UNESCO menetapkan 8 September sebagai Hari Aksara Internasional. Penetapan tersebut dilakukan untuk mengingatkan dunia akan pentingnya budaya literasi. Pada perayaan tahun ini bangsa Indonesia patut berbangga setelah mendapat penghargaan dari UNESCO karena berhasil dalam program pemberantasan buta aksara. Indonesia menerima satu dari dua penghargaan bergengsi UNESCO King Sejong Literacy Prizes atas keberhasilan program pendidikan keaksaraan yang diintegrasikan dengan pengenalan kewirausahaan dan pembinaan taman bacaan masyarakat di ruang publik, seperti tempat ibadah dan pasar.
Walaupun hingga kini penduduk Indonesia belum 100 % persen melek aksara, tetapi menurut penilaian UNESCO, secara umum program pemberantasan tunaaksara di Indonesia dapat dikatakan berhasil karena telah melampaui target dalam program penurunan 50 persen buta aksara pada tahun 2015 nanti. Menurut data Kemendikbud, jumlah penduduk Indonesia yang buta aksara pada tahun 2004 sebanyak 15,41 juta jiwa. Kemudian, pada akhir 2010 berkurang menjadi sekitar 7,54 juta jiwa dan akhir Desember 2011 jumlah tersebut kembali menurun menjadi 6,7 juta jiwa.
Pemerintah memang melakukan berbagai program dalam membina penduduk buta huruf untuk mewujudkan 100 % penduduk Indonesia melek aksara pada tahun 2015 agar mereka memiliki kemampuan dasar dalam membaca dan menulis. Hal ini tentu sangat penting karena keberaksaraan merupakan prasyarat untuk mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan sebagai upaya mengatasi berbagai keterbatasan seperti keterbelakangan dan kemiskinan. Keberaksaraan adalah alat yang sangat diperlukan untuk dapat berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan sosial dan ekonomi yang akan mengarah kepada pembangunan sumber daya manusia yang unggul.
Budaya membaca
Sebenarnya program pemerintah tidak cukup sampai dengan pemberantasan buta aksara saja, akan tetapi perlu digalakkan sebuah program berkelanjutan setelah mereka melek aksara yaitu program budaya membaca. Di era perkembangan dan kemajuan teknologi yang begitu pesat saat ini, bangsa yang berpenduduk melek aksara tidaklah cukup, tetapi sebuah bangsa yang ingin maju harus memiliki masyarakat yang berbudaya membaca. Upaya menciptakan masyarakat gemar membaca merupakan salah satu upaya menciptakan masyarakat ilmiah yang berkarakter dan berperadaban sehingga dapat menciptakan masyarakat yang kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak terus tertinggal dan tertindas oleh bangsa lain.
Dalam momentum Hari Aksara tahun 2012 yang bertema "Aksara Membangun Perdamaian dan Karakter Bangsa" ini, alangkah berharganya jika bangsa Indonesia mengapresiasikannya dengan mengukur kadar minat baca masyarakat dan mengaplikasikannya dengan melakukan gerakan budaya membaca sebagai kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh setiap masyarakat. Berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD), hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 menunjukkan bahwa budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur. Hasil penelitian tadi tentu sangat menyedihkan bagi salah satu negara yang berpenduduk terbesar di dunia dan sedang giat-giatnya mengupayakan kemajuan dalam bidang pendidikan bagi rakyatnya ini.
Upaya membudayakan membaca kepada masyarakat kita memang bukan pekerjaan mudah. Tradisi budaya lokal kita yang terbiasa dengan tradisi tutur lisan cukup mempengaruhi hal itu. Bangsa Indonesia terbiasa menyimpan informasi, gagasan, dan pengetahuan hanya di dalam ingatan sehingga sulit sekali ditemukan naskah tulis sebagai bahan bacaan. Hal ini tentu saja berimbas pada rendahnya budaya membaca masyarakat.
