Generasi salafus shalih pernah menguasai dunia berkat keimanan mereka yang kokoh bagai gunung dan keilmuan mereka yang mendalam bagai lautan. Kecintaan mereka pada iman, ilmu, dan amal melebihi cinta manusia biasa pada harta, anak, dan istri.
Dalam konteks kecintaan terhadap ilmu, Imam Ibnu Qayyim menyatakan, “Adapun pecinta ilmu, kecintaannya pada ilmu melebihi kecintaan seseorang kepada kekasih. Dan banyak di antara mereka tidak tergoda melihat manusia tercantik di dunia sekalipun.”
Simak pula Muhammad bin Marwan Ad-Dimasyqi, “Sungguh, aku lebih memilih ditemani tinta sepanjang hari daripada seorang kawan. Aku lebih suka seikat kertas daripada sekarung tepung. Tamparan ulama di pipiku lebih terasa nikmat daripada minuman lezat.”
Seseorang tidak bisa menjadi pecinta ilmu sebelum buku/kitabnya lebih berharga daripada bajunya. Konon ada orang melihat seseorang duduk di atas kitabnya, lalu dia ditegur, “Apakah pakaianmu lebih berharga bagimu dibanding kitabmu?”
Hal itu karena orang tersebut duduk beralaskan kitabnya agar pakaiannya tidak terkena debu. Salah satu tanda cinta ilmu adalah menangis ketika kehilangan seorang syaikh yang mulia dan sedih ketika kehilangan buku berharga.
Diriwayatkan, Abul Hasan Al-Fali (w 448 H), salah seorang ahli nahwu dari Baghdad, Irak pernah memiliki kitab Al-Jamharah karya Ibnu Duraid yang sangat bagus.
Akibat terdesak oleh kebutuhan, ia terpaksa menjual kitab tersebut seharga 60 dinar. Kehilangan kitab itu membuatnya berduka hingga kematian menjemputnya.
Menurut Al-Jahidz, orang yang belanjanya untuk membeli buku tidak lebih nikmat daripada belanjanya pecinta biduan dan penggila bangunan, maka ia tidak akan sampai pada tingkat ilmu yang memuaskan.
Orang tersebut tidak akan memperoleh manfaat dari belanjanya sampai ia mau memprioritaskan pembelian buku sebagaimana orang badui memprioritaskan kudanya untuk diberi susu daripada keluarganya.
Selain itu, ia mau menaruh harapan besar terhadap ilmu sebagaimana orang badui menaruh harapan besar pada kudanya.
Sikap Al-Jahidz sangat mendasar. Pecinta ilmu akan memprioritaskan apapun untuk memuaskan dahaga keilmuannya.
Seperti kisah unik seorang syaikh penggila buku yang rela melepas sebagian pakaiannya untuk membeli buku yang dipandangnya berharga. Sebab, pada saat itu ia tidak memiliki uang. Salah satu kisah unik lainnya terkait Imam Ibnu Daqiqil Ied.
Ia antusias mendapati ada yang menjual kitab As-Syarhul Kabir karya Ar-Rafi’i Al-Qazwini sebesar 12 jilid. Ia pun membelinya seharga 1.000 dirham. Karena terlalu asyik menelaah kitab tersebut, ia sampai hanya melakukan shalat fardhu saja.
Kitab itu terbeli bukan berarti karena ia kaya harta. Meskipun menjabat Qadhil Qudhat (hakim agung), ia sering terlilit utang. Hal itu akibat kecintaannya kepada ilmu.
Warisan terbaik kita kepada generasi berikutnya adalah kecintaan kepada ilmu yang dilengkapi referensi yang memadai.
Sebab itulah warisan para nabi dan ulama-ulama terdahulu. Bagian terbaik itu adalah mewarisi buku yang melimpah sebagai sarana meraih ilmu.
Sesungguhnya mewariskan buku-buku berikut ilmu yang terkandung di dalamnya dapat memberikan manfaat bagi orang hidup maupun orang mati. Karena anak-anak kita akan membaca dan belajar dari apa yang mereka baca dari buku-buku tersebut.
Sementara kita yang berada di kubur, akan senantiasa mendapatkan kiriman pahala selama mereka memanfaatkan warisan kita dengan baik. Lestarinya pemanfaatan ilmu berupa buku tersebut, lestari pula amal jariah bagi pemiliknya.
