HADIAH sastra rancage made in Pasundan entah kenapa tak pernah mletek di tanah Cerbon Dermayu. Padahal ada banyak pemahat kata berkacamata sastra yang layak diayak untuk menjadi penerima rancage. Sebut saja Ahmad Subhanuddin Alwy, Nurdin M. Noer, Supali Kasim, Sumbadi Sastra Alam, Masduki Sarpin, dan Ipon Bae.
Yang memedihkan, ketika rancage lebih melirik sastra Lampung, Mak Dawah Mak Dibingi (2007) karya Udo Z. Zakri untuk dianugerahi Hadiah Sastra rancage 2008. Jadi wajar ketika ada sastrawan Cerbon yang enggan disebut namanya berurai airmata, nelangsa, "Aja mujur ngalor sedurung tinemu mleteke rancage!" (Jangan dulu dikubur menghadap kiblat sebelum mendapat hadiah sastra rancage).
Adakah ini pertanda duka sastra ketika Cerbon selalu terposisikan
sebagai anak haram budaya? Bisa jadi, memang begitu itu. Tapi menjadi lain ketika saya membaca Mamak Kenut (2012) karya sang peraih hadiah sastra Rancage itu. Adalah kumpul teks naratif khas wartawan merangkap sastrawan bernama Udo Z. Karzi, meski tak berbentuk tapi layak diasketis sebagai celotehan nakal ketika Jakarta berambut ikal keriting dan maaf... tidak berakal.
"Hmm, luar biasa, luar dalam," ucap saya untuk diri saya sendiri.
Kenapa? Udo mampu memetakan pulau-pulau keterasingan ketika kekuasaan (baca Jakarta) bertiwikrama menjadi puncak menara gading yang angkuh, gelo, dan lugu. Mamak Kenut adalah kritik akar rumput, ludah yang muncrat-muncrat sekaligus sejenis kesunyian yang meletihkan. Harap maklum, "Power tends to corrupt," tulis sejarawan Lord Acton, "But absolute power corrupts absolutely." Bahkan dramaturgi wayang Jawa --Penglepasan Kultural Ki Semar Kudapawana yang kerap hadir di ujung cerita-- diyakini bagian dari kekuasaan itu sendiri. Lir ambune njabah kelir lakon (Sejatining kritik akar rumput itu meski berbau tak sedap tapi mampu membuka ada apa di balik siapa). Lagi pula kritik terhadap penguasa (muhasabatul hukam) adalah ibadah amar makruf nahi munkar yang hukumnya fardu kifayah. "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil." (QS. Almaaidah: 8)
Itulah sudah! Sesudah itu, Kovenan Internasional tentang hak kritik akar rumputpun dialirkan. "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah."
Bisa jadi, di ruang ini celotehan Udo Z. Karzi dalam Mamak Kenut saya selipkan di saku nalar saya. Terus terang, dalam ruang Indonesia yang tak benderang, nalar nakal Mamak Kenut membuat saya terlempar pada ruang sepi yang mencerahkan. Ada banyak judul yang memosisikan kritik akar rumput Mamak Kenut patut diperdengarkan di teras istana Negara.
Sebut saja 'orang bersih', 'politisi olahraga', 'kapasitas', 'biasa saja', 'musyawarah-mufakat', dan entah apalagi. Peraih hadiah sastra Rancage 2008, Udo Z. Karzi, secara tersembunyi alirkan proses cendekia di belantara kemajemukan hasrat masyarakat sekaligus --mengutip Edward T. Hall, Beyond Culture, 1977-- sejenis pergulatan kultur tersembunyi yang sukar ditangkap oleh orang lain.
Tak pelak, kritik akar rumput Mamak Kenut berupaya mengadopsi kritik sosial sebagai proses logika sekaligus memasukan jaringan indera cium dalam pusaran revitalisasi estetika kearifan lokal ke ruang yang lebih cair. Ia tahu betul bahwa Kritik Akar rumput kerap memiliki potensi dalam hal penjelajahan bentuk, ruang dan waktu. Imanuel Kant menyebutnya sebagai das ding an sich (Wiegend dan Schinnagel 1964:272). Das ding an sich ini sejenis keniscayaan yang mustahil dapat ditangkap manusia. Seperti angin yang tak terbaca sekaligus laksana rsuara tanpa rupar yang mustahil bisa membaca. Tak pelak, Kritik akar rumput Mamak Kenut tidak sekadar absurditas fenomental juga siluet holistik di lembaran kain hitam putih. Artinya, kritik yang berbasis pada nalar cendekiawan akan lebih memiliki pilar pemberdayaan, abstraksi kontesia pemikiran serta validitas yang tinggi.
