Ketika menyampaikan khutbah Haji Wada', Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan universal tentang pentingnya kesetaraan.
“Wahai umat manusia, sesungguhnya Tuhan kalian itu Esa. Kalian semua adalah anak cucu Adam. Sedangkan, Adam diciptakan dari tanah. Tidak ada keistimewaan dan diskriminasi antara orang Arab dan non-Arab (asing) atau non-Arab dan orang Arab; antara yang berkulit hitam dan yang berkulit putih, atau yang berkulit putih dan yang berkulit hitam, kecuali karena takwanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Islam memerintahkan umatnya untuk menekankan pentingnya kesetaraan umat manusia dalam kehormatan dan perlakuan, meski tanah air, suku bangsa, dan etnisnya berbeda. Bahkan, Alquran telah menjelaskan kesatuan martabat kemanusiaan itu bagi pengikut para Rasul.
Atas dasar persamaan dalam martabat itulah, Alquran menentang Firaun yang menjadikan warga masyarakatnya terpecah belah, lalu ia menghormati kelompoknya sendiri, dan melecehkan kelompok lain. (QS Al-Qashash [28]: 4).
Alquran menegaskan, perlakuan diskriminatif itu menyalahi kodrat dan tabiat kemanusiaan yang paling asasi. Karena itu, tidak mengakui kesetaraan manusia, lebih-lebih di depan hukum, merupakan salah satu jenis perangai atau perilaku jahat Firaun yang karenanya dia digolongkan sebagai pelaku kerusakan.
Sejarah mencatat bahwa Rasul SAW pernah berbincang-bincang dengan beberapa pembesar Quraisy, lalu seorang buta (Ibn Ummi Maktum) datang menemuinya dengan maksud memohon agar beliau mengajarinya tentang Islam. Rasulullah SAW merasa khawatir—jika beliau mengalihkan perhatiannya kepadanya—para pembesar itu pergi meninggalkan beliau, padahal beliau sangat menginginkan mereka itu masuk Islam.
Rasulullah kemudian memalingkan muka (terhadap si buta itu) sambil bermuka masam. Sikap Nabi SAW yang 'kurang perhatian' ini dikritik keras oleh Alquran, meski beliau tidak bermaksud merendahkannya. (Lihat QS Abasa [80]: 1-11).
Jika Rasulullah saja ditegur sedemikian keras, sudah semestinya kita sebagai pengikutnya belajar untuk berlaku adil, egaliter, dan tidak diskriminatif. Sumber masalah di negeri ini, antara lain, adalah hilangnya ketidakadilan hukum karena perlakuan yang tidak setara; tebang pilih dalam penegakan hukum, dan hukum cenderung berpihak kepada yang berkuasa dan kaya, bukan membela kebenaran dan keadilan.
Benang kusut pemberantasan korupsi semestinya diurai dengan penegakan hukum secara adil, siapa pun orangnya dan jabatannya. Pemberantasan korupsi akan lebih efektif jika aparat penegak hukumnya jujur, bersih, dan berkomitmen membersihkan diri serta lingkungannya dari korupsi.
Selain itu, para koruptor yang terbukti bersalah diberi hukuman setimpal yang dapat memberi efek jera bagi calon koruptor.
Keadilan hukum seharusnya tidak pernah pandang bulu agar semua merasakan sama dan setara di depan hukum. Keadilan hukum akan tegak manakala para pemimpin dan penegak hukum memiliki integritas moral dan spiritual yang jujur dan tepercaya, sekaligus benar-benar mampu menjadi teladan penegakan hukum seadil-adilnya.
Oleh: Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id
“Wahai umat manusia, sesungguhnya Tuhan kalian itu Esa. Kalian semua adalah anak cucu Adam. Sedangkan, Adam diciptakan dari tanah. Tidak ada keistimewaan dan diskriminasi antara orang Arab dan non-Arab (asing) atau non-Arab dan orang Arab; antara yang berkulit hitam dan yang berkulit putih, atau yang berkulit putih dan yang berkulit hitam, kecuali karena takwanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Islam memerintahkan umatnya untuk menekankan pentingnya kesetaraan umat manusia dalam kehormatan dan perlakuan, meski tanah air, suku bangsa, dan etnisnya berbeda. Bahkan, Alquran telah menjelaskan kesatuan martabat kemanusiaan itu bagi pengikut para Rasul.
Atas dasar persamaan dalam martabat itulah, Alquran menentang Firaun yang menjadikan warga masyarakatnya terpecah belah, lalu ia menghormati kelompoknya sendiri, dan melecehkan kelompok lain. (QS Al-Qashash [28]: 4).
Alquran menegaskan, perlakuan diskriminatif itu menyalahi kodrat dan tabiat kemanusiaan yang paling asasi. Karena itu, tidak mengakui kesetaraan manusia, lebih-lebih di depan hukum, merupakan salah satu jenis perangai atau perilaku jahat Firaun yang karenanya dia digolongkan sebagai pelaku kerusakan.
Sejarah mencatat bahwa Rasul SAW pernah berbincang-bincang dengan beberapa pembesar Quraisy, lalu seorang buta (Ibn Ummi Maktum) datang menemuinya dengan maksud memohon agar beliau mengajarinya tentang Islam. Rasulullah SAW merasa khawatir—jika beliau mengalihkan perhatiannya kepadanya—para pembesar itu pergi meninggalkan beliau, padahal beliau sangat menginginkan mereka itu masuk Islam.
Rasulullah kemudian memalingkan muka (terhadap si buta itu) sambil bermuka masam. Sikap Nabi SAW yang 'kurang perhatian' ini dikritik keras oleh Alquran, meski beliau tidak bermaksud merendahkannya. (Lihat QS Abasa [80]: 1-11).
Jika Rasulullah saja ditegur sedemikian keras, sudah semestinya kita sebagai pengikutnya belajar untuk berlaku adil, egaliter, dan tidak diskriminatif. Sumber masalah di negeri ini, antara lain, adalah hilangnya ketidakadilan hukum karena perlakuan yang tidak setara; tebang pilih dalam penegakan hukum, dan hukum cenderung berpihak kepada yang berkuasa dan kaya, bukan membela kebenaran dan keadilan.
Benang kusut pemberantasan korupsi semestinya diurai dengan penegakan hukum secara adil, siapa pun orangnya dan jabatannya. Pemberantasan korupsi akan lebih efektif jika aparat penegak hukumnya jujur, bersih, dan berkomitmen membersihkan diri serta lingkungannya dari korupsi.
Selain itu, para koruptor yang terbukti bersalah diberi hukuman setimpal yang dapat memberi efek jera bagi calon koruptor.
Keadilan hukum seharusnya tidak pernah pandang bulu agar semua merasakan sama dan setara di depan hukum. Keadilan hukum akan tegak manakala para pemimpin dan penegak hukum memiliki integritas moral dan spiritual yang jujur dan tepercaya, sekaligus benar-benar mampu menjadi teladan penegakan hukum seadil-adilnya.
Oleh: Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id