Sahabat Rasulullah Saw, Saad Bin Abi Waqqas yang kaya dan dermawan sedang sakit keras. Ia ingin mewasiatkan seluruh hartanya bagi kemaslahatan umat. Rasulullah Saw melarangnya. Saad pun berniat mewasiatkan separohnya. Itu pun tetap dilarang Rasulullah Saw.
Ia mewasiatkan sepertiganya. Rasulullah Saw lalu bersabda : “… dan sepertiga itu pun sudah banyak. Sesungguhnya, jika engkau tinggalkan pewaris-pewarismu dalam keadaan mampu, lebih baik daripada mereka dalam keadaan melarat, menadahkan telapak tangan kepada sesama manusia.” (HR. Bukhari Muslim).
Hadits ini merupakan penjelas atas ayat ke 9 Surat an-Nisa. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.”(QS.4:9.
Akhir-akhir ini, kita tersentak dengan berita seorang anak berusia 11 tahun di Jakarta meninggal dunia karena mengalami kekerasan seksual. Diketahui kemudian, ternyata yang melakukannya adalah ayah kandungnya sendiri.
Begitu pula seorang anak ingusan berusia empat tahun di Menes Pandeglang diculik dan diperkosa. Seorang siswa SMA di Jakarta, mengalami pecehan seksual dari Wakil Kepala Sekolah. Lalu, seorang Guru SLB di Garut mencabuli muridnya.
Ada pula buku paket yang beredar kepada murid SD berisi gambar dan cerita porno. Peredaran narkoba yang semakin merajalela, termasuk kepada murid-murid SD. Situs porno begitu mudah diakses oleh anak-anak yang lepas dari pengawasan orang tuannya.
Tawuran pelajar dan mahasiswa telah menewaskan puluhan orang sia-sia. Perilaku seks dan pergaulan bebas di kalangan anak SD dan remaja telah merambah dari kota ke desa seakan menjadi trend dan gaya.
Pemerkosaan terjadi di mana-mana yang merenggut kesucian dan masa depan, anak putus sekolah semakin tinggi, kemiskinan dan kelaparan (kekurangan gizi) menjadi pemandangan yang nyata. Masya Allah !
Pilu dan miris hati kita menyaksikannya. Kini, semakin nyata upaya sistematis dan massif untuk menghancurkan satu generasi penerus dakwah dan agama.
Siapa yang paling bertanggung jawab? Orang tua adalah pilar dan penanggung jawab utama pendidikan anak. Keluarga adalah al-Madrasah al-Uula (sekolah pertama dan utama). Orang tua khususnya Ibu adalah Guru Utama dalam mendidik anak dalam keluarga.
Keluargalah yang akan melahirkan generasi dzurriyatan dhia’fan (anak cucu yang lemah) atau sebaliknya, dzurriyatan thoyyibatan (anak cucu yang berkualitas). Untuk itu, orang tua harus bekerja keras menyiapkan jalan penghidupan yang layak.
Artinya, meninggalkan anak keturunan yang berada, bukan yang papa. “Orang mukmin yang kuat lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah”. Demikian Hadits Nabi Saw. Tapi, apakah warisan harta saja sudah cukup? Tentu saja tidak.
Kecukupan ekonomi hanyalah untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs), tapi belum bisa menyelamatkan dari keburukan dan kekesengsaraan (QS. 66:6). Warisan yang lebih utama adalah iman (akidah yang kuat), ilmu pengetahuan, ketaatan beribadah dan akhlak karimah.
Jika demikian, jangan sampai kita meninggalkan generasi yang lemah, yakni lemah ekonomi, iman (akidah), ilmu pengetahuan dan akhlak mulia. Namun, orang tua wajib mendidik anak-anaknya lebih dahulu dengan akidah yang kuat sejak dini, ketaatan dalam ibadah dan keutamaan dalam akhlak mulia. (QS. 31:13-19).
Insya Allah akan lahir dzurriyan toyyibatan, yakni an-naslu al-mubaarok (keturunan yang berkah) seperti harapan Nabi Zakariya as. (QS.3:38).
Pribadi tangguh yang digambarkan Allah SWT laksana sebuah pohon yang baik (syajarotun toyyibah). Yakni, akarnya menghujam ke perut bumi (akidah), batang dahannya menjulang ke langit (ibadah yang benar) dan berbuah di setiap musim (akhlak karimah).
Keluarga yang berkualitas (khaira usrah) akan melahirkan pribadi yang berkualitas pula (khairul bariyyah). Insya Allah, Amin.
