“Besok besar saya ingin menjadi ahli ilmu agama”. Itulah jawaban seorang murid ketika ditanya tentang cita-citanya kelak. Jawaban demikian boleh jadi lumrah belaka. Tetapi jika dicermati, segera terasa pandangan terhadap ilmu yang perlu dikaji kembali.
Munculnya istilah ilmu agama menandaskan seolah ada ilmu non-agama. Anggapan selanjutnya biasanya bahwa belajar ilmu agama itu berpahala, sementara belajar ilmu non-agama tidak akan berpahala. Ada cara pandang dikotomik antara ilmu agama dan ilmu umum.
Semestinya tidak ada istilah ilmu agama. Agama bukan ilmu, melainkan ilmu adalah bagian dari agama. Agama yang melahirkan ilmu. Dan setiap ilmu harus ditegakkan di atas pondasi agama. Surah Al-Mujadilah ayat 11 tegas menyatakan bahwa ilmu harus diawali dengan iman. “…Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat.”
Tetapi sebagian orang menganggap bahwa ilmu agama sebatas pelajaran fiqih, tauhid, akidah, tasawuf, tarikh, akhlak, bahasa Arab, dan lainnya. Ilmu geografi, ekonomi, psikologi, sosiologi, filsafat, sastra, seni, biologi, fisika, matematika, kimia, dan serupanya dipandang sebagai bukan ilmu agama, atau bahkan tidak ada kaitannya dengan agama.
Itulah awal dari sekulerisasi ilmu. Islam memandang ilmu secara utuh dan menyatu. Umat Islam dianjurkan untuk menuntut ilmu. Dan Allah akan mengangkat derajat orang-orang berilmu tanpa dibedakan jenis ilmunya. Yang penting ilmu tersebut harus tegak di atas keimanan.
Cermati konsep manusia ideal (ulul albab) menurut Alquran. Manusia ideal adalah orang-orang yang selalu berzikir kepada Allah, memikirkan penciptaan langit dan bumi. “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring. Mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata, Ya Tuhan kami, tidak Engkau ciptakan ini semua dengan sia-sia. Maha Suci Engkau. Maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imron: 191).
Jadi, di antara ciri manusia ideal adalah selalu berzikir, memikirkan penciptaan langit dan bumi. Tetapi mungkinkah manusia akan mampu memikirkan penciptaan langit dan bumi tanpa berbekal perangkat keilmuan seperti biologi, fisika, matematika, kimia, dan lainnya? Menafsirkan ayat-ayat kauniyah pun meniscayakan mufasir untuk menguasai ilmu-ilmu tersebut.
Itulah kenapa wahyu yang pertama kali turun adalah perintah membaca (Al-Alaq: 1-5). Membaca tentu meliputi apa saja, termasuk geografi, ekonomi, psikologi, sosiologi, filsafat, sastra, seni, biologi, fisika, matematika, kimia, dan seterusnya.
Sekulerisasi ilmu melahirkan anggapan bahwa yang disebut ulama hanya terbatas mereka yang menguasai ilmu syariah (fiqih). Sementara profesor geografi, ekonomi, psikologi, sosiologi, filsafat, sastra, seni, biologi, fisika, matematika, kimia, cukup disebut sebagai ilmuwan, bukan ulama. Padahal Al-Quran tidak pernah membatasi siapa penyandang gelar ulama. “Sungguh yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanya ulama. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Fathir: 28).
Ulama dalam ayat ini adalah mereka yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan kata lain, pakar di bidang apa saja, sepanjang kepakaran itu membuatnya semakin takut kepada Allah, merekalah ulama. Ulama bukan hanya para pakar fiqih, tauhid, akidah, tasawuf, tarikh, akhlak, bahasa Arab, melainkan siapa saja yang mendayagunakan pikiran dan nuraninya untuk menguak kebesaran Allah dengan landasan keimanan dan ketakwaan.
Sekulerisasi ilmu juga melahirkan kesalahan yang sangat fatal. Misalnya, yang dituntut mampu membaca dan memahami Alquran hanya mereka yang belajar di pesantren atau kampus Islam. Mereka yang belajar di luar kedua lembaga pendidikan itu, tidak ada urusan dengan bisa atau tidak membaca dan memahami Alquran. Bahkan sama sekali awam soal agama dan ibadah juga tidak menjadi soal. Karena agama dan ibadah itu bukan bidang kajian mereka.
Jelaslah, ilmu hendak dilepaskan sama sekali dari agama. Mempelajari ilmu hanya untuk ilmu itu sendiri. Padahal tidak ada satu urusan di dunia ini yang boleh dilepaskan dari agama. Jika agama tidak menjadi pondasi tegaknya segala sendi kehidupan, akibatnya ketinggian ilmu seolah terus berpacu dengan maraknya berbagai kasus seperti kita lihat di negeri ini: KKN, tawuran, narkoba, kekerasan, perselingkuhan, plagiarisme, dan kebejatan moral lain.
Sekulerisasi ilmu jelas merupakan muasal kosongnya ilmu dari muatan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Akan berbeda jika pemegang ilmu selalu tegak di atas pondasi agama. Mustahil ia akan menyalahgunakan ilmunya. Karena senantiasa merasa diawasi Allah, sehingga akan berhati-hati dalam setiap ucapan dan tindakan. I
tulah esensi ihsan. Yaitu “engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa sungguh Dia melihatmu” (Bukhari dan Muslim).
Bahaya lain dari sekulerisasi ilmu adalah munculnya para pakar ilmu yang justru memperdahsyat kerusakan di bumi. Mereka paham agama tetapi tidak mengamalkannya. Mereka inilah yang oleh Allah digambarkan seperti keledai membawa kitab.
