SECARA normatif dan teoritik, agama Islam mempunyai obsesi untuk bisa hadir di tengah-tengah manusia, sebagai fasilitator dalam pemecahan problem-problemnya 'liyukhrijahum min al dzulumati ila al nur' (agama itu datang untuk membebaskan manusia dari kegelapan). Asghar Ali Engineer (1999) menyebut, Islam hadir untuk menyelamatkan, membela dan menghidupkan keadilan dalam bentuknya yang paling kongkrit. Kenyataan demikian dapat dilihat dari banyaknya ayat al-Qur'an yang memerintahkan manusia untuk berbuat adil, menentang kedzaliman dan mengentaskan kemiskinan.
Namun sayang sekali, wajah Islam sebagai penyelamat, pembela dan penghidup keadilan itu, seringkali justru berbenturan dengan kenyataan empirik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kehadiran Islam bukannya memecahkan berbagai problem, tetapi justru menjadi problem itu sendiri. Dalam banyak kesempatan, agama bahkan hanya dipahami dalam bentuknya yang paling luar, sebagai ritual rutin yang jangkauannya hanya terbatas pada wilayah-wilayah privat dan spiritual belaka.
Praktek keagamaan seperti inilah yang sesungguhnya telah menyebabkan Islam dalam berabad-abad lamanya kehilangan spirit religiusnya yang murni, yakni spirit keadilan yang menghubungkan antara keluhuran ajaran dengan kemuliaan praktik-praktik kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Hilangnya spirit keadilan ini juga menyebabkan umat Islam seringkali kesulitan menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh), karena yang sering terjadi justru praktik-praktik kehidupan beragama yang parsial dan terkotak-kotak.
Seperti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, umat Islam seringkali kehilangan daya kritisnya terhadap praktik-praktik ketidakadilan yang dilakukan oleh negara. Energi agama sebagai pembebas, nyaris tidak berfungsi. Rekonstruksi tatanan masyarakat yang berkeadilan kurang menuai hasil yang memuaskan karena agama hanya dipergunakan sebagai 'alat' untuk menumbangkan sebuah kekuatan politik atau rezim, bukan untuk mewujudkan keadilan secara menyeluruh. Ini bisa kita lihat di berbagai darah rawan konflik di Indonesia, sebut saja Aceh dan Ambon dan daerah rawan konflik lainnya.
Para sejarawan menulis, kedatangan Islam khususnya di Indonesia dan umumnya di seluruh belahan dunia adalah untuk merubah kemapanan serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan tereksploitasi (masyarakat lemah). Mereka bahkan menyebut, masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagaian anggota lainnya, yang lemah dan tertindas, tidak dapat disebut sebagai masyarakat Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritual Islam setiap hari.
Pernyataan ini didukung oleh ajaran yang di emban Nabi Muhammad sebagai bentuk pengejawantahan dalam konteks realita sehari-hari menyebutkan bahwa keadilan merupakan ukuran tertinggi suatu masyarakat. Secara tegas al-Qur'an juga menyebutkan bahwa persoalan keadilan tidak bisa dilepaskan dengan persoalan taqwa. Oleh karena itu, arti taqwa dalam Islam bukan hanya semata-mata menjalankan ibadah ritual saja. Tanpa keadilan sosial, tidak akan ada ketaqwaan.
Sayangnya, ajaran Islam yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan kemapanan, begitu Nabi Muhammad meninggal dunia, selama berabad-abad, Islam sarat dengan praktek feodalistik. Dan anehnya, praktek demikian (entah secara sengaja atau tidak) ternyata disokong oleh para ulama. Mereka lebih banyak menulis buku tentang ibadah-ibadah ritual dan menghabiskan waktunya untuk mengupas masalah-masalah furu'iyah dalam syari'at, dan sama sekali mengecilkan arti vital Islam dalam menciptakan keadilan sosial dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas.
Memang, secara komprehensip Islam tidak menyediakan teori-teori ilmiah dan managemen yang detail mengenai penyelesaian problem manusia. Tetapi secara genuine, Islam sangat concern dengan persoalan-persoalan tersebut. Dan disinilah peran manusia untuk menerjemahkan pesan-pesan agama akan menemukan jalan keluar yang sesungguhnya.
Pesan kemanusiaan agama tersebut tidak akan pernah terwujud dalam dunia nyata, jika sang manusia itu sendiri tidak mampu menerjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa? karena agama sesungguhnya hanyalah salah satu diantara uluran tangan Tuhan dalam kerja besar manusia memecahkan problem-problem kehidupannya.
Ungkapan Marx bahwa agama itu candu bagi masyarakat misalnya, harus dipahami bukan semata-mata untuk menyalahkan agama, seperti yang disangka banyak orang, tetapi harus dipahami dalam pengertian bahwa selain tidak membawa perubahan bagi masyarakat, agama dalam konteks tertentu justru sering digunakan untuk melanggengkan kemapanan.
