Suatu hari setelah mengimami shalat Ashar, Khalifah Umar bin Khattab RA menanyakan tentang kabar salah seorang sahabat yang tidak menghadiri shalat berjamaah.
Seorang sahabat berkata, “Kabarnya dia sakit, ya Amiral Mukminin.” Umar RA memutuskan untuk pergi ke rumahnya. Setiba di sana ia ketuk pintu rumahnya dan dari dalam sahabat itu bertanya, “Siapa yang mengetuk pintu?”
Dari luar, Umar menjawab, “Umar bin Khattab.”
Mengetahui yang datang adalah Amirul Mukminin, orang itu berlari dengan sigap untuk segera membuka pintu.
Tapi ketika kedua mata Umar bin Khattab bertatapan dengan kedua mata sahabat itu, Umar bertanya dengan nada menegur, “Mengapa engkau tidak shalat jamaah bersama kami? Padahal Allah telah memanggil engkau dari atas langit ketujuh: “hayya alash shalah” (mari mendirikan shalat), tetapi engkau tidak menyambutnya. Sedangkan panggilan Umar bin Khattab sempat membuatmu gelisah dan ketakutan.”
Inilah contoh diktum bahwa keimanan dan kesalehan, tak selalu bisa dipahami dengan pendekatan nalar dan logika. Betapa banyak kebenaran yang amat mudah dipahami, namun begitu berat untuk dilaksanakan.
Pekik suara muazin yang merdu dan sekaligus menitipkan pesan Ilahi, sama sekali tak bermagnet dibanding dengan gebyar suara musik. Masjid yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah seseorang, amat jarang dikunjungi. Tapi, berbagai tempat kemaksiatan yang jauh sekalipun, menjadi ringan untuk didatangi.
Demikian pula, terhadap nilai-nilai buruk. Bahwa, korupsi itu keji dan bisa diselami dengan pemikiran yang sederhana, namun tetap saja menghipnotis banyak orang agar tertarik untuk melakukannya.
Penyalahgunaan narkoba itu mengundang aneka macam kemudaratan dan menumbangkan banyak orang penting di negeri ini, tetap saja banyak diminati. Bahkan, Indonesia menjadi surga narkoba dan menduduki peringkat ketiga sebagai pasar narkoba dunia. Permusuhan dan pertikaian itu juga besar madaratnya, tapi tetap saja perpecahan terjadi di mana-mana, bahkan di kalangan para petinggi negeri.
Rupanya, pengetahuan atau pemahaman seseorang terhadap kebenaran, belum cukup untuk menggerakkannya menjadi sebuah tindakan nyata. Demikian pula pemahaman terhadap kemafsadatan (kerusakan) lantaran dosa atau kemaksiatan, tidak praktis menjadikan dirinya lari dari kemaksiatan tersebut.
Doa menjadi suatu kensicayaan yang harus dilakukan oleh seorang hamba. Karena kesalehan, ketundukan, kesabaran, kedermawanan, dan sifat-sifat luhur lainnya, hakikatnya dari Allah semata (QS an-Nisa [4]: 49). Demikian pula terhindarnya seseorang dari keburukan dan sifat-sifat buruk.
Itulah sebabnya mengapa Umar bin Khattab acap kali berdoa: “Ya Allah, perlihatkanlah yang hak (benar) itu sebagai hak dan anugerahi kami untuk mengikutinya. Perlihatkanlah yang batil itu sebagai batil, dan anugerahi kami untuk menjauhinya. Jangan Engkau jadikan hal itu bias bagi kami sehingga kami sesat. Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Dengan berdoa, kita memang sedang berupaya melucuti berbagai macam keangkuhan, supremasi, dan egosime yang bersarang dalam dada. Wallahu a'lam.
Oleh: Makmun Nawawi
sumber : www.republika.co.id
Seorang sahabat berkata, “Kabarnya dia sakit, ya Amiral Mukminin.” Umar RA memutuskan untuk pergi ke rumahnya. Setiba di sana ia ketuk pintu rumahnya dan dari dalam sahabat itu bertanya, “Siapa yang mengetuk pintu?”
Dari luar, Umar menjawab, “Umar bin Khattab.”
Mengetahui yang datang adalah Amirul Mukminin, orang itu berlari dengan sigap untuk segera membuka pintu.
Tapi ketika kedua mata Umar bin Khattab bertatapan dengan kedua mata sahabat itu, Umar bertanya dengan nada menegur, “Mengapa engkau tidak shalat jamaah bersama kami? Padahal Allah telah memanggil engkau dari atas langit ketujuh: “hayya alash shalah” (mari mendirikan shalat), tetapi engkau tidak menyambutnya. Sedangkan panggilan Umar bin Khattab sempat membuatmu gelisah dan ketakutan.”
Inilah contoh diktum bahwa keimanan dan kesalehan, tak selalu bisa dipahami dengan pendekatan nalar dan logika. Betapa banyak kebenaran yang amat mudah dipahami, namun begitu berat untuk dilaksanakan.
Pekik suara muazin yang merdu dan sekaligus menitipkan pesan Ilahi, sama sekali tak bermagnet dibanding dengan gebyar suara musik. Masjid yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah seseorang, amat jarang dikunjungi. Tapi, berbagai tempat kemaksiatan yang jauh sekalipun, menjadi ringan untuk didatangi.
Demikian pula, terhadap nilai-nilai buruk. Bahwa, korupsi itu keji dan bisa diselami dengan pemikiran yang sederhana, namun tetap saja menghipnotis banyak orang agar tertarik untuk melakukannya.
Penyalahgunaan narkoba itu mengundang aneka macam kemudaratan dan menumbangkan banyak orang penting di negeri ini, tetap saja banyak diminati. Bahkan, Indonesia menjadi surga narkoba dan menduduki peringkat ketiga sebagai pasar narkoba dunia. Permusuhan dan pertikaian itu juga besar madaratnya, tapi tetap saja perpecahan terjadi di mana-mana, bahkan di kalangan para petinggi negeri.
Rupanya, pengetahuan atau pemahaman seseorang terhadap kebenaran, belum cukup untuk menggerakkannya menjadi sebuah tindakan nyata. Demikian pula pemahaman terhadap kemafsadatan (kerusakan) lantaran dosa atau kemaksiatan, tidak praktis menjadikan dirinya lari dari kemaksiatan tersebut.
Doa menjadi suatu kensicayaan yang harus dilakukan oleh seorang hamba. Karena kesalehan, ketundukan, kesabaran, kedermawanan, dan sifat-sifat luhur lainnya, hakikatnya dari Allah semata (QS an-Nisa [4]: 49). Demikian pula terhindarnya seseorang dari keburukan dan sifat-sifat buruk.
Itulah sebabnya mengapa Umar bin Khattab acap kali berdoa: “Ya Allah, perlihatkanlah yang hak (benar) itu sebagai hak dan anugerahi kami untuk mengikutinya. Perlihatkanlah yang batil itu sebagai batil, dan anugerahi kami untuk menjauhinya. Jangan Engkau jadikan hal itu bias bagi kami sehingga kami sesat. Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Dengan berdoa, kita memang sedang berupaya melucuti berbagai macam keangkuhan, supremasi, dan egosime yang bersarang dalam dada. Wallahu a'lam.
Oleh: Makmun Nawawi
sumber : www.republika.co.id