Tak ada kebangkrutan yang paling mendera jiwa, kecuali kita tak mampu mengolah harta sendiri. Tak ada kesedihan yang paling mengharu biru, kecuali kita tak memiliki lagi harga diri.
Perhatikanlah di sekitar kita, betapa harta dan jati diri sedikit demi sedikit digerus oleh derasnya arus duniawi. Hidup seakan tak ada pilihan, kecuali harta atau mati.
Karenanya, tanpa merasa berdosa, ada di antara kita yang hidupnya menjadi hamba harta, takhta, dan wanita. Mata hati telah buta.
Keserakahan telah membius diri, seperti binatang lapar yang siap menerkam binatang lainnya. Pantaslah Allah menyebut mereka lebih sesat dari binatang ternak. (QS al-A'raf [7]: 179). Caranya bertutur, bersikap, dan bertindak penuh kontradiksi dengan apa yang diyakininya.
Kita pandai membuat pernyataan, tetapi bodoh dalam kenyataan. Setiap saat bibir kita basah membaca Surah al-Fatihah agar kita tidak termasuk orang yang dimurkai dan zalim, tetapi perilaku kita seakan menentang apa yang kita ucapkan itu. Lantas, di manakah shalat kita?
Ketika Rasulullah diminta nasihat, beliau bersabda, “Jangan marah.” Namun anehnya, ada di antara kita yang menampakkan wajah penuh amarah, dendam, dan beringas. Di manakah sikap penyantun yang menjadi mutiara akhlakul karimah?
Ketika Rasul mengatakan, “Muslim itu adalah mereka yang menyebabkan Muslim lainnya selamat dari tangan dan lidahnya,” sebaliknya, kita menentang sabda Rasulullah dengan menampakkan sikap anarkisme, bahkan tak segan merusak sehingga menyebabkan orang lain gelisah dan ketakutan.
Masih Muslimkah kita? Pantaslah seorang ulama berkata, “Cahaya Islam tertutup karena kelakuan umat Islam itu sendiri.”
Maka, kini saatnya kita melepaskan diri dari belenggu kegelapan untuk menggapai dan menari dalam cahaya Ilahi. Inilah makna hakiki dari hijrah. Mutiara akhlak yang harus dimiliki setiap pribadi Muslim.
Hijrah yang berarti meninggalkan (at-tarku), berpindah (al-intiqâl, tukhariku) atau berubah (taghyir), adalah perbendaharaan umat yang paling berbinar. Hijrah adalah semangat perubahan yang tak kenal henti. Ia bagaikan ombak samudra yang terus-menerus menerpa pantai.
Hijrah adalah etos kerja untuk meraih cita-cita dan kedudukan mulia (maqaman mahmuda). Hijrah adalah pedang kelewang yang akan menebas segala kegelapan, kebodohan, kemiskinan, dan kebatilan.
Dengan semangat hijrah itu pula, kita akan mengubah nasib dan melepaskan topeng-topeng buruk yang telah menutupi keindahan wajah dan jati diri kita sebagai pembawa pelita cahaya rahmatan lil alamin. Karena, kita sadar bahwasanya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya. (QS ar-Ra'du: 21).
Akan tetapi, hijrah tidaklah berdiri sendiri. Hijrah adalah senyawa iman dan kesungguhan. “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda, dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”(QS at-Taubah [9]: 20 ).
Iman, hijrah, dan jihad adalah rumus sukses untuk meraih tujuan. Namun, bagaimana kita akan mencapai tujuan kalau tidak tahu jalan ke mana harus pergi. Maka, kenalilah jalan, raihlah kemenangan. Selamat berhijrah.
Oleh: KH Toto Tasmara
Republika Kamis, 15 November 2012, 18:01 WIB
Perhatikanlah di sekitar kita, betapa harta dan jati diri sedikit demi sedikit digerus oleh derasnya arus duniawi. Hidup seakan tak ada pilihan, kecuali harta atau mati.
Karenanya, tanpa merasa berdosa, ada di antara kita yang hidupnya menjadi hamba harta, takhta, dan wanita. Mata hati telah buta.
Keserakahan telah membius diri, seperti binatang lapar yang siap menerkam binatang lainnya. Pantaslah Allah menyebut mereka lebih sesat dari binatang ternak. (QS al-A'raf [7]: 179). Caranya bertutur, bersikap, dan bertindak penuh kontradiksi dengan apa yang diyakininya.
Kita pandai membuat pernyataan, tetapi bodoh dalam kenyataan. Setiap saat bibir kita basah membaca Surah al-Fatihah agar kita tidak termasuk orang yang dimurkai dan zalim, tetapi perilaku kita seakan menentang apa yang kita ucapkan itu. Lantas, di manakah shalat kita?
Ketika Rasulullah diminta nasihat, beliau bersabda, “Jangan marah.” Namun anehnya, ada di antara kita yang menampakkan wajah penuh amarah, dendam, dan beringas. Di manakah sikap penyantun yang menjadi mutiara akhlakul karimah?
Ketika Rasul mengatakan, “Muslim itu adalah mereka yang menyebabkan Muslim lainnya selamat dari tangan dan lidahnya,” sebaliknya, kita menentang sabda Rasulullah dengan menampakkan sikap anarkisme, bahkan tak segan merusak sehingga menyebabkan orang lain gelisah dan ketakutan.
Masih Muslimkah kita? Pantaslah seorang ulama berkata, “Cahaya Islam tertutup karena kelakuan umat Islam itu sendiri.”
Maka, kini saatnya kita melepaskan diri dari belenggu kegelapan untuk menggapai dan menari dalam cahaya Ilahi. Inilah makna hakiki dari hijrah. Mutiara akhlak yang harus dimiliki setiap pribadi Muslim.
Hijrah yang berarti meninggalkan (at-tarku), berpindah (al-intiqâl, tukhariku) atau berubah (taghyir), adalah perbendaharaan umat yang paling berbinar. Hijrah adalah semangat perubahan yang tak kenal henti. Ia bagaikan ombak samudra yang terus-menerus menerpa pantai.
Hijrah adalah etos kerja untuk meraih cita-cita dan kedudukan mulia (maqaman mahmuda). Hijrah adalah pedang kelewang yang akan menebas segala kegelapan, kebodohan, kemiskinan, dan kebatilan.
Dengan semangat hijrah itu pula, kita akan mengubah nasib dan melepaskan topeng-topeng buruk yang telah menutupi keindahan wajah dan jati diri kita sebagai pembawa pelita cahaya rahmatan lil alamin. Karena, kita sadar bahwasanya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya. (QS ar-Ra'du: 21).
Akan tetapi, hijrah tidaklah berdiri sendiri. Hijrah adalah senyawa iman dan kesungguhan. “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda, dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”(QS at-Taubah [9]: 20 ).
Iman, hijrah, dan jihad adalah rumus sukses untuk meraih tujuan. Namun, bagaimana kita akan mencapai tujuan kalau tidak tahu jalan ke mana harus pergi. Maka, kenalilah jalan, raihlah kemenangan. Selamat berhijrah.
Oleh: KH Toto Tasmara
Republika Kamis, 15 November 2012, 18:01 WIB