, Oleh: Tgh Habib Ziadi
sumber : www.republika.co.id
Dalam konteks kecintaan terhadap ilmu, Imam Ibnu Qayyim menyatakan, “Adapun pecinta ilmu, kecintaannya pada ilmu melebihi kecintaan seseorang kepada kekasih. Dan banyak di antara mereka tidak tergoda melihat manusia tercantik di dunia sekalipun.”
Simak pula Muhammad bin Marwan Ad-Dimasyqi, “Sungguh, aku lebih memilih ditemani tinta sepanjang hari daripada seorang kawan. Aku lebih suka seikat kertas daripada sekarung tepung. Tamparan ulama di pipiku lebih terasa nikmat daripada minuman lezat.”
Seseorang tidak bisa menjadi pecinta ilmu sebelum buku/kitabnya lebih berharga daripada bajunya. Konon ada orang melihat seseorang duduk di atas kitabnya, lalu dia ditegur, “Apakah pakaianmu lebih berharga bagimu dibanding kitabmu?”
Hal itu karena orang tersebut duduk beralaskan kitabnya agar pakaiannya tidak terkena debu. Salah satu tanda cinta ilmu adalah menangis ketika kehilangan seorang syaikh yang mulia dan sedih ketika kehilangan buku berharga.
Diriwayatkan, Abul Hasan Al-Fali (w 448 H), salah seorang ahli nahwu dari Baghdad, Irak pernah memiliki kitab Al-Jamharah karya Ibnu Duraid yang sangat bagus.
Akibat terdesak oleh kebutuhan, ia terpaksa menjual kitab tersebut seharga 60 dinar. Kehilangan kitab itu membuatnya berduka hingga kematian menjemputnya.
Menurut Al-Jahidz, orang yang belanjanya untuk membeli buku tidak lebih nikmat daripada belanjanya pecinta biduan dan penggila bangunan, maka ia tidak akan sampai pada tingkat ilmu yang memuaskan.
Orang tersebut tidak akan memperoleh manfaat dari belanjanya sampai ia mau memprioritaskan pembelian buku sebagaimana orang badui memprioritaskan kudanya untuk diberi susu daripada keluarganya.
Selain itu, ia mau menaruh harapan besar terhadap ilmu sebagaimana orang badui menaruh harapan besar pada kudanya.
Sikap Al-Jahidz sangat mendasar. Pecinta ilmu akan memprioritaskan apapun untuk memuaskan dahaga keilmuannya.
Seperti kisah unik seorang syaikh penggila buku yang rela melepas sebagian pakaiannya untuk membeli buku yang dipandangnya berharga. Sebab, pada saat itu ia tidak memiliki uang. Salah satu kisah unik lainnya terkait Imam Ibnu Daqiqil Ied.
Ia antusias mendapati ada yang menjual kitab As-Syarhul Kabir karya Ar-Rafi’i Al-Qazwini sebesar 12 jilid. Ia pun membelinya seharga 1.000 dirham. Karena terlalu asyik menelaah kitab tersebut, ia sampai hanya melakukan shalat fardhu saja.
Kitab itu terbeli bukan berarti karena ia kaya harta. Meskipun menjabat Qadhil Qudhat (hakim agung), ia sering terlilit utang. Hal itu akibat kecintaannya kepada ilmu.
Warisan terbaik kita kepada generasi berikutnya adalah kecintaan kepada ilmu yang dilengkapi referensi yang memadai.
Sebab itulah warisan para nabi dan ulama-ulama terdahulu. Bagian terbaik itu adalah mewarisi buku yang melimpah sebagai sarana meraih ilmu.
Sesungguhnya mewariskan buku-buku berikut ilmu yang terkandung di dalamnya dapat memberikan manfaat bagi orang hidup maupun orang mati. Karena anak-anak kita akan membaca dan belajar dari apa yang mereka baca dari buku-buku tersebut.
Sementara kita yang berada di kubur, akan senantiasa mendapatkan kiriman pahala selama mereka memanfaatkan warisan kita dengan baik. Lestarinya pemanfaatan ilmu berupa buku tersebut, lestari pula amal jariah bagi pemiliknya.
, Oleh: Tgh Habib Ziadi
sumber : www.republika.co.id