"Janganlah kalian berputus harapan dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah akan mengampuni semua dosa. Karena Dia Mahapengampun lagi Mahapenyayang." (QS al-Zumar/39: 53) "Dan tidak ada orang yang berputus harapan dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang sesat." (QS al-Hijr/15: 56)
Dua ayat tersebut mengandung tiga nilai moral-spiritual yang mulia. Pertama, manusia harus terus-menerus belajar optimis dalam meraih rahmat Allah, saat senang maupun susah.
Belajar optimis harus ditujukkan melalui kerja ikhlas, cerdas, keras, berkualitas, dan tuntas dalam rangka meraih masa depan yang lebih baik.
Menurut Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, sebuah bangsa akan bangkit menuju kemajuan dan kesejahteraan jika warganya memiliki etos kerja yang profesional dan optimisme yang tinggi. Jadi, optimisme merupakan spirit dan energi positif untuk meraih prestasi tinggi dan cita-cita mulia.
Kedua, putus asa merupakan sikap mental pecundang. Putus asa menyebabkan kehilangan harapan baik di masa depan. Allah melarang hamba-Nya berputus asa karena rahmat (kasih sayang) Allah jauh lebih luas dari yang dibayangkan manusia.
Rahmat Allah menjangkau dan menghampiri seluruh makhluk-Nya. Karena itu, orang yang berputus asa sama artinya dengan berprasangka buruk kepada-Nya. Akibatnya, berputus asa dapat menyebabkan seseorang tersesat dari jalan-Nya.
Ketiga, pintu rahmat dan ampunan Allah senantiasa terbuka bagi siapapun, di manapun, dan kapan saja. Karena itu, hamba harus selalu berupaya mendekatkan diri kepada-Nya, baik melalui ibadah ritual maupun ibadah sosial.
Persoalannya, manusia seringkali lupa diri, sehingga Allah pun melupakannya (QS al-Hasyr/59:19). Ketika manusia dilupakan Allah, maka rahmat-Nya pasti jauh darinya.
Oleh sebab itu, manusia yang beriman harus bersikap rendah hati dan terus optimistis untuk bertaubat, kembali kepada jalan Allah, dengan memohon ampunan-Nya.
Optimisme dalam menghadapi persoalan dan masa depan merupakan bagian integral dari keberimanan seseorang. Belajar optimis berarti belajar mereformasi iman, menyesali dosa-dosa masa lalu, tidak mengulangi kesalahan, dan bertekad menyongsong masa depan yang lebih baik.
Oleh karena itu, belajar optimis seyogyanya tidak berhenti pada perbaikan kualitas hidup di dunia, tapi juga bervisi jauh ke depan, yakni harapan baik dalam kehidupan akhirat kelak.
Allah menyatakan: "Siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia berbuat baik, dan tidak melakukan kemusyrikan sedikitpun dalam beribadah kepada-Nya." (QS al-Kahfi/18: 110).
Belajar optimis bukan sekadar keinginan tanpa tindakan nyata. Belajar optimis menurut al-Qur’an, harus disertai usaha dan doa.
Usaha itu dapat diwujudkan dengan kembali meneladani perjalanan hidup Rasulullah SAW yang tidak pernah surut dari ujian dan cobaan, bahkan ancaman terhadap keselamatan jiwanya.
"Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat keteladanan yang baik bagi kalian yang mengharapkan Allah dan hari akhir, serta banyak berzikir kepada-Nya." (QS al-Ahzab/33: 21)
Salah satu penyebab putus harapan adalah berpikir negatif (su’udzan), tidak mengingat Allah, dan krisis keteladanan.
Dalam situasi bangsa yang masih mengalami krisis, para pemimpin, pejabat dan tokoh-bangsa diharapkan dapat memberi keteladanan yang baik dalam mengelola negara, memperhatikan dan menyejahterakan mereka.
Para pemimpin tidak cukup hanya memberikan harapan, terutama kepada warga bangsa yang mengalami musibah, tapi juga harus mampu memberikan teladan yang baik dalam berpola hidup sederhana, hemat, sehat, dan cermat, tidak korup dan suka berfoya-foya di atas penderitaan rakyat.
Dengan belajar otimis, kita dapat membangun komitmen baru, berpikir positif, etos kerja produktif, dan selalu mensyukuri karunia Allah SWT, sehingga cita-cita mulia selalu menjadi target perjuangan hidupnya.
