,Mohammed one of the greatest man that humanity has ever produced. Great not simply as a prophet, but he was true to himself, his people and above all to his God. (Glyn Leonard, Islam-Her moral and Spiritual value, London 1972 pp. 20-21).
Kita hafal betul, betapa baginda Muhammad saw sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, terlebih dahulu tampil sebagai Al Amin. Sosok manusia yang tidak saja dikenal dan ditauladani kita semua, tetapi juga tak kurang para cendekiawan nonmuslim terpesona oleh keagungan ahlak beliau. Begitu terpesonanya, sehingga Glyn Leonard, menulisnya sebagai Manusia Agung (The Greatest Man) yang dilahirkan untuk kemanusiaan. Dan keagungan ahlak beliau bertumpu pada sikapnya yang senantiasa berpihak pada kebenaran dan kejujuran.
Michael H Hart, seorang sejarawan Amerika, setelah melalui riset yang mendalam kemudian tanpa ragu sedikit pun menempatkan Muhammad nomor satu di atas tokoh lainnya di dunia, dan memberikan komentar: ''A Striking example of this is may ranking Muhammad higher than others, in large part, because of my believe that Muhammad had a much greater personal influence on the formulation of The Moslem.... (The Hundreds, A Ranking of the most influential Person in Hostory, New York, 1978).
Glyn Leonard dan Michael H Hart, sepakat bahwa keagungan Rasulullah saw karena pengaruh ahlaknya yang luar biasa. Jujur pada dirinya sendiri, jujur pada manusia dan terlebih, Muhammad jujur pada Tuhannya (and above all true to his God).
Tetapi tidakkah kita merasa pedih dan sembilu, ketika di sekitar kita bahkan pada diri kita sendiri, pesona kejujuran telah memudar, lentera kebenaran telah memudar dan kusam. Sehingga, tanpa merasa berdosa kita sering berbohong dengan memainkan kata-kata banci dan pengecut, walau berlindung dibalik alasan memperhalus bahasa.
Pelacuran kita ganti dengan wanita tuna susila atau WTS. Kenaikan harga diganti penyesuaian. Korupsi dan kolusi disebut kesalahan prosedur dan birokrasi. Sogok dan suap berubah kata menjadi uang pelicin. Masya Allah! Kita sadar, bahwa manusia hanya mungkin mampu memanusiakan dirinya sendiri, ketika ia mampu berbuat jujur pada nuraninya. Lantas, apakah masih pantas kita menampakkan wajah kemanusiaan kita di hadapan Allah, jika sedikit pun tidak merasa berdosa ketika mengkhianati atau berbuat tidak jujur pada diri sendiri, ataukah memang seperti yang diprediksi Allah swt, bahwa kelak banyak manusia penghuni neraka yang lebih hina dari binatang ternak? yaitu mereka yang telah menutup mata, telinga dan nuraninya dari kejujuran (7: 176).
Mungkin ada baiknya, sesekali kita mengingat makna ihsan yang disabdakan Rasulullah saw: ''hendaklah engkau beribadah seakan-akan melihat Allah, dan apabila engkau tak melihatnya, ketahuilah -- sesungguhnya Allah melihatmu (h.r. Muslim) Tetapi, kalau tetap saja berbuat tidak jujur, masih mau disogok atau menyogok, ah...
sumber : www.republika.co.id
Kita hafal betul, betapa baginda Muhammad saw sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, terlebih dahulu tampil sebagai Al Amin. Sosok manusia yang tidak saja dikenal dan ditauladani kita semua, tetapi juga tak kurang para cendekiawan nonmuslim terpesona oleh keagungan ahlak beliau. Begitu terpesonanya, sehingga Glyn Leonard, menulisnya sebagai Manusia Agung (The Greatest Man) yang dilahirkan untuk kemanusiaan. Dan keagungan ahlak beliau bertumpu pada sikapnya yang senantiasa berpihak pada kebenaran dan kejujuran.
Michael H Hart, seorang sejarawan Amerika, setelah melalui riset yang mendalam kemudian tanpa ragu sedikit pun menempatkan Muhammad nomor satu di atas tokoh lainnya di dunia, dan memberikan komentar: ''A Striking example of this is may ranking Muhammad higher than others, in large part, because of my believe that Muhammad had a much greater personal influence on the formulation of The Moslem.... (The Hundreds, A Ranking of the most influential Person in Hostory, New York, 1978).
Glyn Leonard dan Michael H Hart, sepakat bahwa keagungan Rasulullah saw karena pengaruh ahlaknya yang luar biasa. Jujur pada dirinya sendiri, jujur pada manusia dan terlebih, Muhammad jujur pada Tuhannya (and above all true to his God).
Tetapi tidakkah kita merasa pedih dan sembilu, ketika di sekitar kita bahkan pada diri kita sendiri, pesona kejujuran telah memudar, lentera kebenaran telah memudar dan kusam. Sehingga, tanpa merasa berdosa kita sering berbohong dengan memainkan kata-kata banci dan pengecut, walau berlindung dibalik alasan memperhalus bahasa.
Pelacuran kita ganti dengan wanita tuna susila atau WTS. Kenaikan harga diganti penyesuaian. Korupsi dan kolusi disebut kesalahan prosedur dan birokrasi. Sogok dan suap berubah kata menjadi uang pelicin. Masya Allah! Kita sadar, bahwa manusia hanya mungkin mampu memanusiakan dirinya sendiri, ketika ia mampu berbuat jujur pada nuraninya. Lantas, apakah masih pantas kita menampakkan wajah kemanusiaan kita di hadapan Allah, jika sedikit pun tidak merasa berdosa ketika mengkhianati atau berbuat tidak jujur pada diri sendiri, ataukah memang seperti yang diprediksi Allah swt, bahwa kelak banyak manusia penghuni neraka yang lebih hina dari binatang ternak? yaitu mereka yang telah menutup mata, telinga dan nuraninya dari kejujuran (7: 176).
Mungkin ada baiknya, sesekali kita mengingat makna ihsan yang disabdakan Rasulullah saw: ''hendaklah engkau beribadah seakan-akan melihat Allah, dan apabila engkau tak melihatnya, ketahuilah -- sesungguhnya Allah melihatmu (h.r. Muslim) Tetapi, kalau tetap saja berbuat tidak jujur, masih mau disogok atau menyogok, ah...
sumber : www.republika.co.id