Ada banyak trik menarik yang diungkap Mamak Kenut sebagai jaringan indera dialektika yang mengubahsuai kontesia abstraksi menjadi sosok yang seolah-olah masuk akal. Abstraksi realitas ini memosisikan kritik akar rumput sebagai mikroskop steril yang futuris.
Artinya, seorang Udo melihat masa depan sebagai realitas kekinian. Adalah realitas yang memiliki potensi yang mentransformasi abstraksi sebagai suatu pembenaran. Memang kritik kerap overlap hingga ke batas tak terduga. "The future is in some sense some as real as the present too," ungkap Wendell Bell dan James A, The Sociology of The Future (1973: 8), "The future in some respect is as real as the past, since we know both in much the sameway-trought our conseption of them."
Mewacanai agregat di atas, maka kritik sosial menitikberatkan pada apa yang oleh kritikus dianggap benar yang juga dibenarkan pendapat kolektif. Artinya, saat Udo mengkritik penguasa maka dibutuhkan pembenaran bersifat kolektif. Seorang Joseph S. roucek, (Social Control 1956:3) menyebutnya, "Social control is a collecitive term for those processes, planed or unplaned, by which individuals are taught, persuaded or completed to conform to the usages and live-values of groups." Jadi, tak aneh apabila kritik sosial saat pertama diluncurkan memiliki potensi konflik untuk saling bersebrangan. Kritik yang bermakna perubahan akan berhadapan dengan keajegan kondisional. Kritik yang menuntut adanya ideal conduct dan high standars of performance diadopsi penguasa sebagai perilaku mabelelo yang nganeh-nganehi.
***
Aneh atau tidak, kritik akar rumput Mamak Kenut tercipta dari ruang pengap Indonesia. Terlebih lagi ketika republik tempat bersemayamnya para predator korup ini hampir pada setiap hari mematut jati diri menjadi sosok cleptocracy yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh para pencuri dan birokrasi dengan tingkat korupsi luar biasa. Tak ayal lagi, kritik akar rumput pun pun melintas-lintas. Udo melihat ini dan ini pernah disitir Goenawan Mohamad dalam pahatan teks yang memukau, "Kekuasaan, pada tingkat tertentu, memang sejenis kesepian. Yang menarik, ialah pada saat penguasa menyadari hal itu, ia ternyata tidak begitu gampang untuk membebaskan diri dari kungkungannya."
Apa artinya? Cuma kesunyian kekuasaan yang akan mengakhiri kecurangan-kecurangan tersembunyi itu. Cuma Tangan Tuhan yang tersembunyilah yang akan mengakhiri kepemimpinan politik yang bertahan amat lama yang seolah-olah, mengutip Budiana Kusumohamidjojo (1986:3), tidak mengenal tahun terakhir.
Emang sih, kritik akar rumput Mamak Kenut bukan hal yang anyar dalam percaturan pikir Indonesiana. Sebut saja Zaim Saidi, Emha Ainun Nadjib, Farid Gaban, Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaidi, Mohamad Sobary, M.A.W. Brouwer, dan Tandi Skober. Mereka adalah realitas yang kerap tersembunyi di bilik-bilik sunyi kekuasaan. Ini sejenis partikel nurudin (cahaya Tuhan) yang kerap muncul setiap kali kekuasaan mentuhankan nafsu.
Malangnya, banyak penguasa yang enggan mengasketis partikel nurudin itu menjadi cermin jujur yang seteril. Di titik inilah pada akhirnya kritik akar rumput Mamak Kenut bisa jadi tak lebih dari lintasan angin yang memasuki banyak ruang sonder permisi. Atau tidak lebih dari secangkir kopi yang terhidang diambang fajar, di teras rumah ketika kemarau kian retak.
