Kematian (Sebuah Risalah tentang Eksistensi dan Ketiadaan)
APA yang terlintas dalam pikiran kita ketika mendengar kata kematian? Takut, ngeri, sakit, berbagai perasaan, dan imajinasi lain yang terkait horor serta penghentian kesenangan akan terlintas dalam benak kita. Bagaiamana reaksi orang lain terhadap kematian? Takut, sedih, ngeri, atau sebaliknya, gembira? Kita dapat mengalami perasaan yang berbeda ketika menghadapi sebuah peristiwa kematian. Sebaliknya, kita juga dapat melihat bagaimana beragamnya reaksi orang lain dalam menghadapi sebuah peristiwa kematian. Di layar kaca, kita menghadapi kesedihan keluarga seorang publik figur, tetapi dalam kali yang sama kita juga melihat atau terhenyak menyaksikan kegembiraan rakyat atas kematian sang publik figur itu. Memang, kematian kebanyakan dianggap sebagai hal yang menakutkan dan mengerikan karena akan memutuskan seseorang dengan segala aktivitas duniawi. Tinggal di dunia lain, barzah, yang belum dikenal menimbulkan rasa ngeri yang terkadang berlebihan. Terlebih jika sang individu tidak mendapatkan bekal religi yang cukup sebelumnya.
Damm dalam bukunya tersebut ingin mengajak manusia dengan menelusuri pembekalan ala filsafat untuk bersiap diri dalam menghadapi kematian. Buku yang terdiri atas enam bab. Pada bab 1, Damm mengatakan bahwa eksistensi, sosial, dan bahasa harus muncul dalam waktu bersamaan (hlm. xxiii). Ketiga hal itu tidak mungkin berpisah, sebaliknya saling melengkapi. Damm mengatakan bahwa manusia adalah sebuah eksistensi. Aspek sosial, menurut Damm, merujuk pada struktur kehidupan yang muncul sebagai pelampauan manusia sebagai sebuah eksistensi. Sementara itu, bahasa merupakan sistem tanda. Ketiga unsur itulah yang membuat manusia eksis sebagai sebuah eksistensi.
Pada bab 2, Damm menguraikan tentang kebenaran, keputusan, dan otensitas. Otensitas, menurut Damm, adalah sebentuk pencapaian dari seseorang yang selalu memperbarui dirinya melalui penciptaan kebenaran, dan penciptaan kebenaran selalu didahului keputusan eksistensial. Dalam bab 2 tersebut, Damm lebih menitik beratkan pada aspek manusia dengan fokus agensi dalam konstruksi dunia manusia.
Pada bab 3, Damm memaparkan hadirnya kematian di dalam dunia manusia. Damm mengusung teori Epikurus, Immanuel Kant, dan Ludwig Wittgenstein. Menurut Damm, beberapa nama yang disebut menganggap bahwa tidak pernah ada tempat bagi kematian karena kematian tidak bisa ada dalam dunia-dunia mereka. Damm membandingkan pendapat kaum Nasrani pada Abad Pertengahan yang menganggap bahwa kematian dibicarakan bukan karena kematian itu nyata, tetapi karena Tuhan itu ada.
Pada bab 4, Damm membicarakan masalah imortalitas. Inti dari pembahasan Damm pada bab itu adalah kemungkinan dan ketidakmungkinan manusia untuk mengeliminasi kematin dan menjadi abadi. Bagi Damm, imortalitas adalah bias dari cara kematian hadir di dalam dunia manusia. Pada bab 5 dan bab 6, Damm memberikan paparan pelampauan atas ulasan bab sebelumnya. Pada bab 5, Damm mengaitkan kematian dengan perayaan kematian. Di dalam masyarakat kita perayaan kematian masih banyak dilakukan, yaitu berupa upacara atau ritual lain yang dilakukan jika seseorang sebagai anggota kelompok masyarakat meninggal dunia. Perayaan tersebut pada hakikatnya bukan sekadar penghamburan materi atas si mati, melainkan sarana pembelajaran bagi kita "si hidup" untuk meyakini bahwa kematian merupakan bagian dari eksistensi kita sebagai manusia.
Bab 6 merupakan sarana Damm untuk memberikan "pencerahan" khusus kepada pembaca tentang bunuh diri. Bunuh diri, menurut Damm, merupakan tanda bahwa ada kesalahan dalam kehidupan, bukan hanya pada titik pelakunya melainkan pada kehidupan yang ia tinggali. Damm mengeksplorasi kondisi yang termanifestasikan dalam peristiwa bunuh diri. Buku ini layak dibaca sebagai sarana pembelajaran yang tepat untuk menangkap makna tentang kematian. Apa dan bagaimana kematian itu layak dihadapi.