Belajar optimis diiringi dengan doa dapat menjauhkan diri dari murka Allah, karena Allah sangat senang jika dimintai, lebih-lebih hamba yang meminta kepada-Nya dengan penuh optimistis.
Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id
Dua ayat tersebut mengandung tiga nilai moral-spiritual yang mulia. Pertama, manusia harus terus-menerus belajar optimis dalam meraih rahmat Allah, saat senang maupun susah.
Belajar optimis harus ditujukkan melalui kerja ikhlas, cerdas, keras, berkualitas, dan tuntas dalam rangka meraih masa depan yang lebih baik.
Menurut Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, sebuah bangsa akan bangkit menuju kemajuan dan kesejahteraan jika warganya memiliki etos kerja yang profesional dan optimisme yang tinggi. Jadi, optimisme merupakan spirit dan energi positif untuk meraih prestasi tinggi dan cita-cita mulia.
Kedua, putus asa merupakan sikap mental pecundang. Putus asa menyebabkan kehilangan harapan baik di masa depan. Allah melarang hamba-Nya berputus asa karena rahmat (kasih sayang) Allah jauh lebih luas dari yang dibayangkan manusia.
Rahmat Allah menjangkau dan menghampiri seluruh makhluk-Nya. Karena itu, orang yang berputus asa sama artinya dengan berprasangka buruk kepada-Nya. Akibatnya, berputus asa dapat menyebabkan seseorang tersesat dari jalan-Nya.
Ketiga, pintu rahmat dan ampunan Allah senantiasa terbuka bagi siapapun, di manapun, dan kapan saja. Karena itu, hamba harus selalu berupaya mendekatkan diri kepada-Nya, baik melalui ibadah ritual maupun ibadah sosial.
Persoalannya, manusia seringkali lupa diri, sehingga Allah pun melupakannya (QS al-Hasyr/59:19). Ketika manusia dilupakan Allah, maka rahmat-Nya pasti jauh darinya.
Oleh sebab itu, manusia yang beriman harus bersikap rendah hati dan terus optimistis untuk bertaubat, kembali kepada jalan Allah, dengan memohon ampunan-Nya.
Optimisme dalam menghadapi persoalan dan masa depan merupakan bagian integral dari keberimanan seseorang. Belajar optimis berarti belajar mereformasi iman, menyesali dosa-dosa masa lalu, tidak mengulangi kesalahan, dan bertekad menyongsong masa depan yang lebih baik.
Oleh karena itu, belajar optimis seyogyanya tidak berhenti pada perbaikan kualitas hidup di dunia, tapi juga bervisi jauh ke depan, yakni harapan baik dalam kehidupan akhirat kelak.
Allah menyatakan: "Siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia berbuat baik, dan tidak melakukan kemusyrikan sedikitpun dalam beribadah kepada-Nya." (QS al-Kahfi/18: 110).
Belajar optimis bukan sekadar keinginan tanpa tindakan nyata. Belajar optimis menurut al-Qur’an, harus disertai usaha dan doa.
Usaha itu dapat diwujudkan dengan kembali meneladani perjalanan hidup Rasulullah SAW yang tidak pernah surut dari ujian dan cobaan, bahkan ancaman terhadap keselamatan jiwanya.
"Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat keteladanan yang baik bagi kalian yang mengharapkan Allah dan hari akhir, serta banyak berzikir kepada-Nya." (QS al-Ahzab/33: 21)
Salah satu penyebab putus harapan adalah berpikir negatif (su’udzan), tidak mengingat Allah, dan krisis keteladanan.
Dalam situasi bangsa yang masih mengalami krisis, para pemimpin, pejabat dan tokoh-bangsa diharapkan dapat memberi keteladanan yang baik dalam mengelola negara, memperhatikan dan menyejahterakan mereka.
Para pemimpin tidak cukup hanya memberikan harapan, terutama kepada warga bangsa yang mengalami musibah, tapi juga harus mampu memberikan teladan yang baik dalam berpola hidup sederhana, hemat, sehat, dan cermat, tidak korup dan suka berfoya-foya di atas penderitaan rakyat.
Dengan belajar otimis, kita dapat membangun komitmen baru, berpikir positif, etos kerja produktif, dan selalu mensyukuri karunia Allah SWT, sehingga cita-cita mulia selalu menjadi target perjuangan hidupnya.
Belajar optimis diiringi dengan doa dapat menjauhkan diri dari murka Allah, karena Allah sangat senang jika dimintai, lebih-lebih hamba yang meminta kepada-Nya dengan penuh optimistis.
Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id