Setiap komunitas selalu membutuhkan seorang pemimpin. Islam juga mengajarkan yang demikian itu, pemimpin harus ada.Bahkan dalam kegiatan ritual sekalipun, seperti shalat bersama-sama, harus ditunjuk salah seorang di antaranya menjadi imam atau pemimpinnya.
Masyarakat yang ideal, manakala memiliki seorang pemimpin yang ditaati, dicintai, dan dihormati. Namun tentu, perlakuan terhadap pemimpin seperti itu, manakala pemimpinnya mampu berbuat baik, adil, dan jujur terhadap mereka yang dipimpinnya.
Suasana seperti itu akan melahirkan saling kasih mengasihi antara mereka yang dipimpin dan yang memimpin.
Tali hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, agar menjadi tetap kokoh, seharusnya berupa kasih sayang. Hubungan kasih sayang tidak akan ada yang mengalahkannya.
Kasih sayang akan melahirkan ketaatan, penghormatan, dan bahkan juga kesediaan untuk berkorban di antara sesamanya.
Dalam alam demokrasi seperti sekarang ini, pemimpin dipilih langsung oleh mereka yang dpimpinnya. Dengan demikian mestinya para pemimpin adalah orang yang paling dicintai, ditaati, dan dihormati oleh mereka yang memilihnya.
Dalam memilih sesuatu, tidak terkecuali memilih pemimpin, seharusnya mengambil yang terbaik.
Atas dasar proses demokrasi seperti itu, semestinya tidak ada alasan untuk tidak mencintai, menaati, dan menghormati pemimpinnya sendiri.
Namun sayang sekali, suasana ideal itu tidak selalu terjadi. Pemimpin yang semula dipilihnya sendiri, ternyata tidak ditaati dan bahkan ditinggalkan.
Pemimpin yang bersangkutan dianggap tidak jujur dan tidak adil. Bukankah semestinya tatkala memilihnya, telah menyadari bahwa pemimpin itu sebenarnya adalah orang biasa.
Statusnya sebagai manusia biasa, maka tatkala menjadi pemimpin sekalipun tidak pernah luput dari kekurangan dan kesalahan. Manusia selalu disebut sebagai //mahallul khotho wannis-yan// tempatnya salah dan lupa.
Mencari pemimpin yang tidak memiliki kesalahan, tak akan pernah mendapatkannya. Sebab semua orang, --kecuali rasul yang maksum, selalu memiliki sifat lupa dan salah itu.
Pemimpin, siapapun orangnya, seharusnya diterima secara utuh, baik tatkala sedang melakukan kebenaran maupun tatkala sedang melakukan kesalahan. Apalagi, kesalahannya itu misalnya, tidak disengaja atau tidak dikehaui olehnya.
Sebagai orang yang sedang dipimpin, manakala pemimpinnya melakukan kesalahan, harus mengingatkan. Membiarkan pemimpinnya melakukan kesalahan, merupakan kesalahan. Bahkan, dalam shalat sekalipun, ketika imamnya salah, makmum harus mengingatkannya.
Siapapun yang salah seharusnya diingatkan dan bukan dihukum. Sebab betapa banyak orang yang akan masuk penjara, manakala setiap orang yang salah harus dipenjara, sementara kesalahan itu sebenarnya adalah milik semua.
Kesalahan semestinya tidak selalu harus dibalas dengan hukuman, tidak terkecuali kesalahan seorang pemimpin. Pemimpin harus dihormati, apalagi posisinya diperoleh dari proses yang benar, yaitu lewat pilihan dengan cara-cara yang telah disepakati bersama. Wallahu a lam.
n
, Oleh Prof Dr Imam Suprayogo
sumber : www.republika.co.id
Masyarakat yang ideal, manakala memiliki seorang pemimpin yang ditaati, dicintai, dan dihormati. Namun tentu, perlakuan terhadap pemimpin seperti itu, manakala pemimpinnya mampu berbuat baik, adil, dan jujur terhadap mereka yang dipimpinnya.
Suasana seperti itu akan melahirkan saling kasih mengasihi antara mereka yang dipimpin dan yang memimpin.
Tali hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, agar menjadi tetap kokoh, seharusnya berupa kasih sayang. Hubungan kasih sayang tidak akan ada yang mengalahkannya.
Kasih sayang akan melahirkan ketaatan, penghormatan, dan bahkan juga kesediaan untuk berkorban di antara sesamanya.
Dalam alam demokrasi seperti sekarang ini, pemimpin dipilih langsung oleh mereka yang dpimpinnya. Dengan demikian mestinya para pemimpin adalah orang yang paling dicintai, ditaati, dan dihormati oleh mereka yang memilihnya.
Dalam memilih sesuatu, tidak terkecuali memilih pemimpin, seharusnya mengambil yang terbaik.
Atas dasar proses demokrasi seperti itu, semestinya tidak ada alasan untuk tidak mencintai, menaati, dan menghormati pemimpinnya sendiri.
Namun sayang sekali, suasana ideal itu tidak selalu terjadi. Pemimpin yang semula dipilihnya sendiri, ternyata tidak ditaati dan bahkan ditinggalkan.
Pemimpin yang bersangkutan dianggap tidak jujur dan tidak adil. Bukankah semestinya tatkala memilihnya, telah menyadari bahwa pemimpin itu sebenarnya adalah orang biasa.
Statusnya sebagai manusia biasa, maka tatkala menjadi pemimpin sekalipun tidak pernah luput dari kekurangan dan kesalahan. Manusia selalu disebut sebagai //mahallul khotho wannis-yan// tempatnya salah dan lupa.
Mencari pemimpin yang tidak memiliki kesalahan, tak akan pernah mendapatkannya. Sebab semua orang, --kecuali rasul yang maksum, selalu memiliki sifat lupa dan salah itu.
Pemimpin, siapapun orangnya, seharusnya diterima secara utuh, baik tatkala sedang melakukan kebenaran maupun tatkala sedang melakukan kesalahan. Apalagi, kesalahannya itu misalnya, tidak disengaja atau tidak dikehaui olehnya.
Sebagai orang yang sedang dipimpin, manakala pemimpinnya melakukan kesalahan, harus mengingatkan. Membiarkan pemimpinnya melakukan kesalahan, merupakan kesalahan. Bahkan, dalam shalat sekalipun, ketika imamnya salah, makmum harus mengingatkannya.
Siapapun yang salah seharusnya diingatkan dan bukan dihukum. Sebab betapa banyak orang yang akan masuk penjara, manakala setiap orang yang salah harus dipenjara, sementara kesalahan itu sebenarnya adalah milik semua.
Kesalahan semestinya tidak selalu harus dibalas dengan hukuman, tidak terkecuali kesalahan seorang pemimpin. Pemimpin harus dihormati, apalagi posisinya diperoleh dari proses yang benar, yaitu lewat pilihan dengan cara-cara yang telah disepakati bersama. Wallahu a lam.
n
, Oleh Prof Dr Imam Suprayogo
sumber : www.republika.co.id