JIKA ada yang berujar pendidikan ibarat kompetisi. Itu mungkin benar adanya. Ungkapan tersebut berdasar pada pendidikan kekinian yang memacu segala keunggulan untuk mendapat hasil tinggi. Proses pendidikan pun seakan terbutakan oleh nafsu yang bergejolak.
Sejumlah catatan kecurangan dalam pendidikan, akhir-akhir ini berdengung dibicarakan di tengah kondisi rakyat yang terpuruk. Kecurangan tersebut sudah merasuk pada setiap lini pendidikan. Sampai intelek sekaliber dosen pun tersandung penjiplakan karya tulis ilmiah.
Kasus yang terakhir, jelas menyisakan luka berbekas dalam tubuh pendidikan Indonesia. Institusi perguruan tinggi sekalipun tidak menjamin dapat meredam praktik kecurangan. Sekadar gambaran, beberapa waktu lalu, media ramai mengabarkan tentang tiga dosen salah satu PT di Bandung yang diduga melakukan plagiarisme dalam karya tulisnya saat proses pengajuan menjadi guru besar. Sementara itu, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), saat ini setidaknya terdapat 21 Perguruan Tinggi yang tersandung kasus plagiarisme.
Jelas, hal ini perlu disorot tajam. Jangan sampai orang menggeneralisisi bahwa pendidikan Indonesia adalah pendidikan penjiplak. Pendidikan di mana metode pembelajarannya adalah copy paste.
Logika kekuasaan
Sejarah pendidikan Indonesia adalah cerita perlawanan terhadap penindasan penjajah. Pendidikan yang kala itu kentara dengan berbagai diskriminasi, justru dijadikan peluang bagi pribumi untuk merebut kemerdekaan. Ilmu, bagi para tokoh intelek semisal Ki Hajar Dewantara, Soekarno, sampai Tan Malaka sekalipun menjadi tameng kokoh pengawal kehidupan rakyat.
Dalam konteks demikian, pendidikan benar-benar memenuhi upaya memanusiakan manusia. Setiap ilmu yang dihasilkan dari pendidikan, ialah sesuatu yang berguna bagi rakyat. Lain cerita di kala kini, pendidikan kerap dianggap keliru sebagai jalan untuk kaya dan berkuasa. Ilmu menjadi senjata jitu untuk menindas manusia.
Ketika ambisi mengikis nurani, seribu cara dilakukan demi sebuah kenikmatan nan semu. Sebagaimana pendapat Richard A. Green (1992) dalam bukunya Leader of Authority, di zaman kompetitif ini, seorang intelektual sekalipun, akan cenderung memaksakan segala cara ketika diberikan perintah meskipun keadaannya belum siap.
Menurutnya, orang-orang yang demikian, pada akhirnya akan menjadi "penjahat" baru dalam kehidupan rakyat. Plagiarisme menjadi bukti betapa orang meniscayakan segala cara demi meraih hasil semata. Sebuah praktik kotor yang lahir dari konstruksi logika kekuasaan seseorang.
Ilmu untuk rakyat
Begitu berhargakah arti sebuah nilai sampai melupakan betapa pentingnya usaha? Selayaknya kita harus kembali pada hakikat pendidikan yang berguna untuk semua orang. Sekecil apa pun hasil yang didapat, selama itu berguna untuk rakyat, maka itulah kemuliaan dari pendidikan sendiri.
Plagiarisme hanya menambah perih kesakitan rakyat yang tengah terpuruk. Perguruan tinggi sejatinya memberikan sanksi berat bagi para pelaku kejahatan akademik tersebut. Apalagi bila pelaku plagiat adalah pendidik yang pada dasarnya harus memberi contoh baik pada peserta didik. Tentunya akan berimplikasi negatif pada logika pikir generasi muda yang kelak mengenyam jenjang perkuliahan.
Pragmatisme ilmu akan semakin kentara dalam benak generasi muda jika plagiarisme tidak diberantas sampai ke ujung akarnya. Sebab, bagaimana pun kampus merupakan pemasok utama insan intelektual yang kelak terjun pada masyarakat.
Mungkin Tan Malaka tersenyum puas ketika melihat sarjana bahasa membebaskan rakyat Indonesia dari buta aksara. Mungkin pula Ki Hajar Dewantara akan mengacungkan jempol kala melihat sarjana pertanian membantu menyuburkan lahan petani. Sementara Soekarno, barangkali akan bertepuk tangan melihat sarjana hukum memperjuangkan tanah rakyat pada konflik agraria.
Gelar sarjana, doktor, sampai profesor sekalipun hanya menjadi percuma bila tidak didapat dengan usaha sendiri. Sejatinya gelar terhormat dalam pendidikan adalah ketika ilmu yang didapat, bermanfaat bagi rakyat. Bukan justru memalukan dan menambah beban rakyat. Percayalah!
