MASJID Merah Panjunan berada di wilayah Kampung Panjunan, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon. Tempat ibadah ini dikelilingi pagar tembok merah bata. Keunikan masjid yang diarsiteki Pangeran Losari itu, sebenarnya, justru tampak dari dinding pagarnya.
Meskipun bentuk dan tinggi pagar sama, hiasan pada dinding pagar ini beda motif. Dinding kanan pintu masuk Masjid Merah dihiasi motif batik, sedangkan dinding pagar kiri polos tanpa hiasan.
Menurut pengurus Masjid Merah, Nasiruddin (35), dinding itu memang sengaja dibangun demikian dan memiliki makna khusus. "Di luar orang boleh berbeda, tetapi ketika memasuki ke masjid, semua orang satu tujuan. Di dalam masjid, setiap orang harus berhati bersih dan punya satu tujuan yang sama untuk menghadap Allah," ujarnya ketika ditemui Tribun di Masjid Merah, Minggu (22/7).
Nasiruddin mengatakan filosofi itu pun mewakili perbedaan karakter Wali Songo (sembilan wali). Namun, mereka toh tetap bersatu, berkumpul, dan berdiskusi tentang ajaran Islam.
Ia mengatakan keistimewaan masjid itu adalah semua komponen merupakan bentuk asli sejak masjid ini dibangun. Atap rumah ibadah yang merupakan sususan sirap itu, kata dia, asli sejak Pangeran Panjunan mendirikan bangunan masjid ini.
Zaman dulu, menurut dia, atap sirap atau kayu-kayu tipis khas menjadi penutup bangunan-bangunan mulia seperti keraton dan tempat ibadah. Tiang-tiang penyangga serta hiasan-hiasan dinding di masjid itu juga masih asli.
Nasiruddin mengatakan Masjid Merah disokong 17 tiang penyangga yang melambangkan 17 rakaat dalam salat. Empat dari 17 tiang penyangga itu merupakan penyangga utama, ucapnya, sebagai simbol empat imam dalam hukum atau syariat Islam. Mereka adalah Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi'i, dan Imam Hanafi.
Ujung setiap tiang penyokong itu berbentuk bintang dengan delapan bunga. Hal itu membuktikan adanya pengaruh arsitektur Arab pada masjid itu. Bintang itu melambangkan delapan lafal selawat yang diajarkan Rasulullah.
Hiasan piring keramik menempel pada dinding bagian dalam masjid baik bagian kiri, sisi kanan, maupun bagian depan. Konon, kata Nasiruddin, piring-piring keramik itu berasal dari Cina. Selain menandakan hubungan Kerajaan Cirebon dengan Cina pada masa lalu, ucapnya, hal itu menyimbolkan bahwa ajaran Islam tidak hanya berkembang di tanah air.
"Itu berarti sejak dulu syiar Islam tersebar hingga ke negara-negara lain, termasuk sampai ke Cina," ujar pria yang delapan tahun terakhir menjadi pengurus Masjid Merah ini.
Dinding masjid masih dipertahankan agar tetap tampak warna asli, merah tanah liat. Menurut seorang warga Panjunan yang bersama Nasiruddin sore itu, Ahmad (47), dinding pagar dan dinding masjid merah tanah liat masjid selalu dipertahankan karena dua alasan.
Pertama, merah liat itu melambangkan keberanian Pangeran Panjunan serta Wali Songo untuk mengambil keputusan. Selain itu, merah liat sebagai ciri khas dari masjid yang semula bernama Masjid Al-Athyah itu sehingga disebut Masjid Merah. Dari beranda masjid, ada satu pintu utama dengan ukuran kecil. Menurut Nasiruddin, hal itu mengingatkan agar orang yang masuk ke masjid menanggalkan kesombongnya dan dengan rendah hati menghadap Allah.
Hal itu dipertegas dengan adanya tulisan kalimat Syahadat yang digantung sebelum pintu itu. Namun, tulisan itu baru menjadi tambahan sekitar 1980-an. Baik Nasiruddin maupun Ahmad tidak tahu persis waktu pembangunan masjid ini. Menurut mereka, masjid ini masjid tertua di Jawa. Ahmad mengatakan masjid ini berdiri pada masa Keraton Kanoman (pusat peradaban Kesultanan Cirebon, kemudian pecah menjadi Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon).
Namun, berdasarkan tulisan yang terpampang sebelum pintu masuk, bangunan tempat ibadah umat Islam ini kira-kira dibangun pada 1480.
Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001, Masjid Merah ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Beberapa literatur menyebutkan bahwa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat memugar atap sirap masjid ini pada 2001-2002.
Semula masjid ini dikelola oleh pihak Kesultanan Kasepuhan, tetapi selanjutnya diserahkan kepada DKM Panjunan. Di sebelah kanan masjid ada bangunan baru yang terdiri atas kamar mandi, tempat wudu, dan tempat bersuci lainnya.
Menurut Nasiruddin, Masjid Merah, selain untuk beribadah, awalnya tempat berbagi ilmu atau sharing Wali Songo atau antara Wali Songo, terutama Sunan Gunung Jati, dengan Pangeran Panjunan.
Pangeran Panjunan, kata Ahmad, merupakan pembuat gerabah. Keturunan Pangeran Panjunan sempat mempertahankan tradisi pembuatan gerabah untuk waktu yang lama, tapi lambat laun tradisi itu terkikis. "Sekarang, (tradisi pembuatan gerabah atau keramik) hilang sama sekali," kata Ahmad.
Masjid Merah termasuk bangunan ukuran kecil dengan jarak antara lantai dan atap yang rendah seperti rumah-rumah tua di Jawa. Menurut Ahmad, masjid ini ramai dikunjungi orang selama bulan Ramadan, terutama ketika tarawrh.
Sumber jabar.tribunnews.com