(Resti Nurfaidah, Staf Teknis Balai Bahasa Bandung)**
Galamedia
kamis, 05 juli 2012 01:34 WIB
APA yang terlintas dalam pikiran kita ketika mendengar kata kematian? Takut, ngeri, sakit, berbagai perasaan, dan imajinasi lain yang terkait horor serta penghentian kesenangan akan terlintas dalam benak kita. Bagaiamana reaksi orang lain terhadap kematian? Takut, sedih, ngeri, atau sebaliknya, gembira? Kita dapat mengalami perasaan yang berbeda ketika menghadapi sebuah peristiwa kematian. Sebaliknya, kita juga dapat melihat bagaimana beragamnya reaksi orang lain dalam menghadapi sebuah peristiwa kematian. Di layar kaca, kita menghadapi kesedihan keluarga seorang publik figur, tetapi dalam kali yang sama kita juga melihat atau terhenyak menyaksikan kegembiraan rakyat atas kematian sang publik figur itu. Memang, kematian kebanyakan dianggap sebagai hal yang menakutkan dan mengerikan karena akan memutuskan seseorang dengan segala aktivitas duniawi. Tinggal di dunia lain, barzah, yang belum dikenal menimbulkan rasa ngeri yang terkadang berlebihan. Terlebih jika sang individu tidak mendapatkan bekal religi yang cukup sebelumnya.
Damm dalam bukunya tersebut ingin mengajak manusia dengan menelusuri pembekalan ala filsafat untuk bersiap diri dalam menghadapi kematian. Buku yang terdiri atas enam bab. Pada bab 1, Damm mengatakan bahwa eksistensi, sosial, dan bahasa harus muncul dalam waktu bersamaan (hlm. xxiii). Ketiga hal itu tidak mungkin berpisah, sebaliknya saling melengkapi. Damm mengatakan bahwa manusia adalah sebuah eksistensi. Aspek sosial, menurut Damm, merujuk pada struktur kehidupan yang muncul sebagai pelampauan manusia sebagai sebuah eksistensi. Sementara itu, bahasa merupakan sistem tanda. Ketiga unsur itulah yang membuat manusia eksis sebagai sebuah eksistensi.
Pada bab 2, Damm menguraikan tentang kebenaran, keputusan, dan otensitas. Otensitas, menurut Damm, adalah sebentuk pencapaian dari seseorang yang selalu memperbarui dirinya melalui penciptaan kebenaran, dan penciptaan kebenaran selalu didahului keputusan eksistensial. Dalam bab 2 tersebut, Damm lebih menitik beratkan pada aspek manusia dengan fokus agensi dalam konstruksi dunia manusia.
Pada bab 3, Damm memaparkan hadirnya kematian di dalam dunia manusia. Damm mengusung teori Epikurus, Immanuel Kant, dan Ludwig Wittgenstein. Menurut Damm, beberapa nama yang disebut menganggap bahwa tidak pernah ada tempat bagi kematian karena kematian tidak bisa ada dalam dunia-dunia mereka. Damm membandingkan pendapat kaum Nasrani pada Abad Pertengahan yang menganggap bahwa kematian dibicarakan bukan karena kematian itu nyata, tetapi karena Tuhan itu ada.
Pada bab 4, Damm membicarakan masalah imortalitas. Inti dari pembahasan Damm pada bab itu adalah kemungkinan dan ketidakmungkinan manusia untuk mengeliminasi kematin dan menjadi abadi. Bagi Damm, imortalitas adalah bias dari cara kematian hadir di dalam dunia manusia. Pada bab 5 dan bab 6, Damm memberikan paparan pelampauan atas ulasan bab sebelumnya. Pada bab 5, Damm mengaitkan kematian dengan perayaan kematian. Di dalam masyarakat kita perayaan kematian masih banyak dilakukan, yaitu berupa upacara atau ritual lain yang dilakukan jika seseorang sebagai anggota kelompok masyarakat meninggal dunia. Perayaan tersebut pada hakikatnya bukan sekadar penghamburan materi atas si mati, melainkan sarana pembelajaran bagi kita "si hidup" untuk meyakini bahwa kematian merupakan bagian dari eksistensi kita sebagai manusia.
Bab 6 merupakan sarana Damm untuk memberikan "pencerahan" khusus kepada pembaca tentang bunuh diri. Bunuh diri, menurut Damm, merupakan tanda bahwa ada kesalahan dalam kehidupan, bukan hanya pada titik pelakunya melainkan pada kehidupan yang ia tinggali. Damm mengeksplorasi kondisi yang termanifestasikan dalam peristiwa bunuh diri. Buku ini layak dibaca sebagai sarana pembelajaran yang tepat untuk menangkap makna tentang kematian. Apa dan bagaimana kematian itu layak dihadapi.
(Resti Nurfaidah, Staf Teknis Balai Bahasa Bandung)**
Galamedia
kamis, 05 juli 2012 01:34 WIB