Selain faktor yang disebutkan tadi, tidak membudayanya kebiasaan membaca di kalangan masyarakat kita juga disebabkan oleh kecenderungan masyarakat kita yang memiliki sifat ingin mencari gampangnya saja atau kebiasaan "hemat energi". Salah satu contoh misalnya masyarakat kita pada umumnya lebih tertarik menonton berita di TV dibandingkan dengan membaca berita di koran. Mereka beralasan untuk "menghemat energi" karena informasi di TV tidak perlu dibaca, tetapi cukup didengarkan saja. Padahal jika menonton TV, penonton berlaku sebagai "pembaca pasif" yang hanya menangkap segala persepsi yang dikemukakan televisi. Hal itu tentu berbeda dengan proses membaca. Dalam proses membaca dibutuhkan keaktifan dan konsentrasi penuh pembaca dalam menelusuri teks yang tersaji di setiap halaman, merangkaikan makna antarteks, dan menerjemahkan rangkaian teks untuk mendapatkan sebuah persepsi tertentu.
Membaca sejak dini
Membudayakan membaca memang harus dimulai sejak dini. Tradisi mendongeng sebagai proses kreatif yang dilakukan orangtua kepada anaknya dapat dijadikan langkah awal untuk menumbuhkan minat baca anak. Setelah tertarik dengan berbagai dongeng yang diceritakan, anak-anak diharapkan memiliki ketertarikan pada buku. Berawal dari ketertarikan untuk membaca buku-buku dongeng yang kerap didengarnya, ketertarikan anak akan meluas pada buku-buku lain seperti buku religi, kesehatan, sains, teknologi, sejarah, dan buku-buku pelajaran di sekolah.
Jika berkaitan dengan kebiasaan membaca, penulis ingin mengungkapkan bahwa proses membaca juga sebenarnya memiliki banyak keuntungan. Manfred Gogol, seorang fisioterapi dari Germany's Society for Gerontology and Geriatrics, mengatakan bahwa membaca dapat merangsang pertumbuhan sinaps penghubung antarsaraf. Selain itu, membaca juga membuat daya imajinasi dan kreativitas seseorang terjaga. Gogol menyarankan agar seseorang dapat membaca setiap hari. Jika sebuah novel dirasa terlalu berat, pilih saja bacaan ringan seperti cerita dongeng, kumpulan cerpen, atau bahkan sebuah koran.
Kebiasaan membaca memang perlu segera dibudayakan di lingkungan masyarakat kita. Melihat masyarakat lebih asyik dengan halaman-halaman buku daripada duduk manis di depan TV merupakan harapan kita bersama. Selamat Hari Aksara dan mari kita budayakan membaca!
(Staf Teknis Balai Bahasa Bandung, Alumnus Universitas Padjadjaran)**
Galamedia
jumat, 07 september 2012 01:32 WIB
Oleh : DINDIN SAMSUDIN
Walaupun hingga kini penduduk Indonesia belum 100 % persen melek aksara, tetapi menurut penilaian UNESCO, secara umum program pemberantasan tunaaksara di Indonesia dapat dikatakan berhasil karena telah melampaui target dalam program penurunan 50 persen buta aksara pada tahun 2015 nanti. Menurut data Kemendikbud, jumlah penduduk Indonesia yang buta aksara pada tahun 2004 sebanyak 15,41 juta jiwa. Kemudian, pada akhir 2010 berkurang menjadi sekitar 7,54 juta jiwa dan akhir Desember 2011 jumlah tersebut kembali menurun menjadi 6,7 juta jiwa.
Pemerintah memang melakukan berbagai program dalam membina penduduk buta huruf untuk mewujudkan 100 % penduduk Indonesia melek aksara pada tahun 2015 agar mereka memiliki kemampuan dasar dalam membaca dan menulis. Hal ini tentu sangat penting karena keberaksaraan merupakan prasyarat untuk mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan sebagai upaya mengatasi berbagai keterbatasan seperti keterbelakangan dan kemiskinan. Keberaksaraan adalah alat yang sangat diperlukan untuk dapat berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan sosial dan ekonomi yang akan mengarah kepada pembangunan sumber daya manusia yang unggul.
Budaya membaca
Sebenarnya program pemerintah tidak cukup sampai dengan pemberantasan buta aksara saja, akan tetapi perlu digalakkan sebuah program berkelanjutan setelah mereka melek aksara yaitu program budaya membaca. Di era perkembangan dan kemajuan teknologi yang begitu pesat saat ini, bangsa yang berpenduduk melek aksara tidaklah cukup, tetapi sebuah bangsa yang ingin maju harus memiliki masyarakat yang berbudaya membaca. Upaya menciptakan masyarakat gemar membaca merupakan salah satu upaya menciptakan masyarakat ilmiah yang berkarakter dan berperadaban sehingga dapat menciptakan masyarakat yang kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak terus tertinggal dan tertindas oleh bangsa lain.
Dalam momentum Hari Aksara tahun 2012 yang bertema "Aksara Membangun Perdamaian dan Karakter Bangsa" ini, alangkah berharganya jika bangsa Indonesia mengapresiasikannya dengan mengukur kadar minat baca masyarakat dan mengaplikasikannya dengan melakukan gerakan budaya membaca sebagai kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh setiap masyarakat. Berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD), hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 menunjukkan bahwa budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur. Hasil penelitian tadi tentu sangat menyedihkan bagi salah satu negara yang berpenduduk terbesar di dunia dan sedang giat-giatnya mengupayakan kemajuan dalam bidang pendidikan bagi rakyatnya ini.
Upaya membudayakan membaca kepada masyarakat kita memang bukan pekerjaan mudah. Tradisi budaya lokal kita yang terbiasa dengan tradisi tutur lisan cukup mempengaruhi hal itu. Bangsa Indonesia terbiasa menyimpan informasi, gagasan, dan pengetahuan hanya di dalam ingatan sehingga sulit sekali ditemukan naskah tulis sebagai bahan bacaan. Hal ini tentu saja berimbas pada rendahnya budaya membaca masyarakat.
Selain faktor yang disebutkan tadi, tidak membudayanya kebiasaan membaca di kalangan masyarakat kita juga disebabkan oleh kecenderungan masyarakat kita yang memiliki sifat ingin mencari gampangnya saja atau kebiasaan "hemat energi". Salah satu contoh misalnya masyarakat kita pada umumnya lebih tertarik menonton berita di TV dibandingkan dengan membaca berita di koran. Mereka beralasan untuk "menghemat energi" karena informasi di TV tidak perlu dibaca, tetapi cukup didengarkan saja. Padahal jika menonton TV, penonton berlaku sebagai "pembaca pasif" yang hanya menangkap segala persepsi yang dikemukakan televisi. Hal itu tentu berbeda dengan proses membaca. Dalam proses membaca dibutuhkan keaktifan dan konsentrasi penuh pembaca dalam menelusuri teks yang tersaji di setiap halaman, merangkaikan makna antarteks, dan menerjemahkan rangkaian teks untuk mendapatkan sebuah persepsi tertentu.
Membaca sejak dini
Membudayakan membaca memang harus dimulai sejak dini. Tradisi mendongeng sebagai proses kreatif yang dilakukan orangtua kepada anaknya dapat dijadikan langkah awal untuk menumbuhkan minat baca anak. Setelah tertarik dengan berbagai dongeng yang diceritakan, anak-anak diharapkan memiliki ketertarikan pada buku. Berawal dari ketertarikan untuk membaca buku-buku dongeng yang kerap didengarnya, ketertarikan anak akan meluas pada buku-buku lain seperti buku religi, kesehatan, sains, teknologi, sejarah, dan buku-buku pelajaran di sekolah.
Jika berkaitan dengan kebiasaan membaca, penulis ingin mengungkapkan bahwa proses membaca juga sebenarnya memiliki banyak keuntungan. Manfred Gogol, seorang fisioterapi dari Germany's Society for Gerontology and Geriatrics, mengatakan bahwa membaca dapat merangsang pertumbuhan sinaps penghubung antarsaraf. Selain itu, membaca juga membuat daya imajinasi dan kreativitas seseorang terjaga. Gogol menyarankan agar seseorang dapat membaca setiap hari. Jika sebuah novel dirasa terlalu berat, pilih saja bacaan ringan seperti cerita dongeng, kumpulan cerpen, atau bahkan sebuah koran.
Kebiasaan membaca memang perlu segera dibudayakan di lingkungan masyarakat kita. Melihat masyarakat lebih asyik dengan halaman-halaman buku daripada duduk manis di depan TV merupakan harapan kita bersama. Selamat Hari Aksara dan mari kita budayakan membaca!
(Staf Teknis Balai Bahasa Bandung, Alumnus Universitas Padjadjaran)**
Galamedia
jumat, 07 september 2012 01:32 WIB
Oleh : DINDIN SAMSUDIN