Matahari baru saja naik. Para ibu petani bersiap-siap pulang ke rumah masing-masing. Mereka sudah bekerja di sawah dan ladang semenjak selesai shalat Subuh. Jam sembilan pagi mereka sudah kembali ke rumah.
Mereka menggarap sawah dan ladang milik sendiri. Hasilnya memang tak seberapa, sekadar buat tambahan, bukan pemasukan utama. Para lelaki atau suami mereka bekerja sebagai pedagang di pasar.
Sekali dalam sepekan ibu-ibu kampung itu mengikuti majelis taklim yang diadakan mulai jam 10.00 sampai waktu Zuhur dengan ustaz yang tetap. Di samping untuk menambah ilmu agama dan memperkuat ruhaniah, mereka juga memanfaatkan acara itu untuk silaturahim dan berbagi cerita tentang keluarga.
Amai adalah salah seorang di antara ibu-ibu itu. Suaminya sudah lama meninggal dunia. Putra-putrinya juga sudah dewasa dan berkeluarga. Sebelum menetap di kampung, Amai dan suaminya tinggal di kota, dua jam naik mobil dari kampungnya. Dulunya, sang suami bekerja di toko grosir, milik adik kandungnya sendiri.
Sejak lama, Amai terkenal dengan sifat pemurahnya. Anak-anak paling senang berkunjung ke rumah Amai karena pasti disuguhi makanan, sekali-sekali uang. Apalagi kalau ada saudara Amai yang berkunjung, anak-anak itu akan diberi uang. Padahal, Amai bukan orang kaya.
Pagi itu setelah pulang dari sawah, Amai bersiap untuk menghadiri majelis taklim. Kebetulan dua hari yang lalu putrinya datang membawakan Amai baju baru yang bagus dan kelihatannya juga mahal. Putri semata wayangnya itu sekarang sudah cukup kaya. Dia ikut berdagang dengan suaminya. Pakaian baru itu dipakai Amai ke masjid.
Di masjid, ada seorang ibu yang memuji dan mengagumi baju Amai. “Bagus sekali bajunya Amai, beli di mana?” Tentu, Amai menjelaskan bahwa baju itu hadiah dari putrinya. Pulang dari majelis taklim, Amai segera mengganti bajunya dan membungkus baju baru itu kemudian pergi ke rumah ibu yang mengagumi bajunya itu dan menghadiahkan kepadanya.
Kadang dia pergi ke toko putrinya, meminta handuk, selimut, dan baju beberapa potong. "Untuk apa semuanya ini?" tanya putrinya.
Amai menjawab, "Kasihan si itu …si itu …." Tentu saja, semuanya akan dibagi-bagikan oleh Amai kepada orang-orang yang membutuhkannya. Kadang-kadang putrinya juga kesal karena selalu saja baju-baju Amai habis di almari karena dibagi-bagikan.
Sepulang menunaikan haji beberapa tahun lalu, banyak tetangga dan karib kerabat datang berkunjung. Dengan senang hati, Amai menerima mereka dan membagikan sejumlah oleh-oleh dengan dibantu putra-putrinya. Putrinya sendiri belum kebagian. Hingga akhirnya tersisa sebuah selendang, putrinya berharap semoga yang satu itu tidak dibagikan lagi kepada orang lain dan diberikan kepadanya.
Namun, alangkah kecewanya putrinya tatkala ada lagi tamu yang datang, lalu selendang itu juga diberikan. Walaupun kecewa, putri Amai bangga ibunya mempunyai sifat mulia seperti itu.
Waktu Amai meninggal dunia, praktis almari pakaiannya sudah kosong, kecuali tersisa beberapa lembar pakaian yang biasa digunakan Amai sehari-hari. Kini, masyarakat merasa kehilangan setelah wanita pemurah itu meninggal dunia.
Oleh: KH Yunahar Ilyas
sumber : www.republika.co.id
Mereka menggarap sawah dan ladang milik sendiri. Hasilnya memang tak seberapa, sekadar buat tambahan, bukan pemasukan utama. Para lelaki atau suami mereka bekerja sebagai pedagang di pasar.
Sekali dalam sepekan ibu-ibu kampung itu mengikuti majelis taklim yang diadakan mulai jam 10.00 sampai waktu Zuhur dengan ustaz yang tetap. Di samping untuk menambah ilmu agama dan memperkuat ruhaniah, mereka juga memanfaatkan acara itu untuk silaturahim dan berbagi cerita tentang keluarga.
Amai adalah salah seorang di antara ibu-ibu itu. Suaminya sudah lama meninggal dunia. Putra-putrinya juga sudah dewasa dan berkeluarga. Sebelum menetap di kampung, Amai dan suaminya tinggal di kota, dua jam naik mobil dari kampungnya. Dulunya, sang suami bekerja di toko grosir, milik adik kandungnya sendiri.
Sejak lama, Amai terkenal dengan sifat pemurahnya. Anak-anak paling senang berkunjung ke rumah Amai karena pasti disuguhi makanan, sekali-sekali uang. Apalagi kalau ada saudara Amai yang berkunjung, anak-anak itu akan diberi uang. Padahal, Amai bukan orang kaya.
Pagi itu setelah pulang dari sawah, Amai bersiap untuk menghadiri majelis taklim. Kebetulan dua hari yang lalu putrinya datang membawakan Amai baju baru yang bagus dan kelihatannya juga mahal. Putri semata wayangnya itu sekarang sudah cukup kaya. Dia ikut berdagang dengan suaminya. Pakaian baru itu dipakai Amai ke masjid.
Di masjid, ada seorang ibu yang memuji dan mengagumi baju Amai. “Bagus sekali bajunya Amai, beli di mana?” Tentu, Amai menjelaskan bahwa baju itu hadiah dari putrinya. Pulang dari majelis taklim, Amai segera mengganti bajunya dan membungkus baju baru itu kemudian pergi ke rumah ibu yang mengagumi bajunya itu dan menghadiahkan kepadanya.
Kadang dia pergi ke toko putrinya, meminta handuk, selimut, dan baju beberapa potong. "Untuk apa semuanya ini?" tanya putrinya.
Amai menjawab, "Kasihan si itu …si itu …." Tentu saja, semuanya akan dibagi-bagikan oleh Amai kepada orang-orang yang membutuhkannya. Kadang-kadang putrinya juga kesal karena selalu saja baju-baju Amai habis di almari karena dibagi-bagikan.
Sepulang menunaikan haji beberapa tahun lalu, banyak tetangga dan karib kerabat datang berkunjung. Dengan senang hati, Amai menerima mereka dan membagikan sejumlah oleh-oleh dengan dibantu putra-putrinya. Putrinya sendiri belum kebagian. Hingga akhirnya tersisa sebuah selendang, putrinya berharap semoga yang satu itu tidak dibagikan lagi kepada orang lain dan diberikan kepadanya.
Namun, alangkah kecewanya putrinya tatkala ada lagi tamu yang datang, lalu selendang itu juga diberikan. Walaupun kecewa, putri Amai bangga ibunya mempunyai sifat mulia seperti itu.
Waktu Amai meninggal dunia, praktis almari pakaiannya sudah kosong, kecuali tersisa beberapa lembar pakaian yang biasa digunakan Amai sehari-hari. Kini, masyarakat merasa kehilangan setelah wanita pemurah itu meninggal dunia.
Oleh: KH Yunahar Ilyas
sumber : www.republika.co.id