-

Sunday, November 04, 2012

Revitalisasi Karakter Sabilulungan

LUAS Kabupaten Bandung adalah 176.238.67 Ha, yang terbagi dalam 31 kecamatan, 267 desa dan 10 kelurahan dengan jumlah penduduk sekitar 3.215.548 jiwa, permasalahan sosialnya relatif beragam. Dalam Rencana Pembangunan Jangan Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2010-2015, arah pembangunan Kab. Bandung dituangkan dalam sebuah visi yaitu "Terwujudnya Kabupaten Bandung yang maju, mandiri, dan berdaya saing melalui tata kelola pemerintahan yang baik, dan pemantapan pembangunan perdesaan berlandaskan religius, kultural, dan berwawasan lingkungan."

Visi ini tentu harus diaktualisasikan dan dijadikan rujukan didalam pengambilan kebijakan pembangunan. Alam Kay dalam Suwardi Luis (Vision, Mission, and Value Statements, 2009:4), mengatakan, cara terbaik untuk meramalkan masa depan adalah dengan cara berikhtiar menciptakan masa depan. Ramalan masa depan itulah yang kemudian di sebut visi. Dengan kata lain visi lebih merupakan cita-cita, tujuan, alasan keberadaan (raison de etre) dan penentu arah. Tetapi meramalkan saja tentu bukanlah pilihan yang bijak kalau tanpa dibarengi dengan usaha yang sungguh-sungguh. Suwardi berpendapat bahwa visi adalah ide, dan ide itu melampaui waktu, ide melampaui umur , ide melampaui zaman.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba menggambarkan tentang pentingnya revitalisasi karakter bangsa untuk keberhasilan visi pembangunan yang telah disepakati bersama. Dalam dalam konteks lokal Kab. Bandung diterjemahkan menjadi karakter "Sabilulungan", sebuah karakter lokal yang berkembang di masyarakat Sunda yang oleh penulis dijadikan sebagai motto pembangunan di Kabupaten Bandung.

Persoalan karakter bangsa

Banyak definisi yang memberi penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan pembangunan, namun secara umum pembangunan diartikan sebagai sebuah proses perubahan yang terencana menuju ke keadaaan yang lebih baik (Ginanjar Kartasasmita:1994). Pembangunan tidak hanya diartikan sebagai proses perubahan secara fisik semata, namun perubahan karakter bagian dari proses pembangunan itu sendiri. Dengan kata lain keberhasilan pembangunan akan sangat ditentukan pula sejauh mana kualitas karakter masyarakatnya.

Dalam UU Sisdiknas tahun 2003 pun secara implisit disebutkan kualitas sumber daya manusia tidak hanya pada kecerdasannya saja tapi juga terletak pada kepribadiannya dan akhlaknya yang mulia, yang dalam istilah Dr Martin Luther King disebut dengan intelligence plus character.

Dalam konteks negara, rasa kecintaan kita kepada tanah air (nasionalisme) bagian dari karakter bangsa yang harus dijaga, dan terus ditumbuhkembangkan ke seluruh elemen masyarakat. Karena rasa nasionalisme akan menjadi jalan yang memberi kesadaran kepada setiap warga negara Indonesia tentang visi keindonesiaan yang harus diperjuangkannya, baik visi negara yang menghendaki kesejahteraan, visi negara yang anti korupsi, anti kemiskinan dan kebodohan dan lain sebagainya.

Dalam opininya yang dimuat harian Kompas 24 Agustus 2012 lalu,

Sri Edi Swasono mengungkapkan keprihatinannya tentang telah terkikisnya rasa nasionalisme di negeri ini, melalui artikelnya beliau memberi pesan bahwa hilangnya rasa nasionalisme kini mulai muncul dari kalangan para cendekiawan kita. Mereka menganggap nasionalisme pandangan kuno yang tidak lagi relevan dengan kekinian.

Pandangan di atas bertabrakan dengan pandangan cendekiawan lain di muka bumi ini, yang justru menganggap bahwa nasionalisme merupakan kekuatan pembangunan yang tidak ada tandingannya didunia masa kini, sebagaimana dikatakan Ian Lustic (2002).

Visi pembangunan sehebat apa pun hanya akan indah di atas kertas apabila semua elemen bangsa telah kehilangan karakternya yang menyebabkan hilang pula jati dirinya dan rasa kebanggaanya sebagai bagian dari warga bangsa.

Karakter Sabilulungan

Era Otonomi Daerah merupakan produk orde reformasi yang telah membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif menentukan arah dan kebijakan pembangunan. Pola kebijakan tidak lagi top-down tapi lebih bersifat bottom up.

Otonomi Daerah ini dimulai ketika pemerintah menyusun UU no 22 tahun 1999 yang mengusung demokratisasi pemerintahan daerah dan desentralisasi sebagai salah satu instrumennya. Kemudian lahir UU no 32 tahun 2004 yang menghendaki prinsip efisien, transparan dan efektif dalam memberikan pelayanan publik.

Dalam perjalanan otonomi daerah ini seringkali dianggap sebagai biang munculnya "raja- raja kecil", serta euphoria yang berlebihan. Pada titik tertentu memunculkan disharmoni akibat adanya perbedaan kepentingan antara pemangku kebijakan di institusi pemerintahan yang lebih tinggi dengan institusi yang ada di bawahnya.