, Oleh ; Ustaz H Hasan Basri Tanjung, MA.
sumber : www.republika.co.id
Ia mewasiatkan sepertiganya. Rasulullah Saw lalu bersabda : “… dan sepertiga itu pun sudah banyak. Sesungguhnya, jika engkau tinggalkan pewaris-pewarismu dalam keadaan mampu, lebih baik daripada mereka dalam keadaan melarat, menadahkan telapak tangan kepada sesama manusia.” (HR. Bukhari Muslim).
Hadits ini merupakan penjelas atas ayat ke 9 Surat an-Nisa. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.”(QS.4:9.
Akhir-akhir ini, kita tersentak dengan berita seorang anak berusia 11 tahun di Jakarta meninggal dunia karena mengalami kekerasan seksual. Diketahui kemudian, ternyata yang melakukannya adalah ayah kandungnya sendiri.
Begitu pula seorang anak ingusan berusia empat tahun di Menes Pandeglang diculik dan diperkosa. Seorang siswa SMA di Jakarta, mengalami pecehan seksual dari Wakil Kepala Sekolah. Lalu, seorang Guru SLB di Garut mencabuli muridnya.
Ada pula buku paket yang beredar kepada murid SD berisi gambar dan cerita porno. Peredaran narkoba yang semakin merajalela, termasuk kepada murid-murid SD. Situs porno begitu mudah diakses oleh anak-anak yang lepas dari pengawasan orang tuannya.
Tawuran pelajar dan mahasiswa telah menewaskan puluhan orang sia-sia. Perilaku seks dan pergaulan bebas di kalangan anak SD dan remaja telah merambah dari kota ke desa seakan menjadi trend dan gaya.
Pemerkosaan terjadi di mana-mana yang merenggut kesucian dan masa depan, anak putus sekolah semakin tinggi, kemiskinan dan kelaparan (kekurangan gizi) menjadi pemandangan yang nyata. Masya Allah !
Pilu dan miris hati kita menyaksikannya. Kini, semakin nyata upaya sistematis dan massif untuk menghancurkan satu generasi penerus dakwah dan agama.
Siapa yang paling bertanggung jawab? Orang tua adalah pilar dan penanggung jawab utama pendidikan anak. Keluarga adalah al-Madrasah al-Uula (sekolah pertama dan utama). Orang tua khususnya Ibu adalah Guru Utama dalam mendidik anak dalam keluarga.
Keluargalah yang akan melahirkan generasi dzurriyatan dhia’fan (anak cucu yang lemah) atau sebaliknya, dzurriyatan thoyyibatan (anak cucu yang berkualitas). Untuk itu, orang tua harus bekerja keras menyiapkan jalan penghidupan yang layak.
Artinya, meninggalkan anak keturunan yang berada, bukan yang papa. “Orang mukmin yang kuat lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah”. Demikian Hadits Nabi Saw. Tapi, apakah warisan harta saja sudah cukup? Tentu saja tidak.
Kecukupan ekonomi hanyalah untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs), tapi belum bisa menyelamatkan dari keburukan dan kekesengsaraan (QS. 66:6). Warisan yang lebih utama adalah iman (akidah yang kuat), ilmu pengetahuan, ketaatan beribadah dan akhlak karimah.
Jika demikian, jangan sampai kita meninggalkan generasi yang lemah, yakni lemah ekonomi, iman (akidah), ilmu pengetahuan dan akhlak mulia. Namun, orang tua wajib mendidik anak-anaknya lebih dahulu dengan akidah yang kuat sejak dini, ketaatan dalam ibadah dan keutamaan dalam akhlak mulia. (QS. 31:13-19).
Insya Allah akan lahir dzurriyan toyyibatan, yakni an-naslu al-mubaarok (keturunan yang berkah) seperti harapan Nabi Zakariya as. (QS.3:38).
Pribadi tangguh yang digambarkan Allah SWT laksana sebuah pohon yang baik (syajarotun toyyibah). Yakni, akarnya menghujam ke perut bumi (akidah), batang dahannya menjulang ke langit (ibadah yang benar) dan berbuah di setiap musim (akhlak karimah).
Keluarga yang berkualitas (khaira usrah) akan melahirkan pribadi yang berkualitas pula (khairul bariyyah). Insya Allah, Amin.
, Oleh ; Ustaz H Hasan Basri Tanjung, MA.
sumber : www.republika.co.id