Usia suaminya sudah menjelang 40 dan Sayyidah Khadijah menangkap kegelisahan yang makin tampak di wajah itu. Wanita agung ini tidak bertanya. Tetapi beliau dapatkan jawab dari mata Muhammad saw yang senantiasa basah melihat ketidakadilan.
Putri Khuwailid ini tidak bertanya, tapi beliau membaca wajah yang menunduk tiap kali keberhalaan membunuh kemanusiaan; saudagar wanita berhati mulia ini tidak bertanya, tapi memahaminya dari wajah yang perih tiap kali menyaksikan pertikaian tanpa makna.
Dan hari itu adalah puncaknya. Hari itu beliau menyaksikannya bukan dengan wajah segar terlepas dari beban seperti biasanya. Beliau melihat suami terkasihnya menggigil ketakutan.
Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya, Muhammad saw basah kuyup; wajahnya pucat, mimik pias dan napasnya tersengal-sengal. Denyut jantungnya memburu sementara tatapan matanya tercekam seakan dikejar sesuatu yang begitu mengerikan.
“Zammilunii, selimuti aku! Selimuti aku,” lirih suaminya ini dengan wajah pasi dan sinar mata ketakutan.
Sayyidah Khadijah tak kalah cemas. Beliau begitu ketakutan. Hatinya meneriakkan tanya, “Ada apa sebenarnya?” pasti telah terjadi peristiwa besar yang mengguncang. Tentu ini perkara yang serius.
Tapi beliau surut, lisannya dibungkam kuat-kuat. Ditahannya keinginan untuk tahu. Yang dibutuhkan suaminya kini bukan menceritakan apa yang dialami. Yang diperlukannya adalah ketenangan.
Maka kembali ibunda Sayyidah Fatimah ini pun tak bertanya. Sepertinya sikap ummul mukminat ini yang tak bertanya dan tidak bersegera mencari tahu ini hanya persoalan kecil, remeh.
Tapi mari bayangkan apa jadinya riwayat kenabian dan dakwah andai Sayyidah Khadijah adalah istri yang tak mampu memahami apa yang dihajatkan suami pada saat dilanda panik? Apa jadinya jika saat mendapat wahyu pertama Khadijah menampilkan diri sebagai wanita yang tak rela kehilangan berita di momen pertama?
Ternyata beliau ingin mengajari kita sebuah kaidah penting. Bahwa kita harus punya kepekaan hati untuk mengenal kebutuhan orang yang kita cintai. Bahwa kita mesti memiliki kelembutan nurani untuk memberi kesempatan ruh orang yang spesial di hati kita melepaskan beban-bebannya.
Karenanya kepedulian yang terlembut bukan sekadar rasa ingin tahu. Tapi kepedulian yang terlembut kadang tampil dalam bentuk kesadaran bahwa mungkin kita belum perlu tahu sampai tibanya suatu waktu. Sungguh kesabaran akan menuntun kita untuk tahu, di saat yang tepat dengan cara yang super indah!
Jelilah melihat keadaan diri dan keadaan orang lain. Pintar-pintarlah membaca situasi terbaik yang dibutuhkan.
Ternyata memberondong dengan berbagai pertanyaan kepada istri atau suami atau anak dan siapa pun orang dekat kita, meski terkesan baik dan seakan peduli, menjadi tidak efektif jika tidak pas dan tepat waktu dan situasinya.
, Oleh Ustaz HM Arifin Ilham
sumber : www.republika.co.id
Putri Khuwailid ini tidak bertanya, tapi beliau membaca wajah yang menunduk tiap kali keberhalaan membunuh kemanusiaan; saudagar wanita berhati mulia ini tidak bertanya, tapi memahaminya dari wajah yang perih tiap kali menyaksikan pertikaian tanpa makna.
Dan hari itu adalah puncaknya. Hari itu beliau menyaksikannya bukan dengan wajah segar terlepas dari beban seperti biasanya. Beliau melihat suami terkasihnya menggigil ketakutan.
Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya, Muhammad saw basah kuyup; wajahnya pucat, mimik pias dan napasnya tersengal-sengal. Denyut jantungnya memburu sementara tatapan matanya tercekam seakan dikejar sesuatu yang begitu mengerikan.
“Zammilunii, selimuti aku! Selimuti aku,” lirih suaminya ini dengan wajah pasi dan sinar mata ketakutan.
Sayyidah Khadijah tak kalah cemas. Beliau begitu ketakutan. Hatinya meneriakkan tanya, “Ada apa sebenarnya?” pasti telah terjadi peristiwa besar yang mengguncang. Tentu ini perkara yang serius.
Tapi beliau surut, lisannya dibungkam kuat-kuat. Ditahannya keinginan untuk tahu. Yang dibutuhkan suaminya kini bukan menceritakan apa yang dialami. Yang diperlukannya adalah ketenangan.
Maka kembali ibunda Sayyidah Fatimah ini pun tak bertanya. Sepertinya sikap ummul mukminat ini yang tak bertanya dan tidak bersegera mencari tahu ini hanya persoalan kecil, remeh.
Tapi mari bayangkan apa jadinya riwayat kenabian dan dakwah andai Sayyidah Khadijah adalah istri yang tak mampu memahami apa yang dihajatkan suami pada saat dilanda panik? Apa jadinya jika saat mendapat wahyu pertama Khadijah menampilkan diri sebagai wanita yang tak rela kehilangan berita di momen pertama?
Ternyata beliau ingin mengajari kita sebuah kaidah penting. Bahwa kita harus punya kepekaan hati untuk mengenal kebutuhan orang yang kita cintai. Bahwa kita mesti memiliki kelembutan nurani untuk memberi kesempatan ruh orang yang spesial di hati kita melepaskan beban-bebannya.
Karenanya kepedulian yang terlembut bukan sekadar rasa ingin tahu. Tapi kepedulian yang terlembut kadang tampil dalam bentuk kesadaran bahwa mungkin kita belum perlu tahu sampai tibanya suatu waktu. Sungguh kesabaran akan menuntun kita untuk tahu, di saat yang tepat dengan cara yang super indah!
Jelilah melihat keadaan diri dan keadaan orang lain. Pintar-pintarlah membaca situasi terbaik yang dibutuhkan.
Ternyata memberondong dengan berbagai pertanyaan kepada istri atau suami atau anak dan siapa pun orang dekat kita, meski terkesan baik dan seakan peduli, menjadi tidak efektif jika tidak pas dan tepat waktu dan situasinya.
, Oleh Ustaz HM Arifin Ilham
sumber : www.republika.co.id