Keduanya merasa memiliki kedaulatan yang secara penuh dilindungi oleh undang-undang dan merasa sama-sama memiliki mandat dari rakyat. Sering program pembangunan di level pemerintah daerah (kota dan kabupaten), mendapat tantangan dari pemerintahan dan masyarakat di desa, karena adanya perbedaan persepsi dalam melihat satu persoalan.

Dalam perspektif kebudayaan, otonomi daerah harus dipahami sebagai peluang membangkitkan kembali nilai-nilai budaya dan karakter masyarakat lokal yang dianggap sudah mulai memudar. Hal itu pula menjadi komitmen bagi Pemkab Kab. Bandung, sebagai di amanatkan dalam visi pembangunannya yang berkehendak menjunjung aspek-aspek kultural keSundaan dalam prosesi pembangunan.

Prof. A. Chaedar Alwasilah (2006:18) menyebutkan, setidaknya ada tiga langkah yang harus dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut, yaitu : (1) pemahaman untuk menimbulkan kesadaran, (2) perencanaan secara kolektif, (3) pembangkitan kreatifitas kebudayaan. Menurut Prof. Chaedar, tanpa pemahaman yang kaffah terhadap budaya Sunda, Ki Sunda akan sulit merumuskan etos budaya Sunda yang mantap, jika bangsa Jepang memiliki etos bushido, lantas etos apa yang dimiliki ki Sunda?.

Semangat atau karakter Sabillulungan ki Sunda bisa dijadikan salah satu alternatif. Karena Sabilulungan mengandung makna silih asah, silih asuh, silih asih, silih wawangi yang kesemuanya akan berkontribusi pada pembentukan kondisi masyarakat yang mempunyai karakter dan ber-etos kerja tinggi.

Sabilulungan dalam bahasa Sunda mengandung arti gotong royong dan dalam bahasa Indonesia dengan makna yang lebih luas. Dalam kata sabilulungan terkumpul sekumpulan nilai-nilai luhur yang berkembang dalam masyarakat Sunda, yaitu "sareundek saigel sabobot sapihanean, rempug jukung sauyunan rampak gawe babarengan", yang memiliki makna seia sekata, seayun selangkah, sepengertian sepemahaman, senasib sepenanggungan, saling mendukung, saling menyayangi, saling membantu, bekerja sama, rasa persaudaraan yang sedemikian erat dan kebersamaan.

Sabilulungan bisa hidup tumbuh dan berkembang di berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Dalam dimensi ekonomi ada budaya yang disebut leuit yaitu menyimpan sebagian hasil panen di lumbung padi untuk cadangan pangan yang digunakan bagi masyarakat yang membutuhkan. Pada dimensi sosial ada yang disebut dengan beas perelek semacam sistem jaring pengaman sosial yang dilakukan secara mandiri oleh masyarakat. Dimensi pembangunan ada istilah kerja bakti yaitu bekerja bersama-sama membangun fasilitas umum. Sedangkan pada dimensi keamanan dan ketertiban, Ngaronda operasi keamanan kampung secara bergiliran setiap malam dan lain sebagainya.

Namun, tampaknya karakter sabilulungan ini perlahan mulai memudar oleh lemahnya sistem pewarisan nilai dari satu generasi ke generasi selanjutnya, bahkan di anggap sebagai sebuah budaya yang tidak lagi sesuai dengan kondisi zaman. Untuk itu penulis memandang sabilulungan penting untuk kembali di revitalisasi keberadaanya dengan penerjemahan baru yang sesuai dengan konteks zaman.

Misalnya, bagaimana sabilulungan mampu terlibat dalam upaya untuk menurunkan angka kemiskinan dan pemberantasan kebodohan, bagaimana sabilulungan bisa berperan menekan angka pengangguran dan meningkatkan kesehatan masyarakat, inilah nampaknya yang harus segera kita rumuskan bersama-sama.

Kesimpulan

Nilai-nilai, karakter dan filosofi yang hidup didaerah merupakan bagian dari kekayaan kultural bangsa yang harus dijaga dan dipelihara, karena eksistensi nilai-nilai budaya dan karakter nasional tidak akan berarti banyak tanpa ditopang oleh eksistensi nilai dan budaya yang ada di daerah.

Keduanya saling melengkapi dan menjadi isu strategis yang sama pentingnya, jikalau kita berasumsi bahwa nasionalisme perlu dpelihara oleh semua warga negara untuk keberlangsungan martabat bangsa. Maka di daerah selain nasionalisme, juga perlu dikembangkan nilai-nilai budaya lokal yang dianggap bisa memberi dampak positif terhadap kehidupan sosial budaya yang ada di masyarakat. Untuk masyarakat Sunda, gerakan revitalisasi karakter sabilulungan layak untuk dipertimbangkan, tinggal bagaimana isu ini bisa menjadi isu kolektif masyarakat Sunda, untuk itu perlu langkah-langkah konkrit agar keinginan tersebut bisa terwujud. Wallahu 'alam bish shawwab.
(Penulis adalah Bupati Bandung periode 2010-1015)**
Galamedia
senin, 29 oktober 2012 01:19 WIB
Oleh : H. Dadang M. Naser, S.H., S.I.P.

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment