Suatu hari, Abdullah bin Umar membeli seekor unta kurus, lalu dibawa ke sebuah lembah yang banyak rerumputannya dan dibiarkan hidup tanpa digembala. Tak lama kemudian, unta itu menjadi gemuk dan dibawa ke pasar untuk dijual.
Pada saat itu, Amirul Mukminin, Umar bin Khattab, melakukan sidak ke pasar hewan. 'Milik siapa unta yang gemuk ini?' tanya Umar kepada para pedagang. 'Unta itu milik Abdullah bin Umar,' jawab mereka.
Beliau lalu mencari anaknya, dan berkata, 'Hai Abdulllah, celakalah... celakalah anak Amirul Mukminin. Apakah ini unta kurus yang tempo hari engkau biarkan hidup di lembah itu?' Abdullah menjawab, “Ya, wahai ayahanda.
”Di hadapan pedagang, Umar menasihati anaknya. 'Gembalakanlah unta ini dengan baik, beri dia makan dan minum. Jangan engkau biarkan begitu saja, wahai anak Amirul Mukminin. Sekarang juallah unta gemuk ini, lalu ambillah modal awalnya saja, kemudian berikan keuntungannya kepada baitul mal.'
Kisah tersebut memberikan teladan moral kepada kita bagaimana seorang pemimpin umat sangat peduli terhadap 'sepak terjang anaknya'. Ia menunjukkan sifat wara' (sikap kehati-hatian). Umar tidak ingin anaknya memakan sesuatu yang berbau syubhat (tidak jelas), apalagi hasil korupsi.
Beliau tidak ingin anaknya memanfaatkan kekuasaan ayahnya untuk memperoleh keuntungan 'tidak jelas' dari penjualan unta yang menjadi gemuk karena dibiarkan hidup di lembah.
Wara' merupakan sikap dan pola hidup yang sangat penting untuk mengerem laju syahwat duniawi dengan menjaga diri agar tidak berbuat dosa. Dengan belajar wara', setiap Muslim melatih dirinya untuk meningkatkan 'sensitivitas spiritualnya' dalam menjauhi larangan Allah.
Wara' merupakan benteng iman dan hati yang ampuh untuk pertahanan diri (self defence) dari perbuatan dosa. 'Tinggalkanlah yang meragukan menuju yang tidak meragukan.' (HR Turmudzi).
Dalam Risalah al-Qusyairiyyah disebutkan, suatu hari Hasan al-Basri bertemu salah seorang putra Ali bin Abi Thalib sedang bersandar pada dinding Ka'bah sambil memberi nasihat kepada jamaah.
Hasan Basri bertanya kepadanya, 'Apa yang dapat menjaga agama itu?' "Wara',” jawabnya singkat. Ia bertanya lagi, "Apa yang menjadi penyakit agama?" “Tamak,” jawabnya.
Ia menambahkan, 'Wara' seberat atom itu lebih baik daripada shalat dan puasa seribu kali.'Nabi SAW pernah berpesan kepada Abu Hurairah, "Jadilah engkau orang yang wara', niscaya engkau menjadi orang yang paling beribadah.' (HR Ibnu Majah)."
Ada tiga hal yang jika dipenuhi oleh Muslim, niscaya ia pasti mendapat pahala dan imannya sempurna: akhlak mulia yang dimiliki oleh masyarakat, wara' yang dapat memelihara dirinya dari larangan Allah, dan kesantunan dalam menghadapi orang-orang bodoh.' (HR al-Bazzar).
Sudah sepatutnya kita belajar menjadi wara' agar tidak mudah tergoda oleh hawa nafsu, bujuk rayu setan, syahwat politik, syahwat korupsi, dan kenikmatan duniawi lainnya yang menipu.
Al-Kirmani mengatakan, 'Tanda orang bertakwa itu wara'; tanda wara' itu berhenti dari hal-hal yang syubhat; tanda takut (kepada Allah) adalah bersedih; dan tanda raja' (penuh harap, optimis) adalah semakin taat kepada-Nya.'
Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id
Pada saat itu, Amirul Mukminin, Umar bin Khattab, melakukan sidak ke pasar hewan. 'Milik siapa unta yang gemuk ini?' tanya Umar kepada para pedagang. 'Unta itu milik Abdullah bin Umar,' jawab mereka.
Beliau lalu mencari anaknya, dan berkata, 'Hai Abdulllah, celakalah... celakalah anak Amirul Mukminin. Apakah ini unta kurus yang tempo hari engkau biarkan hidup di lembah itu?' Abdullah menjawab, “Ya, wahai ayahanda.
”Di hadapan pedagang, Umar menasihati anaknya. 'Gembalakanlah unta ini dengan baik, beri dia makan dan minum. Jangan engkau biarkan begitu saja, wahai anak Amirul Mukminin. Sekarang juallah unta gemuk ini, lalu ambillah modal awalnya saja, kemudian berikan keuntungannya kepada baitul mal.'
Kisah tersebut memberikan teladan moral kepada kita bagaimana seorang pemimpin umat sangat peduli terhadap 'sepak terjang anaknya'. Ia menunjukkan sifat wara' (sikap kehati-hatian). Umar tidak ingin anaknya memakan sesuatu yang berbau syubhat (tidak jelas), apalagi hasil korupsi.
Beliau tidak ingin anaknya memanfaatkan kekuasaan ayahnya untuk memperoleh keuntungan 'tidak jelas' dari penjualan unta yang menjadi gemuk karena dibiarkan hidup di lembah.
Wara' merupakan sikap dan pola hidup yang sangat penting untuk mengerem laju syahwat duniawi dengan menjaga diri agar tidak berbuat dosa. Dengan belajar wara', setiap Muslim melatih dirinya untuk meningkatkan 'sensitivitas spiritualnya' dalam menjauhi larangan Allah.
Wara' merupakan benteng iman dan hati yang ampuh untuk pertahanan diri (self defence) dari perbuatan dosa. 'Tinggalkanlah yang meragukan menuju yang tidak meragukan.' (HR Turmudzi).
Dalam Risalah al-Qusyairiyyah disebutkan, suatu hari Hasan al-Basri bertemu salah seorang putra Ali bin Abi Thalib sedang bersandar pada dinding Ka'bah sambil memberi nasihat kepada jamaah.
Hasan Basri bertanya kepadanya, 'Apa yang dapat menjaga agama itu?' "Wara',” jawabnya singkat. Ia bertanya lagi, "Apa yang menjadi penyakit agama?" “Tamak,” jawabnya.
Ia menambahkan, 'Wara' seberat atom itu lebih baik daripada shalat dan puasa seribu kali.'Nabi SAW pernah berpesan kepada Abu Hurairah, "Jadilah engkau orang yang wara', niscaya engkau menjadi orang yang paling beribadah.' (HR Ibnu Majah)."
Ada tiga hal yang jika dipenuhi oleh Muslim, niscaya ia pasti mendapat pahala dan imannya sempurna: akhlak mulia yang dimiliki oleh masyarakat, wara' yang dapat memelihara dirinya dari larangan Allah, dan kesantunan dalam menghadapi orang-orang bodoh.' (HR al-Bazzar).
Sudah sepatutnya kita belajar menjadi wara' agar tidak mudah tergoda oleh hawa nafsu, bujuk rayu setan, syahwat politik, syahwat korupsi, dan kenikmatan duniawi lainnya yang menipu.
Al-Kirmani mengatakan, 'Tanda orang bertakwa itu wara'; tanda wara' itu berhenti dari hal-hal yang syubhat; tanda takut (kepada Allah) adalah bersedih; dan tanda raja' (penuh harap, optimis) adalah semakin taat kepada-Nya.'
Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id