(Penulis, Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Ketua Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan)**
Galamedia
senin, 17 september 2012 03:15 WIB
Oleh : RESTU NUR WAHYUDIN
Sejumlah catatan kecurangan dalam pendidikan, akhir-akhir ini berdengung dibicarakan di tengah kondisi rakyat yang terpuruk. Kecurangan tersebut sudah merasuk pada setiap lini pendidikan. Sampai intelek sekaliber dosen pun tersandung penjiplakan karya tulis ilmiah.
Kasus yang terakhir, jelas menyisakan luka berbekas dalam tubuh pendidikan Indonesia. Institusi perguruan tinggi sekalipun tidak menjamin dapat meredam praktik kecurangan. Sekadar gambaran, beberapa waktu lalu, media ramai mengabarkan tentang tiga dosen salah satu PT di Bandung yang diduga melakukan plagiarisme dalam karya tulisnya saat proses pengajuan menjadi guru besar. Sementara itu, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), saat ini setidaknya terdapat 21 Perguruan Tinggi yang tersandung kasus plagiarisme.
Jelas, hal ini perlu disorot tajam. Jangan sampai orang menggeneralisisi bahwa pendidikan Indonesia adalah pendidikan penjiplak. Pendidikan di mana metode pembelajarannya adalah copy paste.
Logika kekuasaan
Sejarah pendidikan Indonesia adalah cerita perlawanan terhadap penindasan penjajah. Pendidikan yang kala itu kentara dengan berbagai diskriminasi, justru dijadikan peluang bagi pribumi untuk merebut kemerdekaan. Ilmu, bagi para tokoh intelek semisal Ki Hajar Dewantara, Soekarno, sampai Tan Malaka sekalipun menjadi tameng kokoh pengawal kehidupan rakyat.
Dalam konteks demikian, pendidikan benar-benar memenuhi upaya memanusiakan manusia. Setiap ilmu yang dihasilkan dari pendidikan, ialah sesuatu yang berguna bagi rakyat. Lain cerita di kala kini, pendidikan kerap dianggap keliru sebagai jalan untuk kaya dan berkuasa. Ilmu menjadi senjata jitu untuk menindas manusia.
Ketika ambisi mengikis nurani, seribu cara dilakukan demi sebuah kenikmatan nan semu. Sebagaimana pendapat Richard A. Green (1992) dalam bukunya Leader of Authority, di zaman kompetitif ini, seorang intelektual sekalipun, akan cenderung memaksakan segala cara ketika diberikan perintah meskipun keadaannya belum siap.
Menurutnya, orang-orang yang demikian, pada akhirnya akan menjadi "penjahat" baru dalam kehidupan rakyat. Plagiarisme menjadi bukti betapa orang meniscayakan segala cara demi meraih hasil semata. Sebuah praktik kotor yang lahir dari konstruksi logika kekuasaan seseorang.
Ilmu untuk rakyat
Begitu berhargakah arti sebuah nilai sampai melupakan betapa pentingnya usaha? Selayaknya kita harus kembali pada hakikat pendidikan yang berguna untuk semua orang. Sekecil apa pun hasil yang didapat, selama itu berguna untuk rakyat, maka itulah kemuliaan dari pendidikan sendiri.
Plagiarisme hanya menambah perih kesakitan rakyat yang tengah terpuruk. Perguruan tinggi sejatinya memberikan sanksi berat bagi para pelaku kejahatan akademik tersebut. Apalagi bila pelaku plagiat adalah pendidik yang pada dasarnya harus memberi contoh baik pada peserta didik. Tentunya akan berimplikasi negatif pada logika pikir generasi muda yang kelak mengenyam jenjang perkuliahan.
Pragmatisme ilmu akan semakin kentara dalam benak generasi muda jika plagiarisme tidak diberantas sampai ke ujung akarnya. Sebab, bagaimana pun kampus merupakan pemasok utama insan intelektual yang kelak terjun pada masyarakat.
Mungkin Tan Malaka tersenyum puas ketika melihat sarjana bahasa membebaskan rakyat Indonesia dari buta aksara. Mungkin pula Ki Hajar Dewantara akan mengacungkan jempol kala melihat sarjana pertanian membantu menyuburkan lahan petani. Sementara Soekarno, barangkali akan bertepuk tangan melihat sarjana hukum memperjuangkan tanah rakyat pada konflik agraria.
Gelar sarjana, doktor, sampai profesor sekalipun hanya menjadi percuma bila tidak didapat dengan usaha sendiri. Sejatinya gelar terhormat dalam pendidikan adalah ketika ilmu yang didapat, bermanfaat bagi rakyat. Bukan justru memalukan dan menambah beban rakyat. Percayalah!
(Penulis, Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Ketua Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan)**
Galamedia
senin, 17 september 2012 03:15 WIB
Oleh : RESTU NUR WAHYUDIN