ADA dua kisah menarik yang patut diteladani untuk menangani masalah sempitnya waktu untuk membaca buku. Kedua kisah itu sangat bermanfaat ketika kita harus menghadapi buku-buku yang seabrek-abrek telah dikoleksi. Baik buku cetak maupun buku elektronik.
Saya pun menghadapi masalah yang sama. Buku cetak yang berhasil saya koleksi hampir dua ribu judul jumlahnya. Tersimpan di dua tempat. Di rumah, di Cikancung, Kabupaten Bandung, dan sebagian lagi tersimpan dalam tujuh rak bambu di Cibiru, Kota Bandung, di kamar kontrakan.
Sementara koleksi buku elektronik saya, hasil bergelut dengan internet, sejak tahun 2006 hingga sekarang, ada sekitar sepuluh ribu judul. Buku-buku elektronik itu tersimpan dalam puluhan bahkan ratusan keping cakram digital, berupa CD-R maupun DVD-R.
Buku-buku tersebut, memang tidak terbaca semuanya. Ada yang barangkali hanya dibaca sekilas-sekilas. Ada yang sekadar untuk memeroleh informasi dari buku tersebut. Namun banyak juga buku yang dibaca serius, dari awal hingga akhir, bahkan diulang-baca beberapa kali, agar pemahaman lebih mendalam.
Namun selama membaca, kadang rasa malas hinggap. Juga, waktu baca kadang kurang cukup, karena berbagai hal "mengganggu". Karena pekerjaan dan kegiatan lain banyak menyita perhatian. Namun, tetap saja tidak menghilangkan kewajiban untuk membaca buku. Saya merasa berdosa, bila buku yang berhasil dikumpulkan tidak terbaca.
Untuk mengatasi hal ini, dua kisah yang saya baca barangkali bisa menjadi semacam motivasi lebih untuk bertaut dengan buku. Kisah Sir William Osler (1849-1919) dan Sara Nelson, yang pandai memanfaatkan waktu untuk membaca buku. Pengalaman mereka bergelut dengan buku dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, sungguh menarik.
William Osler dikenal sebagai salah seorang ikon pengobatan modern dan dianggap Bapak Pengobatan Moderm. Selain itu, dia dikenal juga sebagai penulis dan penggila buku. Dia mendonasikan koleksi bukunya kepada McGill University, yang menjadi koleksi inti Osler Library yang berada di lingkungan McGill University dan dibuka pada 1929.
Sebagai penggila buku, Osler beraforisme, "Lebih mudah membeli buku daripada membacanya, dan lebih mudah membacanya daripada menyerap isinya". Satu lagi, sebagai dokter sekaligus penggila buku dia berujar, "Untuk mempelajari penyakit tanpa bantuan buku sama saja dengan melayari lautan yang tak terpetakan, sementara mempelajari buku tanpa pasien sama artinya tidak melaut sama sekali".
Namun yang lebih penting dia kukuh mengatur waktu untuk buku. Caranya? Menyempatkan 15 menit sebelum tidur atau kegiatan apapun. Sepanjang hayatnya, kebiasaan itu tetap dipertahankan. Bahkan, akhirnya, menjadi semacam kecanduan bila tidak membaca buku dahulu. Ya, intinya, dia memanfaatkan kesempatan apa saja setiap hari untuk membaca. Sesibuk apapun, membaca buku tetap menjadi tuntutan diri.
Lain lagi pengalaman Sara Nelson. Pekerjaannya sangat dekat dengan kegiatan tulis-menulis. Dia pernah bekerja di Glamour Magazine, kolumnis untuk The New York Observer, editor di The Book Publishing Report, dan lain-lain. Tahun 2003, terbit bukunya So Many Books, So Little Time: A Year of Passionate Reading. Isinya, campuran antara memoar dan kisah kehidupan sehari-hari, kala menjelajahi dunia pustaka dan kata bertaut yang bertaut dengan mengurus anak, perkawinan, perkawanan, dan lain-lain.
