon pemimpin dan belum merambah ranah spiritual.
Dengan demikian, kesalehan hakiki mereka tidak pernah teruji dan tak pernah ada yang berusaha untuk mengujinya. Padahal kesalehan seperti inilah yang bisa menjamin baik tidaknya seorang pemimpin.
Jika mengaca pada sejarah, dulu saat prosesi pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, diantara pertimbangan yang mengemuka ketika itu adalah, Abu Bakar pernah menjadi imam shalat menggantikan Nabi Muhammad SAW.
Kisah ini dinarasikan Ibnu Asakir dari Ibnu Umar. ‘’Rasulullah memerintahkan Abu Bakar memimpin shalat berjamaah, sedangkan saya menyaksikan sendiri, tidak ghaib, tidak sakit. Maka kami rela menyerahkan urusan dunia kami sebagaimana Rasulullah rela menyerahkan urusan agama kepadanya.’’
Pada era awal Islam, standar yang digunakan untuk menunjuk seorang pemimpin adalah faktor spiritual. Hal ini diwakili oleh agama dan tiang dari agama tidak lain adalah shalat.
Maka pantas jika kemudian hasil dari standar pemilihan semacam ini memunculkan pemimpin yang sesuai kehendak Allah.
Pastinya pula sesuai dengan kehendak manusia sebagai makhluk Allah. Shalat merupakan pengukur sekaligus penakar kesalehan seorang hamba.
Baik kesalehan terhadap Allah, maupun terhadap sesama. Jika shalat hamba tersebut baik, dalam arti sempurna dari segi syarat, rukun dan kekhusuannya, maka bisa dipastikan orang tersebut akan memiliki nilai kesalehan yang tinggi sebagai dampak dari shalatnya.
Hal tersebut ditegaskan langsung oleh Allah dalam surat al-Ankabut ayat 45, “Sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar.”
Benar saja, orang yang saleh karena shalat, berarti mampu meresapi dan memegang prinsip-prinsip yang ada dalam shalat.
Paling tidak, orang itu selalu merasa diawasi Allah SWT. Sebab dalam shalat, seorang hamba diajari untuk merasa melihat Allah sejak takbiratul ihram sampai salam atau kalau tidak bisa merasa melihat Allah, paling tidak harus merasa dilihat oleh Allah.
Orang yang terbiasa merasa melihat Allah atau merasa dilihat oleh Allah SWT akan selalu hati-hati dalam melangkah, berhati-hati dalam bekerja. Hal yang menjadi pertimbangannya, sudah sesuaikah langkahnya atau apa yang dia kerjakan dengan kehendak Allah?
Kalau sesuai alhamdulillah, sebaliknya bila tidak, maka harus siap menerima siksa-Nya. Prinsip seperti ini akan membuat seorang hamba menjadi orang saleh, yang baik kepada manusia dan pencipta manusia, yang baik di depan umum maupun sedang sendirian.
Orang seperti ini pulalah yang pantas menjadi pemimpin. Pertanyaannya sekarang, adakah diantara calon pemimpin kita yang seperti ini? Jika ada, sebutkan siapa? Jika tidak, sampai kapan negara kita terus seperti ini?
, Oleh: Abdul Syukur
sumber : www.republika.co.id
Dengan demikian, kesalehan hakiki mereka tidak pernah teruji dan tak pernah ada yang berusaha untuk mengujinya. Padahal kesalehan seperti inilah yang bisa menjamin baik tidaknya seorang pemimpin.
Jika mengaca pada sejarah, dulu saat prosesi pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, diantara pertimbangan yang mengemuka ketika itu adalah, Abu Bakar pernah menjadi imam shalat menggantikan Nabi Muhammad SAW.
Kisah ini dinarasikan Ibnu Asakir dari Ibnu Umar. ‘’Rasulullah memerintahkan Abu Bakar memimpin shalat berjamaah, sedangkan saya menyaksikan sendiri, tidak ghaib, tidak sakit. Maka kami rela menyerahkan urusan dunia kami sebagaimana Rasulullah rela menyerahkan urusan agama kepadanya.’’
Pada era awal Islam, standar yang digunakan untuk menunjuk seorang pemimpin adalah faktor spiritual. Hal ini diwakili oleh agama dan tiang dari agama tidak lain adalah shalat.
Maka pantas jika kemudian hasil dari standar pemilihan semacam ini memunculkan pemimpin yang sesuai kehendak Allah.
Pastinya pula sesuai dengan kehendak manusia sebagai makhluk Allah. Shalat merupakan pengukur sekaligus penakar kesalehan seorang hamba.
Baik kesalehan terhadap Allah, maupun terhadap sesama. Jika shalat hamba tersebut baik, dalam arti sempurna dari segi syarat, rukun dan kekhusuannya, maka bisa dipastikan orang tersebut akan memiliki nilai kesalehan yang tinggi sebagai dampak dari shalatnya.
Hal tersebut ditegaskan langsung oleh Allah dalam surat al-Ankabut ayat 45, “Sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar.”
Benar saja, orang yang saleh karena shalat, berarti mampu meresapi dan memegang prinsip-prinsip yang ada dalam shalat.
Paling tidak, orang itu selalu merasa diawasi Allah SWT. Sebab dalam shalat, seorang hamba diajari untuk merasa melihat Allah sejak takbiratul ihram sampai salam atau kalau tidak bisa merasa melihat Allah, paling tidak harus merasa dilihat oleh Allah.
Orang yang terbiasa merasa melihat Allah atau merasa dilihat oleh Allah SWT akan selalu hati-hati dalam melangkah, berhati-hati dalam bekerja. Hal yang menjadi pertimbangannya, sudah sesuaikah langkahnya atau apa yang dia kerjakan dengan kehendak Allah?
Kalau sesuai alhamdulillah, sebaliknya bila tidak, maka harus siap menerima siksa-Nya. Prinsip seperti ini akan membuat seorang hamba menjadi orang saleh, yang baik kepada manusia dan pencipta manusia, yang baik di depan umum maupun sedang sendirian.
Orang seperti ini pulalah yang pantas menjadi pemimpin. Pertanyaannya sekarang, adakah diantara calon pemimpin kita yang seperti ini? Jika ada, sebutkan siapa? Jika tidak, sampai kapan negara kita terus seperti ini?
, Oleh: Abdul Syukur
sumber : www.republika.co.id