Pada suatu malam di pelataran Ka’bah, Thawus bin Kisan ra mendapati Ali bin Husein -yang lebih dikenal dengan Zainul Abidin ra- sedang bermunajat kepada Allah SWT.
Dengan penuh pengharapan (tadharru’), terdengar ia merendahkan dan menghinakan dirinya diiringi dengan deraian air mata bermohon agar Allah SWT memberikan ampunan kepadanya.
Setelah Ali bin Husein menyelesaikan munajatnya, Thawus menghampiri. Ia berkata, "Wahai cucu Rasulullah SAW, mengapa engkau menangis seperti ini, sementara engkau memiliki tiga keistimewaan yang tak dipunyai orang lain.
Pertama, engkau adalah cucu Rasulullah SAW. Kedua, engkau akan mendapat syafaat dari Rasulullah SAW. Dan ketiga, keluasan rahmat-Nya untukmu."
Mendengar pernyataan Thawus itu, Ali bin Husein menjelaskan semuanya bukan jaminan ia akan mudah mendapatkannya.
Beliau berkata, "Ketahuilah hubungan nasabku dengan Rasulullah, bukan jaminan keselamatanku di akhirat sana setelah aku mendengar firman Allah SWT, ‘Apabila sangkakala ditiup, maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak ada pula mereka saling bertanya’." (QS al- Mukminun [23]: 101).
Sedangkan syafaat Nabi SAW, maka Allah SWT berfirman, "Dan mereka tiada memberi syafaat, melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya." (QS al-Anbiya` [21]: 28).
Dan terakhir, terkait rahmat-Nya, Allah berfirman, "Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS al-A’raf [7]: 56).
Kisah di atas mengajarkan kepada kita untuk bersikap tadharru’ (penuh harap dan merendahkan diri) dalam beribadah kepada Allah SWT, terutama ketika sedang berdoa.
"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri (penuh harap) dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS al-A’raf [7]: 55).
Tadharru’ merupakan akhlak dan etika yang harus kita bangun ketika membina hubungan dengan Allah SWT. Hal ini kita lakukan sebagai wujud penghambaan diri kita kepada Zat Penguasa alam semesta, Allah SWT.
Tadharru' mengandung makna tadzallul (kerendahan dan kehinaan diri) dan istiqamah (ketundukan diri). (Jami’-ul bayan ‘an ta’wil al-Qur’an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari).
Oleh karena itu, ketika kita ber-tadharru’ kepada Allah SWT, akan menumbuhkan kesungguhan dan kekhusyu'an dalam beribadah dan berdoa serta menjadi sebab Allah SWT akan meninggikan derajat kita di sisi-Nya.
Mari kita renungi penjelasan Imam Ahmad bin Hambal ketika mendeskripsikan 'tadarru' agar kita dapat bersikap tadharru'.
Beliau berkata, "Bayangkan seseorang yang tenggelam di tengah lautan dan yang dimilikinya hanyalah sebatang kayu yang digunakannya supaya terapung."
"Ia menjadi semakin lemah dan gelombang air mendorongnya semakin dekat pada kematian. Bayangkanlah ia dengan tatapan matanya yang penuh harapan menatap ke arah langit dengan putus asa sambil berteriak, "Ya Tuhan ku, Tuhanku!"
Bayangkanlah betapa putus asanya dia dan betapa tulusnya ia meminta pertolongan Tuhan. Itulah yang disebut dengan tadharru’ di hadapan Tuhan."
, Oleh: Moch Hisyam
sumber : www.republika.co.id
Dengan penuh pengharapan (tadharru’), terdengar ia merendahkan dan menghinakan dirinya diiringi dengan deraian air mata bermohon agar Allah SWT memberikan ampunan kepadanya.
Setelah Ali bin Husein menyelesaikan munajatnya, Thawus menghampiri. Ia berkata, "Wahai cucu Rasulullah SAW, mengapa engkau menangis seperti ini, sementara engkau memiliki tiga keistimewaan yang tak dipunyai orang lain.
Pertama, engkau adalah cucu Rasulullah SAW. Kedua, engkau akan mendapat syafaat dari Rasulullah SAW. Dan ketiga, keluasan rahmat-Nya untukmu."
Mendengar pernyataan Thawus itu, Ali bin Husein menjelaskan semuanya bukan jaminan ia akan mudah mendapatkannya.
Beliau berkata, "Ketahuilah hubungan nasabku dengan Rasulullah, bukan jaminan keselamatanku di akhirat sana setelah aku mendengar firman Allah SWT, ‘Apabila sangkakala ditiup, maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak ada pula mereka saling bertanya’." (QS al- Mukminun [23]: 101).
Sedangkan syafaat Nabi SAW, maka Allah SWT berfirman, "Dan mereka tiada memberi syafaat, melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya." (QS al-Anbiya` [21]: 28).
Dan terakhir, terkait rahmat-Nya, Allah berfirman, "Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS al-A’raf [7]: 56).
Kisah di atas mengajarkan kepada kita untuk bersikap tadharru’ (penuh harap dan merendahkan diri) dalam beribadah kepada Allah SWT, terutama ketika sedang berdoa.
"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri (penuh harap) dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS al-A’raf [7]: 55).
Tadharru’ merupakan akhlak dan etika yang harus kita bangun ketika membina hubungan dengan Allah SWT. Hal ini kita lakukan sebagai wujud penghambaan diri kita kepada Zat Penguasa alam semesta, Allah SWT.
Tadharru' mengandung makna tadzallul (kerendahan dan kehinaan diri) dan istiqamah (ketundukan diri). (Jami’-ul bayan ‘an ta’wil al-Qur’an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari).
Oleh karena itu, ketika kita ber-tadharru’ kepada Allah SWT, akan menumbuhkan kesungguhan dan kekhusyu'an dalam beribadah dan berdoa serta menjadi sebab Allah SWT akan meninggikan derajat kita di sisi-Nya.
Mari kita renungi penjelasan Imam Ahmad bin Hambal ketika mendeskripsikan 'tadarru' agar kita dapat bersikap tadharru'.
Beliau berkata, "Bayangkan seseorang yang tenggelam di tengah lautan dan yang dimilikinya hanyalah sebatang kayu yang digunakannya supaya terapung."
"Ia menjadi semakin lemah dan gelombang air mendorongnya semakin dekat pada kematian. Bayangkanlah ia dengan tatapan matanya yang penuh harapan menatap ke arah langit dengan putus asa sambil berteriak, "Ya Tuhan ku, Tuhanku!"
Bayangkanlah betapa putus asanya dia dan betapa tulusnya ia meminta pertolongan Tuhan. Itulah yang disebut dengan tadharru’ di hadapan Tuhan."
, Oleh: Moch Hisyam
sumber : www.republika.co.id