Di sini, dia menggambarkan caranya menyempatkan baca buku, di antara beragam identitas yang menuntut keterlibatannya. Dia merenungkan pengalaman selama membaca buku. Dan pada tataran praktisnya, dia menawarkan solusi. Dia membikin sistem untuk mendisiplinkannya baca buku. Caranya, membuat daftar buku yang hendak dibaca namun selalu tak sempat dilakukannya, atau diselesaikannya. Ia mendaftar buku wajib baca sebanyak 52 buku dalam 52 minggu, atau rata-rata seminggu satu buku selama setahun.
Cara membacanya? Kapan pun, di mana pun, ketika ada senggang atau luang. Sara mencontohkan: Ketika anaknya bermain bersama Little League, dia membaca dua buku tentang baseball. Saat buntu menulis, dia membaca kembali Bird by Bird karya Anne Lamott. Begitu pun dengan momen-momen lainnya, dia selalu memanfaatkannya dengan membaca buku.
Selain itu, ada kutipan yang menarik terkait ajakan kepada orang agar membaca buku. Dari latar belakang perkawinannya, Sara menikah dengan keturunan Jepang-Amerika, Akira Leo Yoshimura, yang tidak suka membaca buku. Oleh karena itu, Sara menyatakan, "Menjelaskan momentum hubungan antara pembaca dan buku kepada yang tak pernah berpengalaman membaca sama artinya menjelaskan hubungan intim kepada perawan".
Namun, tetap saja ada yang ditekankan Sara. Ia menyatakan, "Kau harus mengepung dirimu dengan buku-buku dan membiarkan buku-buku itu menemukan dirimu." Ini tentu saja muncul dari keyakinannya untuk selalu membeli buku yang menarik minatnya, karena katanya, "... Belilah apa pun yang kau mau dan tidak usah terlalu memikirkannya. Kemudian lihatlah di mana tempatnya yang cocok."
(Penulis bergiat di Pusat Studi Sunda/ PSS)**
Galamedia
jumat, 09 november 2012 01:13 WIB
Oleh : ATEP KURNIA
Saya pun menghadapi masalah yang sama. Buku cetak yang berhasil saya koleksi hampir dua ribu judul jumlahnya. Tersimpan di dua tempat. Di rumah, di Cikancung, Kabupaten Bandung, dan sebagian lagi tersimpan dalam tujuh rak bambu di Cibiru, Kota Bandung, di kamar kontrakan.
Sementara koleksi buku elektronik saya, hasil bergelut dengan internet, sejak tahun 2006 hingga sekarang, ada sekitar sepuluh ribu judul. Buku-buku elektronik itu tersimpan dalam puluhan bahkan ratusan keping cakram digital, berupa CD-R maupun DVD-R.
Buku-buku tersebut, memang tidak terbaca semuanya. Ada yang barangkali hanya dibaca sekilas-sekilas. Ada yang sekadar untuk memeroleh informasi dari buku tersebut. Namun banyak juga buku yang dibaca serius, dari awal hingga akhir, bahkan diulang-baca beberapa kali, agar pemahaman lebih mendalam.
Namun selama membaca, kadang rasa malas hinggap. Juga, waktu baca kadang kurang cukup, karena berbagai hal "mengganggu". Karena pekerjaan dan kegiatan lain banyak menyita perhatian. Namun, tetap saja tidak menghilangkan kewajiban untuk membaca buku. Saya merasa berdosa, bila buku yang berhasil dikumpulkan tidak terbaca.
Untuk mengatasi hal ini, dua kisah yang saya baca barangkali bisa menjadi semacam motivasi lebih untuk bertaut dengan buku. Kisah Sir William Osler (1849-1919) dan Sara Nelson, yang pandai memanfaatkan waktu untuk membaca buku. Pengalaman mereka bergelut dengan buku dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, sungguh menarik.
William Osler dikenal sebagai salah seorang ikon pengobatan modern dan dianggap Bapak Pengobatan Moderm. Selain itu, dia dikenal juga sebagai penulis dan penggila buku. Dia mendonasikan koleksi bukunya kepada McGill University, yang menjadi koleksi inti Osler Library yang berada di lingkungan McGill University dan dibuka pada 1929.
Sebagai penggila buku, Osler beraforisme, "Lebih mudah membeli buku daripada membacanya, dan lebih mudah membacanya daripada menyerap isinya". Satu lagi, sebagai dokter sekaligus penggila buku dia berujar, "Untuk mempelajari penyakit tanpa bantuan buku sama saja dengan melayari lautan yang tak terpetakan, sementara mempelajari buku tanpa pasien sama artinya tidak melaut sama sekali".
Namun yang lebih penting dia kukuh mengatur waktu untuk buku. Caranya? Menyempatkan 15 menit sebelum tidur atau kegiatan apapun. Sepanjang hayatnya, kebiasaan itu tetap dipertahankan. Bahkan, akhirnya, menjadi semacam kecanduan bila tidak membaca buku dahulu. Ya, intinya, dia memanfaatkan kesempatan apa saja setiap hari untuk membaca. Sesibuk apapun, membaca buku tetap menjadi tuntutan diri.
Lain lagi pengalaman Sara Nelson. Pekerjaannya sangat dekat dengan kegiatan tulis-menulis. Dia pernah bekerja di Glamour Magazine, kolumnis untuk The New York Observer, editor di The Book Publishing Report, dan lain-lain. Tahun 2003, terbit bukunya So Many Books, So Little Time: A Year of Passionate Reading. Isinya, campuran antara memoar dan kisah kehidupan sehari-hari, kala menjelajahi dunia pustaka dan kata bertaut yang bertaut dengan mengurus anak, perkawinan, perkawanan, dan lain-lain.
Di sini, dia menggambarkan caranya menyempatkan baca buku, di antara beragam identitas yang menuntut keterlibatannya. Dia merenungkan pengalaman selama membaca buku. Dan pada tataran praktisnya, dia menawarkan solusi. Dia membikin sistem untuk mendisiplinkannya baca buku. Caranya, membuat daftar buku yang hendak dibaca namun selalu tak sempat dilakukannya, atau diselesaikannya. Ia mendaftar buku wajib baca sebanyak 52 buku dalam 52 minggu, atau rata-rata seminggu satu buku selama setahun.
Cara membacanya? Kapan pun, di mana pun, ketika ada senggang atau luang. Sara mencontohkan: Ketika anaknya bermain bersama Little League, dia membaca dua buku tentang baseball. Saat buntu menulis, dia membaca kembali Bird by Bird karya Anne Lamott. Begitu pun dengan momen-momen lainnya, dia selalu memanfaatkannya dengan membaca buku.
Selain itu, ada kutipan yang menarik terkait ajakan kepada orang agar membaca buku. Dari latar belakang perkawinannya, Sara menikah dengan keturunan Jepang-Amerika, Akira Leo Yoshimura, yang tidak suka membaca buku. Oleh karena itu, Sara menyatakan, "Menjelaskan momentum hubungan antara pembaca dan buku kepada yang tak pernah berpengalaman membaca sama artinya menjelaskan hubungan intim kepada perawan".
Namun, tetap saja ada yang ditekankan Sara. Ia menyatakan, "Kau harus mengepung dirimu dengan buku-buku dan membiarkan buku-buku itu menemukan dirimu." Ini tentu saja muncul dari keyakinannya untuk selalu membeli buku yang menarik minatnya, karena katanya, "... Belilah apa pun yang kau mau dan tidak usah terlalu memikirkannya. Kemudian lihatlah di mana tempatnya yang cocok."
(Penulis bergiat di Pusat Studi Sunda/ PSS)**
Galamedia
jumat, 09 november 2012 01:13 WIB
Oleh : ATEP KURNIA