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian tidak mengamalkan isinya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal. Amat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim” (Al-Jumuah: 5).
Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya, Oleh M Husnaini
sumber : www.republika.co.id
Munculnya istilah ilmu agama menandaskan seolah ada ilmu non-agama. Anggapan selanjutnya biasanya bahwa belajar ilmu agama itu berpahala, sementara belajar ilmu non-agama tidak akan berpahala. Ada cara pandang dikotomik antara ilmu agama dan ilmu umum.
Semestinya tidak ada istilah ilmu agama. Agama bukan ilmu, melainkan ilmu adalah bagian dari agama. Agama yang melahirkan ilmu. Dan setiap ilmu harus ditegakkan di atas pondasi agama. Surah Al-Mujadilah ayat 11 tegas menyatakan bahwa ilmu harus diawali dengan iman. “…Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat.”
Tetapi sebagian orang menganggap bahwa ilmu agama sebatas pelajaran fiqih, tauhid, akidah, tasawuf, tarikh, akhlak, bahasa Arab, dan lainnya. Ilmu geografi, ekonomi, psikologi, sosiologi, filsafat, sastra, seni, biologi, fisika, matematika, kimia, dan serupanya dipandang sebagai bukan ilmu agama, atau bahkan tidak ada kaitannya dengan agama.
Itulah awal dari sekulerisasi ilmu. Islam memandang ilmu secara utuh dan menyatu. Umat Islam dianjurkan untuk menuntut ilmu. Dan Allah akan mengangkat derajat orang-orang berilmu tanpa dibedakan jenis ilmunya. Yang penting ilmu tersebut harus tegak di atas keimanan.
Cermati konsep manusia ideal (ulul albab) menurut Alquran. Manusia ideal adalah orang-orang yang selalu berzikir kepada Allah, memikirkan penciptaan langit dan bumi. “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring. Mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata, Ya Tuhan kami, tidak Engkau ciptakan ini semua dengan sia-sia. Maha Suci Engkau. Maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imron: 191).
Jadi, di antara ciri manusia ideal adalah selalu berzikir, memikirkan penciptaan langit dan bumi. Tetapi mungkinkah manusia akan mampu memikirkan penciptaan langit dan bumi tanpa berbekal perangkat keilmuan seperti biologi, fisika, matematika, kimia, dan lainnya? Menafsirkan ayat-ayat kauniyah pun meniscayakan mufasir untuk menguasai ilmu-ilmu tersebut.
Itulah kenapa wahyu yang pertama kali turun adalah perintah membaca (Al-Alaq: 1-5). Membaca tentu meliputi apa saja, termasuk geografi, ekonomi, psikologi, sosiologi, filsafat, sastra, seni, biologi, fisika, matematika, kimia, dan seterusnya.
Sekulerisasi ilmu melahirkan anggapan bahwa yang disebut ulama hanya terbatas mereka yang menguasai ilmu syariah (fiqih). Sementara profesor geografi, ekonomi, psikologi, sosiologi, filsafat, sastra, seni, biologi, fisika, matematika, kimia, cukup disebut sebagai ilmuwan, bukan ulama. Padahal Al-Quran tidak pernah membatasi siapa penyandang gelar ulama. “Sungguh yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanya ulama. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Fathir: 28).
Ulama dalam ayat ini adalah mereka yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan kata lain, pakar di bidang apa saja, sepanjang kepakaran itu membuatnya semakin takut kepada Allah, merekalah ulama. Ulama bukan hanya para pakar fiqih, tauhid, akidah, tasawuf, tarikh, akhlak, bahasa Arab, melainkan siapa saja yang mendayagunakan pikiran dan nuraninya untuk menguak kebesaran Allah dengan landasan keimanan dan ketakwaan.
Sekulerisasi ilmu juga melahirkan kesalahan yang sangat fatal. Misalnya, yang dituntut mampu membaca dan memahami Alquran hanya mereka yang belajar di pesantren atau kampus Islam. Mereka yang belajar di luar kedua lembaga pendidikan itu, tidak ada urusan dengan bisa atau tidak membaca dan memahami Alquran. Bahkan sama sekali awam soal agama dan ibadah juga tidak menjadi soal. Karena agama dan ibadah itu bukan bidang kajian mereka.
Jelaslah, ilmu hendak dilepaskan sama sekali dari agama. Mempelajari ilmu hanya untuk ilmu itu sendiri. Padahal tidak ada satu urusan di dunia ini yang boleh dilepaskan dari agama. Jika agama tidak menjadi pondasi tegaknya segala sendi kehidupan, akibatnya ketinggian ilmu seolah terus berpacu dengan maraknya berbagai kasus seperti kita lihat di negeri ini: KKN, tawuran, narkoba, kekerasan, perselingkuhan, plagiarisme, dan kebejatan moral lain.
Sekulerisasi ilmu jelas merupakan muasal kosongnya ilmu dari muatan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Akan berbeda jika pemegang ilmu selalu tegak di atas pondasi agama. Mustahil ia akan menyalahgunakan ilmunya. Karena senantiasa merasa diawasi Allah, sehingga akan berhati-hati dalam setiap ucapan dan tindakan. I
tulah esensi ihsan. Yaitu “engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa sungguh Dia melihatmu” (Bukhari dan Muslim).
Bahaya lain dari sekulerisasi ilmu adalah munculnya para pakar ilmu yang justru memperdahsyat kerusakan di bumi. Mereka paham agama tetapi tidak mengamalkannya. Mereka inilah yang oleh Allah digambarkan seperti keledai membawa kitab.
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian tidak mengamalkan isinya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal. Amat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim” (Al-Jumuah: 5).
Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya, Oleh M Husnaini
sumber : www.republika.co.id