(Penulis adalah budayawan, penulis, sastrawan)**
Oleh : TANDI SKOBER
Galamedia
jumat, 28 september 2012 01:12 WIB
Yang memedihkan, ketika rancage lebih melirik sastra Lampung, Mak Dawah Mak Dibingi (2007) karya Udo Z. Zakri untuk dianugerahi Hadiah Sastra rancage 2008. Jadi wajar ketika ada sastrawan Cerbon yang enggan disebut namanya berurai airmata, nelangsa, "Aja mujur ngalor sedurung tinemu mleteke rancage!" (Jangan dulu dikubur menghadap kiblat sebelum mendapat hadiah sastra rancage).
Adakah ini pertanda duka sastra ketika Cerbon selalu terposisikan
sebagai anak haram budaya? Bisa jadi, memang begitu itu. Tapi menjadi lain ketika saya membaca Mamak Kenut (2012) karya sang peraih hadiah sastra Rancage itu. Adalah kumpul teks naratif khas wartawan merangkap sastrawan bernama Udo Z. Karzi, meski tak berbentuk tapi layak diasketis sebagai celotehan nakal ketika Jakarta berambut ikal keriting dan maaf... tidak berakal.
"Hmm, luar biasa, luar dalam," ucap saya untuk diri saya sendiri.
Kenapa? Udo mampu memetakan pulau-pulau keterasingan ketika kekuasaan (baca Jakarta) bertiwikrama menjadi puncak menara gading yang angkuh, gelo, dan lugu. Mamak Kenut adalah kritik akar rumput, ludah yang muncrat-muncrat sekaligus sejenis kesunyian yang meletihkan. Harap maklum, "Power tends to corrupt," tulis sejarawan Lord Acton, "But absolute power corrupts absolutely." Bahkan dramaturgi wayang Jawa --Penglepasan Kultural Ki Semar Kudapawana yang kerap hadir di ujung cerita-- diyakini bagian dari kekuasaan itu sendiri. Lir ambune njabah kelir lakon (Sejatining kritik akar rumput itu meski berbau tak sedap tapi mampu membuka ada apa di balik siapa). Lagi pula kritik terhadap penguasa (muhasabatul hukam) adalah ibadah amar makruf nahi munkar yang hukumnya fardu kifayah. "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil." (QS. Almaaidah: 8)
Itulah sudah! Sesudah itu, Kovenan Internasional tentang hak kritik akar rumputpun dialirkan. "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah."
Bisa jadi, di ruang ini celotehan Udo Z. Karzi dalam Mamak Kenut saya selipkan di saku nalar saya. Terus terang, dalam ruang Indonesia yang tak benderang, nalar nakal Mamak Kenut membuat saya terlempar pada ruang sepi yang mencerahkan. Ada banyak judul yang memosisikan kritik akar rumput Mamak Kenut patut diperdengarkan di teras istana Negara.
Sebut saja 'orang bersih', 'politisi olahraga', 'kapasitas', 'biasa saja', 'musyawarah-mufakat', dan entah apalagi. Peraih hadiah sastra Rancage 2008, Udo Z. Karzi, secara tersembunyi alirkan proses cendekia di belantara kemajemukan hasrat masyarakat sekaligus --mengutip Edward T. Hall, Beyond Culture, 1977-- sejenis pergulatan kultur tersembunyi yang sukar ditangkap oleh orang lain.
Tak pelak, kritik akar rumput Mamak Kenut berupaya mengadopsi kritik sosial sebagai proses logika sekaligus memasukan jaringan indera cium dalam pusaran revitalisasi estetika kearifan lokal ke ruang yang lebih cair. Ia tahu betul bahwa Kritik Akar rumput kerap memiliki potensi dalam hal penjelajahan bentuk, ruang dan waktu. Imanuel Kant menyebutnya sebagai das ding an sich (Wiegend dan Schinnagel 1964:272). Das ding an sich ini sejenis keniscayaan yang mustahil dapat ditangkap manusia. Seperti angin yang tak terbaca sekaligus laksana rsuara tanpa rupar yang mustahil bisa membaca. Tak pelak, Kritik akar rumput Mamak Kenut tidak sekadar absurditas fenomental juga siluet holistik di lembaran kain hitam putih. Artinya, kritik yang berbasis pada nalar cendekiawan akan lebih memiliki pilar pemberdayaan, abstraksi kontesia pemikiran serta validitas yang tinggi.
