Suatu hari Amirul Mukminin Umar bin Khatab RA membeli kuda dari seorang pedagang A'rabi. Selang beberapa waktu, ketika dituntun pulang, tiba-tiba kudanya pincang. Maka, kembalilah beliau menggugat pada si penjual kuda.
Ia menuntut dikembalikannya uang karena tak ingin membeli kuda pincang. Karena masing-masing merasa tidak bersalah, baik Umar maupun penjual kuda bersepakat menunjuk hakim atau qadhi untuk menyelesaikan masalah mereka.
Keduanya kemudian menemui seorang pemuda yang terkenal objektif dan adil di Madinah. Setelah mendengar permasalahan dari keduanya, berkatalah sang pemuda, "Wahai Amirul Mukminin, saat kau menerima kuda apakah kakinya sehat atau sudah pincang?'' Umar pun menjawab, "Kakinya sehat dan tidak pincang."
Lalu sang pemuda memutuskan, "Kalau begitu, wahai Amirul Mukminin, engkau boleh mengembalikan kuda itu ke penjual dengan catatan, kaki kudanya harus sehat dan tidak pincang."
Umar tentu saja kaget, namun ia juga tak bisa menyembunyikan kegeliannya. Umar tertawa, seraya berkata, ''Semudah itukah memutuskannya?'' Sang pemuda menjawab tegas, "Ya, semudah itu."
Umar kembali tertawa dan berkata kepada sang pemuda, “Segera berkemaslah dan pergilah ke Bashrah (Irak). Kamu aku angkat menjadi Qadhi (hakim) karena di sana banyak permasalahan pelik yang membutuhkan orang sepertimu untuk menyelesaikannya.''
Pemuda itu bernama Syuraih. Dalam sejarah, ia tercatat sebagai seorang hakim yang sangat fenomenal karena keputusannya mengalahkan dua Amirul Mukminin, yaitu Umar bin Khatab dan Ali ibn Thalib dalam sebuah persidangan.
Pelajaran berharga dari kisah ini adalah integritas, baik dari sisi penggugat maupun sang hakim. Bisa kita bayangkan jika hakimnya tidak punya integritas yang tinggi, dia tidak akan berani mengalahkan sang superpower, Amirul Mukminin, atau pemimpin. Apalagi lawan tandingnya hanyalah rakyat kecil biasa.
Namun, yang juga luar biasa adalah integritas dari sang Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Bagaimana dia mampu mengalahkan egonya sebagai seorang pemimpin dengan tidak memutarbalikkan fakta yang ada untuk kepentingan pribadinya.
Kata kunci untuk menjelaskan hal itu semua adalah karena rasa takutnya kepada Allah SWT. Rasa takut mereka karena didasarkan keimanan yang kuat. Rasa takutnya Syuraih sebagai hakim akan keputusannya adalah bila untuk kepentingan duniawi ia memenangkan sang khalifah. Demikian pula, takutnya Umar karena kalau ia menggunakan kekuasaan tanpa hak maka hal itu akan menzalimi orang lain hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Mencermati kasus-kasus hukum dan korupsi di negeri ini, sejatinya kita membutuhkan integritas dari para pemimpin, baik di eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Tanpa itu, keinginan untuk melihat tegaknya keadilan yang berujung pada kesejahteraan rakyat dan negara ini, seperti menanti hujan di musim kemarau. Wallahu'alam bish-shawab.
Oleh: Edi Sukur
sumber : www.republika.co.id
Ia menuntut dikembalikannya uang karena tak ingin membeli kuda pincang. Karena masing-masing merasa tidak bersalah, baik Umar maupun penjual kuda bersepakat menunjuk hakim atau qadhi untuk menyelesaikan masalah mereka.
Keduanya kemudian menemui seorang pemuda yang terkenal objektif dan adil di Madinah. Setelah mendengar permasalahan dari keduanya, berkatalah sang pemuda, "Wahai Amirul Mukminin, saat kau menerima kuda apakah kakinya sehat atau sudah pincang?'' Umar pun menjawab, "Kakinya sehat dan tidak pincang."
Lalu sang pemuda memutuskan, "Kalau begitu, wahai Amirul Mukminin, engkau boleh mengembalikan kuda itu ke penjual dengan catatan, kaki kudanya harus sehat dan tidak pincang."
Umar tentu saja kaget, namun ia juga tak bisa menyembunyikan kegeliannya. Umar tertawa, seraya berkata, ''Semudah itukah memutuskannya?'' Sang pemuda menjawab tegas, "Ya, semudah itu."
Umar kembali tertawa dan berkata kepada sang pemuda, “Segera berkemaslah dan pergilah ke Bashrah (Irak). Kamu aku angkat menjadi Qadhi (hakim) karena di sana banyak permasalahan pelik yang membutuhkan orang sepertimu untuk menyelesaikannya.''
Pemuda itu bernama Syuraih. Dalam sejarah, ia tercatat sebagai seorang hakim yang sangat fenomenal karena keputusannya mengalahkan dua Amirul Mukminin, yaitu Umar bin Khatab dan Ali ibn Thalib dalam sebuah persidangan.
Pelajaran berharga dari kisah ini adalah integritas, baik dari sisi penggugat maupun sang hakim. Bisa kita bayangkan jika hakimnya tidak punya integritas yang tinggi, dia tidak akan berani mengalahkan sang superpower, Amirul Mukminin, atau pemimpin. Apalagi lawan tandingnya hanyalah rakyat kecil biasa.
Namun, yang juga luar biasa adalah integritas dari sang Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Bagaimana dia mampu mengalahkan egonya sebagai seorang pemimpin dengan tidak memutarbalikkan fakta yang ada untuk kepentingan pribadinya.
Kata kunci untuk menjelaskan hal itu semua adalah karena rasa takutnya kepada Allah SWT. Rasa takut mereka karena didasarkan keimanan yang kuat. Rasa takutnya Syuraih sebagai hakim akan keputusannya adalah bila untuk kepentingan duniawi ia memenangkan sang khalifah. Demikian pula, takutnya Umar karena kalau ia menggunakan kekuasaan tanpa hak maka hal itu akan menzalimi orang lain hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Mencermati kasus-kasus hukum dan korupsi di negeri ini, sejatinya kita membutuhkan integritas dari para pemimpin, baik di eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Tanpa itu, keinginan untuk melihat tegaknya keadilan yang berujung pada kesejahteraan rakyat dan negara ini, seperti menanti hujan di musim kemarau. Wallahu'alam bish-shawab.
Oleh: Edi Sukur
sumber : www.republika.co.id