-

Tuesday, July 10, 2012

Aman, Iman, dan Amin Hari Bhayangkara 2012

MENYAMBUT Hari Bhayangkara 2012, saya sebagai penasihat Indonesia Police Watch (IPW), berharap agar Polri tidak hanya memenuhi keamanan masyarakat tetapi juga mampu memposisikan iman hamba hukum itu sesuai dengan agama dan kepercayaan. Kenapa? Aman, iman dan amin adalah sesuatu yang membuat masyarakat menjadi nyaman. Lagi pula, ini pesan sejarah yang pernah jadi ritual kultural Mahapatih Gajah Mada di era Majapahit.

Hal lain, Timur Pradopo dilahirkan di Jombang Jawa Timur --daerah perdikan era Majapahit-- yang kerap dituturtinularkan sebagai ruang asketis spiritual yang menginspirasi lahirnya geguyonan "Serat Kala Tida" Ranggowarsito. Tersebab itu, Jumat 22 Oktober 2010 Komisaris Jendral Timur Pradopo dilantik jadi Kapolri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di sini ada sinyal kultural bahwa Yudhoyono berharap Timur Pradopo mampu menakwil Kala Tida sebagai cermin surya kanta sekaligus zikir kinerja kepolisian.

Ngelmu Polisi

Kala Tida bermakna zaman keraguan. Adalah jaman ketika emanasi edan dan medeni (ketakutan) menjadi pelintiran siluet lidah. Kita tidak tahu ruang mana yang pancarkan edan dan di bilik mana pula ditemukan medeni. Ini disebabkan, "Mangkya darajating praja/Kawuryan wus sunyaruri/Rurah pangrehing ukara/Karana tanpa palupi/Atilar silastuti," tulis Ronggowarsito yang bermakna negara porak poranda ambruk, tata nilai rusak, tak satupun penggede negeri bisa dijadikan pola anutan. Manusia berpaling dari kearifan petuah lama.

Yang malang, "Sujana sarjana kelu," kembali tutur Ronggowarsito, "Kalulun kala tida. Thidem tandhaning dumadi. Ardayengrat dene karoban rubeda." Tak sedikit para cerdik cendekiawan terpuruk dengan mulut ternganga terbawa rendong jaman keraguan. Suasana mencekam. Linglung bingung menelikung hingga ke ruang paling pribadi.

Pesan sendu dari ruang lama itu, kini menelikung Indonesia. Ada rotasi sejarah ketika Nusantara berada di ruang muram kala tida. Tentu ini butuh sosok Kapolri yang tidak mencitrakan diri sebagai pemilik kumis penjernih kemelut juga langkah istikamah berwawasan sejarah. Untuk hal ini, perilaku kebatinan Maha Patih Gajah Mada patut direnungkan. Ia di persadaan agung Majapahit, malangkerik di hadapan 15 Andhika Bahayangkari. Ia menatap Bhatara Sapta Prabu, mengelusi selendang Ratu Angabaya dan memegangi lengan Jalanidi. Terus, ia alirkan fatwa. "Wong ngawula ing ratu luwih pakewuh. Nora kena mingggang-minggring. Kudu manteb sartanipun. Setya tuhu maring gusti. Ditun miturut sapakon."

Ini bermakna bahwa pengabdian itu jangan setengah-setengah. Kudu tulus. Harus mantap. Setia pada pimpinan dan melaksanakan segala perintahnya dengan penuh tanggung jawab.

Fatwa Gajah Mada ini mengisyaratkan bahwa sejatining polisi itu adalah ruler-appointed-police. Pengayom sekaligus penentram keamanan penguasa. Dalam bahasa lain, ada pola patron-client antara polisi dan penguasa. Polisi tidak lebih dari sekedar sang hamba dan penguasa adalah sang tuan. Maka tak aneh bila ada serine motor gede meraung-raung di jalanan, semprit berbunyi nyaring dan 15 Andhika Bhayangkari menyelamatkan Raja Jayanegara.

Yang menarik, frasa penentram keamanan penguasa ini oleh Gajah Mada diuraisinerjikan dengan elmu Ratu Siwa. Petuah lama itu tuturkan bahwa polisi tidak cuma bermakna sang abdi dalem rastrawsewakottama, juga nagarayanottama (warga teladan) dan nucasanadharma (penjaga ketertiban rakyat). Inilah inti Tribrata, budaya Cirebon menyebutnya tri pakarti.

Adalah teteluning tunggal khanti laku. Tiga amalan pencerah lelaku jiwa. Hingga kini elmu Ratu Siwa di tanah Jawa pada 674 M --yang menginspirasi lembaga bhayangkara itu-- dikenang sejarahwan sebagai sebagai elmu untuk mewujudkan negeri tata tentrem kerta raharja.

Elmu Ratu Siwa ini diadop penjajah Belanda dengan sebutan algemene politie, stadspolitie, gewapende politie, veld politie, cultuur politie, dan bestuurs politie yang dipimpin oleh Hopkomisaris. Masih di zaman Hindia Belanda, kepolisian di Indonesia pernah juga diberi nama Dienst der Algemene Politie di bawah Pemerintahan Dalam Negeri (Departement van Binnenlandsch Bestuur). Di daerah, kewenangan politik kepolisian ada di tangan Residen. Di masa penjajahan Jepang kedudukan kepolisian dibawah kendali Angkatan Darat (Rikugun). Era kemerdekaan, R Oto Iskandar Dinata yang tergabung dalam Panitia Kecil PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) proklamirkan berdirinya Kepolisan Republik pada sidang 19 Agustus 1945.

Adakah elmu Ratu Siwa dan kecemasan Kala Tida Ronggowarsito secara nyata telah dijadikan cermin kaca surya kanta? Saya cuma angkat bahu. Emang sih, wajah istikamah polisi sudah mulai terjewantahkan di kalangan akar rumput dengan adanya bhabinkamtibmaspol yang memberikan berbagai penyuluhan baik formal maupun nonformal kapan saja, di mana saja, 24 jam! Sebut saja sahabatku Bhabinkamtibmas Kelurahan Cipadung Kidul, Aipda Dedi Rusmayadi S.Sos yang membuka topi dan melonggarkan baju dinasnya untuk ikut nimbrung memecahkan berbagai masalah sosial dan budaya usai salat di Majid Alukhuwwah Panyileukan Bandung.

Akan tetapi, dalam ruang muram lain, di dataran papan atas, selalu saja ada hal buruk dilakukan oknum polisi. Polri masih bersikap menyiksa dan mengintimidasi masyarakat dalam menangani masalah. IPW mencatat sepanjang 2011 misalnya, ada 97 orang tak bersalah ditembak polisi, 19 tewas dan 78 lainnya luka. Mereka menjadi korban kesewenang-wenangan polisi dalam menggunakan senjata api. Pada 2012, selama semester pertama, ada 18 kasus penzaliman dengan melibatkan 34 anggota polisi. Tidak aneh bila pada 2009 ada 429 polisi dipecat.

Meski menurun pada 2010 menjadi 294 polisi dipecat tapi pada 2012 polisi yang dipecat menjadi 474 oknum. Bahkan dari catatan IPW pada 2012 ada 12.987 polisi yg melanggar tata tertib. Di titik prihatin ini, IPW berharap elit-elit Polri terus mendorong reformasi Polri secara konsisten, dengan penekanan sistem kontrol.

Nasi Bulgur

Polisi ideal? Ah, ini utopia yang mengingatkan saya pada sebuah ruang pengap asrama polisi Lohbener, Indramayu, Juli 1951. Saat itu saya dilahirkan diiringi desing pelor tentara Kartusuwiryo yang berseliweran di atas kepala emak. Siang harinya, ayah memunguti puntungan rokok di Pasar Celeng untuk diracik ulang usai melahap nasi bulgur.

Tidak aneh bila besok kalender bertanggal 1 Juli, selalu kuziarahi masa laluku. Menatap potret almarhum ayahku, aipda Wanda bin Ambyah. Selalu saya ingat pesan ayah, bada zuhur usai makan nasi jamblang di pos penjagaan pelabuhan Cirebon, "Benjang dadia rainira kiayi atau ustaz sing akeh oli berkat ketimbang dadi polisi melarat," tuturnya seraya meracik tembakau puntungan rokok.

Hmm, selamat berhari bhayangkara, ayahku. Polisi era kini, sebut saja anakmu Aiptu Sukirman, polisi Bojongloa Kidul Polrestabes Bandung itu tidak lagi mengisap kumpulan puntung rokok.
(Penulis, Budayawan dan Penasihat Indonesia Police Watch tinggal di Bandung)**
Galamedia
senin, 02 juli 2012 01:32 WIB
Oleh : TANDI SKOBER

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment