Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengartikan ‘malu’ sebagai ‘merasa sangat tidak enak, hina, dan rendah karena berbuat sesuatu yang kurang baik atau kurang benar’.Sementara itu, definisi ‘malu’ menurut Imam An-Nawawi adalah ‘akhlak mulia yang akan mendorong seseorang untuk meninggalkan keburukan dan mencegahnya dari melalaikan hak para pemiliknya’.
Rasa malu sangat ditekankan dalam Islam. Sebuah hadis shahih yang menarik direnungkan, “Jika kamu tidak memiliki rasa malu, berbuatlah sesukamu” (HR Bukhari). Ada juga hadis lain, “Malu adalah sebagian dari iman” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, tidaklah sempurna iman seseorang jika tidak ada rasa malu dalam dirinya. Iman dan malu bagai dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah tidak ada, maka iman pun sirna” (HR Al-Hakim).
Tetapi, apa hubungannya malu dengan kehidupan? Jika diteliti dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata haya’ (malu) dan hayah (kehidupan) ternyata berasal dari akar yang sama. Dan dalam bahasa Arab, setiap kata yang seakar selalu memiliki hubungan makna.
Simaklah ayat Alquran ketika berbicara tentang Fir’aun, “…yudzabbihuuna abnaa’ahum wa yastahyuuna nisaa’ahum”. Kalimat ‘yastahyuuna’ di situ diterjemahkan dengan ‘menghidupkan’ tetapi ada yang menerjemahkan sebagai ‘memalukan’.
Jelaslah, ada keterkaitan makna antara malu dan kehidupan. Barangkali keterkaitan makna ini sekaligus menjadi penegasan betapa pentingnya rasa malu dalam kehidupan. Boleh dibilang, tegaknya tatanan kehidupan ini sangat ditentukan oleh adanya rasa malu dalam diri manusia. Rasa malu juga menjadi kata kunci untuk mengukur kualitas kemanusiaan manusia. Tanpa rasa malu, manusia akan kehilangan kemanusiaannya. Walhasil, kehidupan hancur berantakan.
Bukti kehancuran tatanan kehidupan akibat menguapnya rasa malu itu sudah tampak secara kasat mata. Lihatlah anak yang berani melawan orangtuanya, bapak tega memerkosa anak kandungnya, gadis belia hamil tanpa menikah, pembantu rumah tangga membunuh anak majikannya, murid tanpa risih mencontek dalam ujiannya, guru merasa absah menelantarkan muridnya, istri tanpa beban mengkhianati suaminya, suami tanpa canggung menzinahi istri tetangga rumahnya.
Tatanan kehidupan publik tidak kalah mengerikan. Orang mengaku wakil rakyat justru menipu rakyat, mengaku pemimpin negara justru merampok uang negara, mengaku penegak hukum justru melanggar hukum, mengaku ulama justru menyesatkan umat, mengaku pejuang HAM justru menginjak-injak HAM, mengaku pelindung masyarakat justru bertindak bagai preman.
Sungguh memilukan tatanan kehidupan jika tanpa rasa malu hadir di dalamnya. Kemaksiatan dan kebejatan moral dianggap absah dan lumrah belaka. Masyarakat manusia tetapi tidak ubahnya kumpulan binatang. Manusia yang seharusnya berkualitas ‘ahsana taqwim’ malah terjun bebas ke tingkat ‘asfala safilin’. Inilah yang sudah disinyalir Allah dalam Alquran, “Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya” (Qs At-Tin: 4-5).
Manusia turun dejarat menjadi binatang, bahkan lebih rendah. Kata Allah, “Mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, mempunyai telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu bagai binatang, bahkan lebih rendah lagi” (Qs Al-A’raf: 179).
Maka dalam kondisi demikian, rasa malu harus senantiasa disuburkan dalam diri kaum beriman. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Sungguh rasa malu tidak akan mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan” (HR Bukhari dan Muslim). Tentu malu di sini harus bermakna positif. Malu bermakna positif adalah perasaan yang mendorong seseorang untuk berbuat kebaikan dan kemaslahatan.
Malu untuk berucap dan berbuat sesuatu yang melanggar ‘khittah’ Allah, karena selalu merasa ada CCTV (closed circuit television) yang memantaunya. Itulah para malaikat yang memang khusus dikirim Allah untuk mengamati dan mencatat setiap ucapan dan perbuatan manusia. “Bagi manusia, ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya secara bergiliran, di depan dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah” (Qs Ar-Ra’du: 11).
Ibaratnya, setiap fasilitas sebuah jabatan, pasti akan diaudit. Dan hasil audit KPK kerap mampu mengungkap beragam penyelewengan yang dilakukan koruptor negeri ini. Bagaimana dengan audit malaikat?
Pantaslah kita malu, karena malaikat tidak bisa ditipu, apalagi disuap. Pelaporan dan pengawasan mereka atas setiap ucapan dan perbuatan kita sangat ketat. “Dan segala sesuatu yang mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan” (Qs Al-Qamar: 52).
Tidak ada kebusukan kita yang luput dari perhitungan Allah. Fasilitas begitu lengkap yang sudah disediakan untuk kita di dunia, sepantasnya kita pergunakan sesuai ‘selera’ Allah. Malu rasanya menggunakan fasilitas-fasilitas kehidupan ini justru untuk berbuat makar kepada Allah.
Jika tidak memiliki rasa malu di dunia, alangkah malu ketika setiap penyelewengan kita kelak terbongkar. Dengan rasa malu, terjagalah martabat kemanusiaan kita secara pribadi dan selamatlah tatanan kehidupan secara keseluruhan. Inilah makna hadis, “Malulah kamu sekalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu” (HR At-Tirmidzi).
Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya
, Oleh M Husnaini
sumber : www.republika.co.id
Rasa malu sangat ditekankan dalam Islam. Sebuah hadis shahih yang menarik direnungkan, “Jika kamu tidak memiliki rasa malu, berbuatlah sesukamu” (HR Bukhari). Ada juga hadis lain, “Malu adalah sebagian dari iman” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, tidaklah sempurna iman seseorang jika tidak ada rasa malu dalam dirinya. Iman dan malu bagai dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah tidak ada, maka iman pun sirna” (HR Al-Hakim).
Tetapi, apa hubungannya malu dengan kehidupan? Jika diteliti dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata haya’ (malu) dan hayah (kehidupan) ternyata berasal dari akar yang sama. Dan dalam bahasa Arab, setiap kata yang seakar selalu memiliki hubungan makna.
Simaklah ayat Alquran ketika berbicara tentang Fir’aun, “…yudzabbihuuna abnaa’ahum wa yastahyuuna nisaa’ahum”. Kalimat ‘yastahyuuna’ di situ diterjemahkan dengan ‘menghidupkan’ tetapi ada yang menerjemahkan sebagai ‘memalukan’.
Jelaslah, ada keterkaitan makna antara malu dan kehidupan. Barangkali keterkaitan makna ini sekaligus menjadi penegasan betapa pentingnya rasa malu dalam kehidupan. Boleh dibilang, tegaknya tatanan kehidupan ini sangat ditentukan oleh adanya rasa malu dalam diri manusia. Rasa malu juga menjadi kata kunci untuk mengukur kualitas kemanusiaan manusia. Tanpa rasa malu, manusia akan kehilangan kemanusiaannya. Walhasil, kehidupan hancur berantakan.
Bukti kehancuran tatanan kehidupan akibat menguapnya rasa malu itu sudah tampak secara kasat mata. Lihatlah anak yang berani melawan orangtuanya, bapak tega memerkosa anak kandungnya, gadis belia hamil tanpa menikah, pembantu rumah tangga membunuh anak majikannya, murid tanpa risih mencontek dalam ujiannya, guru merasa absah menelantarkan muridnya, istri tanpa beban mengkhianati suaminya, suami tanpa canggung menzinahi istri tetangga rumahnya.
Tatanan kehidupan publik tidak kalah mengerikan. Orang mengaku wakil rakyat justru menipu rakyat, mengaku pemimpin negara justru merampok uang negara, mengaku penegak hukum justru melanggar hukum, mengaku ulama justru menyesatkan umat, mengaku pejuang HAM justru menginjak-injak HAM, mengaku pelindung masyarakat justru bertindak bagai preman.
Sungguh memilukan tatanan kehidupan jika tanpa rasa malu hadir di dalamnya. Kemaksiatan dan kebejatan moral dianggap absah dan lumrah belaka. Masyarakat manusia tetapi tidak ubahnya kumpulan binatang. Manusia yang seharusnya berkualitas ‘ahsana taqwim’ malah terjun bebas ke tingkat ‘asfala safilin’. Inilah yang sudah disinyalir Allah dalam Alquran, “Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya” (Qs At-Tin: 4-5).
Manusia turun dejarat menjadi binatang, bahkan lebih rendah. Kata Allah, “Mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, mempunyai telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu bagai binatang, bahkan lebih rendah lagi” (Qs Al-A’raf: 179).
Maka dalam kondisi demikian, rasa malu harus senantiasa disuburkan dalam diri kaum beriman. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Sungguh rasa malu tidak akan mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan” (HR Bukhari dan Muslim). Tentu malu di sini harus bermakna positif. Malu bermakna positif adalah perasaan yang mendorong seseorang untuk berbuat kebaikan dan kemaslahatan.
Malu untuk berucap dan berbuat sesuatu yang melanggar ‘khittah’ Allah, karena selalu merasa ada CCTV (closed circuit television) yang memantaunya. Itulah para malaikat yang memang khusus dikirim Allah untuk mengamati dan mencatat setiap ucapan dan perbuatan manusia. “Bagi manusia, ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya secara bergiliran, di depan dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah” (Qs Ar-Ra’du: 11).
Ibaratnya, setiap fasilitas sebuah jabatan, pasti akan diaudit. Dan hasil audit KPK kerap mampu mengungkap beragam penyelewengan yang dilakukan koruptor negeri ini. Bagaimana dengan audit malaikat?
Pantaslah kita malu, karena malaikat tidak bisa ditipu, apalagi disuap. Pelaporan dan pengawasan mereka atas setiap ucapan dan perbuatan kita sangat ketat. “Dan segala sesuatu yang mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan” (Qs Al-Qamar: 52).
Tidak ada kebusukan kita yang luput dari perhitungan Allah. Fasilitas begitu lengkap yang sudah disediakan untuk kita di dunia, sepantasnya kita pergunakan sesuai ‘selera’ Allah. Malu rasanya menggunakan fasilitas-fasilitas kehidupan ini justru untuk berbuat makar kepada Allah.
Jika tidak memiliki rasa malu di dunia, alangkah malu ketika setiap penyelewengan kita kelak terbongkar. Dengan rasa malu, terjagalah martabat kemanusiaan kita secara pribadi dan selamatlah tatanan kehidupan secara keseluruhan. Inilah makna hadis, “Malulah kamu sekalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu” (HR At-Tirmidzi).
Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya
, Oleh M Husnaini
sumber : www.republika.co.id