Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, "Tiada bayi yang dapat berbicara saat bayi kecuali Nabi Isa as dan seorang bayi yang hidup pada zamannya."
Kala itu, ada seorang laki-laki bernama Juraij. Juraij adalah remaja yang taat beribadah. Saat ia ingin melakukan shalat sunah, ibunya memanggilnya. Kala itu, Juraij bimbang—dahulukan shalat, atau memenuhi panggilan Ibunya? Maka, Juraij pun memilih shalat dan mengabaikan panggilan ibunya yang sudah berkali-kali menggema di telinganya.
Sang ibu pun kecewa, dalam hati ia berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau mematikan anakku sebelum ia mendapat fitnah dari wanita pelacur.”
Selang beberapa hari kemudian, seperti biasa, Juraij beribadah di tempat biasanya. Kemudian, datanglah seorang wanita pelacur yang merayu Juraij untuk berbuat mesum. Juraij pun berusaha menolak.
Karena penolakan tersebut, pelacur itu berhasil memfitnah Juraij dengan keterangan bahwa Juraij telah menodainya hingga hamil—kendati si pelacur tersebut memang dalam kondisi hamil namun bukan dengan Juraij.
Beberapa bulan kemudian, saat si bayi lahir, pelacur itu kembali datang pada Juraij dan memberikan keterangan pada seluruh warga bahwa bayi tersebut adalah hasil zina dengan Juraij.
Juraij tak sanggup menceritakan yang sebenarnya sebab warga telah berhasil memukulinya hingga terluka lalu membakar habis tempat ibadah Juraij. Di saat yang sama, dengan kekuatan yang masih tersisa, Juraij merebut bayi dari tangan si pelacur dan berkata pada sang bayi,
“Siapakah ayahmu?”
Si bayi menjawab, “Ayahku seorang penggembala,”
Seketika warga pun berhasil dibuat panik oleh bayi yang dapat memberikan keterangan benar atas izin Allah SWT. Warga pun memohon maaf pada Juraij dan berjanji akan membangun kembali tempat ibadah Juraij.
Belajar dari kisah Juraij ini, dapat kita petik beberapa hikmah. Di antaranya adalah tanggung jawab seorang anak pada orang tua.
Allah Swt berfirman, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia serta hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23).
Poin utama dalam firman Allah SWT ini adalah nilai-nilai pengabdian. Pengabdian pertama pada Tuhan Pencipta kita, Allah SWT. Kedua, pengabdian pada ibu-bapak, yang dalam hal ini adalah peringatan untuk kita semua agar senantiasa menjaga sikap di hadapan keduanya, khususnya ibu. Kedua pengabdian tersebut semestinya diseimbangkan.
Namun, dalam kisah ini, keseimbangan antara hablum minallah dengan hablum minannas belum tercipta. Juraij sudah mantap dalam pengabdiannya pada Allah. Namun pengabdiannya pada orang tua, khususnya ibu, masih belum sempurna. Ia mengabaikan apa yang diperintahkan ibunda terlepas dari penting atau tidaknya seruan sang ibu.
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, seorang datang kepada Nabi dan berkata, “Ya Rasulullah, siapakah yang berhak aku layani? Jawab Nabi SAW, “Ibumu.” Kemudian siapa?" Jawab Nabi Saw, “Ibumu.” Kemudian siapa?" Jawab Nabi Saw “Ibumu.” Lalu siapakah?" Jawab Nabi SAW, "Ayahmu.” (HR. Bukhari Muslim).
Oleh: Ina Salma Febriany
sumber : www.republika.co.id
Kala itu, ada seorang laki-laki bernama Juraij. Juraij adalah remaja yang taat beribadah. Saat ia ingin melakukan shalat sunah, ibunya memanggilnya. Kala itu, Juraij bimbang—dahulukan shalat, atau memenuhi panggilan Ibunya? Maka, Juraij pun memilih shalat dan mengabaikan panggilan ibunya yang sudah berkali-kali menggema di telinganya.
Sang ibu pun kecewa, dalam hati ia berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau mematikan anakku sebelum ia mendapat fitnah dari wanita pelacur.”
Selang beberapa hari kemudian, seperti biasa, Juraij beribadah di tempat biasanya. Kemudian, datanglah seorang wanita pelacur yang merayu Juraij untuk berbuat mesum. Juraij pun berusaha menolak.
Karena penolakan tersebut, pelacur itu berhasil memfitnah Juraij dengan keterangan bahwa Juraij telah menodainya hingga hamil—kendati si pelacur tersebut memang dalam kondisi hamil namun bukan dengan Juraij.
Beberapa bulan kemudian, saat si bayi lahir, pelacur itu kembali datang pada Juraij dan memberikan keterangan pada seluruh warga bahwa bayi tersebut adalah hasil zina dengan Juraij.
Juraij tak sanggup menceritakan yang sebenarnya sebab warga telah berhasil memukulinya hingga terluka lalu membakar habis tempat ibadah Juraij. Di saat yang sama, dengan kekuatan yang masih tersisa, Juraij merebut bayi dari tangan si pelacur dan berkata pada sang bayi,
“Siapakah ayahmu?”
Si bayi menjawab, “Ayahku seorang penggembala,”
Seketika warga pun berhasil dibuat panik oleh bayi yang dapat memberikan keterangan benar atas izin Allah SWT. Warga pun memohon maaf pada Juraij dan berjanji akan membangun kembali tempat ibadah Juraij.
Belajar dari kisah Juraij ini, dapat kita petik beberapa hikmah. Di antaranya adalah tanggung jawab seorang anak pada orang tua.
Allah Swt berfirman, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia serta hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23).
Poin utama dalam firman Allah SWT ini adalah nilai-nilai pengabdian. Pengabdian pertama pada Tuhan Pencipta kita, Allah SWT. Kedua, pengabdian pada ibu-bapak, yang dalam hal ini adalah peringatan untuk kita semua agar senantiasa menjaga sikap di hadapan keduanya, khususnya ibu. Kedua pengabdian tersebut semestinya diseimbangkan.
Namun, dalam kisah ini, keseimbangan antara hablum minallah dengan hablum minannas belum tercipta. Juraij sudah mantap dalam pengabdiannya pada Allah. Namun pengabdiannya pada orang tua, khususnya ibu, masih belum sempurna. Ia mengabaikan apa yang diperintahkan ibunda terlepas dari penting atau tidaknya seruan sang ibu.
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, seorang datang kepada Nabi dan berkata, “Ya Rasulullah, siapakah yang berhak aku layani? Jawab Nabi SAW, “Ibumu.” Kemudian siapa?" Jawab Nabi Saw, “Ibumu.” Kemudian siapa?" Jawab Nabi Saw “Ibumu.” Lalu siapakah?" Jawab Nabi SAW, "Ayahmu.” (HR. Bukhari Muslim).
Oleh: Ina Salma Febriany
sumber : www.republika.co.id