Ada banyak trik menarik yang diungkap Mamak Kenut sebagai jaringan indera dialektika yang mengubahsuai kontesia abstraksi menjadi sosok yang seolah-olah masuk akal. Abstraksi realitas ini memosisikan kritik akar rumput sebagai mikroskop steril yang futuris.
Artinya, seorang Udo melihat masa depan sebagai realitas kekinian. Adalah realitas yang memiliki potensi yang mentransformasi abstraksi sebagai suatu pembenaran. Memang kritik kerap overlap hingga ke batas tak terduga. "The future is in some sense some as real as the present too," ungkap Wendell Bell dan James A, The Sociology of The Future (1973: 8), "The future in some respect is as real as the past, since we know both in much the sameway-trought our conseption of them."
Mewacanai agregat di atas, maka kritik sosial menitikberatkan pada apa yang oleh kritikus dianggap benar yang juga dibenarkan pendapat kolektif. Artinya, saat Udo mengkritik penguasa maka dibutuhkan pembenaran bersifat kolektif. Seorang Joseph S. roucek, (Social Control 1956:3) menyebutnya, "Social control is a collecitive term for those processes, planed or unplaned, by which individuals are taught, persuaded or completed to conform to the usages and live-values of groups." Jadi, tak aneh apabila kritik sosial saat pertama diluncurkan memiliki potensi konflik untuk saling bersebrangan. Kritik yang bermakna perubahan akan berhadapan dengan keajegan kondisional. Kritik yang menuntut adanya ideal conduct dan high standars of performance diadopsi penguasa sebagai perilaku mabelelo yang nganeh-nganehi.
***
Aneh atau tidak, kritik akar rumput Mamak Kenut tercipta dari ruang pengap Indonesia. Terlebih lagi ketika republik tempat bersemayamnya para predator korup ini hampir pada setiap hari mematut jati diri menjadi sosok cleptocracy yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh para pencuri dan birokrasi dengan tingkat korupsi luar biasa. Tak ayal lagi, kritik akar rumput pun pun melintas-lintas. Udo melihat ini dan ini pernah disitir Goenawan Mohamad dalam pahatan teks yang memukau, "Kekuasaan, pada tingkat tertentu, memang sejenis kesepian. Yang menarik, ialah pada saat penguasa menyadari hal itu, ia ternyata tidak begitu gampang untuk membebaskan diri dari kungkungannya."
Apa artinya? Cuma kesunyian kekuasaan yang akan mengakhiri kecurangan-kecurangan tersembunyi itu. Cuma Tangan Tuhan yang tersembunyilah yang akan mengakhiri kepemimpinan politik yang bertahan amat lama yang seolah-olah, mengutip Budiana Kusumohamidjojo (1986:3), tidak mengenal tahun terakhir.
Emang sih, kritik akar rumput Mamak Kenut bukan hal yang anyar dalam percaturan pikir Indonesiana. Sebut saja Zaim Saidi, Emha Ainun Nadjib, Farid Gaban, Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaidi, Mohamad Sobary, M.A.W. Brouwer, dan Tandi Skober. Mereka adalah realitas yang kerap tersembunyi di bilik-bilik sunyi kekuasaan. Ini sejenis partikel nurudin (cahaya Tuhan) yang kerap muncul setiap kali kekuasaan mentuhankan nafsu.
Malangnya, banyak penguasa yang enggan mengasketis partikel nurudin itu menjadi cermin jujur yang seteril. Di titik inilah pada akhirnya kritik akar rumput Mamak Kenut bisa jadi tak lebih dari lintasan angin yang memasuki banyak ruang sonder permisi. Atau tidak lebih dari secangkir kopi yang terhidang diambang fajar, di teras rumah ketika kemarau kian retak.
(Penulis adalah budayawan, penulis, sastrawan)**
Oleh : TANDI SKOBER
Galamedia
jumat, 28 september 2012 01:12 WIB