Untuk itu, jika agama ingin dijadikan sebagai alat perubahan, maka manusia harus mampu menerjemahkan agama sebagai 'senjata pamungkas' bagi kelompok masyarakat yang tertindas dan tereksploitasi. Agama harus diformulasikan dalam teologi pembebasan yang dapat memainkan peran sentral sebagai praksis revolusioner. Agama tidak boleh hanya berhenti pada upacara-upacara ritual belaka, tetapi juga harus menyelusup masuk untuk membela problem riil yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Agama bukan hanya berbicara tentang teks, tetapi juga berinteraksi dengan konteks masyarakatnya.
Sisi lain keberadaan Pesantren tidak bisa dilepaskan dari pengembangan tradisi memperdalam ilmu keislaman di Nusantara saja, sosok Kiai yang jadi panutan para santrinya selalu menjadi magnet bagi zamannya. Posisi Kiai dari sejak zaman penjajahan sampai sekarang masih harus tetap berada di tengah-tengah umat untuk mengawal peradaban.
Setidaknya dalam analisis saya ada beberapa harapan masyarakat Indonesia dari banyaknya tuntutan yang mereka lakukan terrhadap keberadaan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Pertama, normalisasi proses demokrasi. Kedua, peningkatan kesejahtraan ekonomi rakyat secara keseluruhan. Ketiga, pengembangan dan pemberdayaan kaum intelektualitas dan profesional di segala bidang. Keempat melakukan hubungan internasional yang lebih progres untuk kemajuan negara. Kelima sosialisasi pendidikan ketatanegaraan. Semua aspek tersebut apabila mampu dilaksanakan oleh pengemban amanah kepemimpinan, tentunya harapan untuk membangun keadaban demokratis dapat segera terwujud.
Galamedia jumat, 10 februari 2012
Oleh : Wahyu Iryana
(Penulis, Staf Pengajar Fakultas Adhum dan Saintek UIN Bandung)**
Namun sayang sekali, wajah Islam sebagai penyelamat, pembela dan penghidup keadilan itu, seringkali justru berbenturan dengan kenyataan empirik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kehadiran Islam bukannya memecahkan berbagai problem, tetapi justru menjadi problem itu sendiri. Dalam banyak kesempatan, agama bahkan hanya dipahami dalam bentuknya yang paling luar, sebagai ritual rutin yang jangkauannya hanya terbatas pada wilayah-wilayah privat dan spiritual belaka.
Praktek keagamaan seperti inilah yang sesungguhnya telah menyebabkan Islam dalam berabad-abad lamanya kehilangan spirit religiusnya yang murni, yakni spirit keadilan yang menghubungkan antara keluhuran ajaran dengan kemuliaan praktik-praktik kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Hilangnya spirit keadilan ini juga menyebabkan umat Islam seringkali kesulitan menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh), karena yang sering terjadi justru praktik-praktik kehidupan beragama yang parsial dan terkotak-kotak.
Seperti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, umat Islam seringkali kehilangan daya kritisnya terhadap praktik-praktik ketidakadilan yang dilakukan oleh negara. Energi agama sebagai pembebas, nyaris tidak berfungsi. Rekonstruksi tatanan masyarakat yang berkeadilan kurang menuai hasil yang memuaskan karena agama hanya dipergunakan sebagai 'alat' untuk menumbangkan sebuah kekuatan politik atau rezim, bukan untuk mewujudkan keadilan secara menyeluruh. Ini bisa kita lihat di berbagai darah rawan konflik di Indonesia, sebut saja Aceh dan Ambon dan daerah rawan konflik lainnya.
Para sejarawan menulis, kedatangan Islam khususnya di Indonesia dan umumnya di seluruh belahan dunia adalah untuk merubah kemapanan serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan tereksploitasi (masyarakat lemah). Mereka bahkan menyebut, masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagaian anggota lainnya, yang lemah dan tertindas, tidak dapat disebut sebagai masyarakat Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritual Islam setiap hari.
Pernyataan ini didukung oleh ajaran yang di emban Nabi Muhammad sebagai bentuk pengejawantahan dalam konteks realita sehari-hari menyebutkan bahwa keadilan merupakan ukuran tertinggi suatu masyarakat. Secara tegas al-Qur'an juga menyebutkan bahwa persoalan keadilan tidak bisa dilepaskan dengan persoalan taqwa. Oleh karena itu, arti taqwa dalam Islam bukan hanya semata-mata menjalankan ibadah ritual saja. Tanpa keadilan sosial, tidak akan ada ketaqwaan.
Sayangnya, ajaran Islam yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan kemapanan, begitu Nabi Muhammad meninggal dunia, selama berabad-abad, Islam sarat dengan praktek feodalistik. Dan anehnya, praktek demikian (entah secara sengaja atau tidak) ternyata disokong oleh para ulama. Mereka lebih banyak menulis buku tentang ibadah-ibadah ritual dan menghabiskan waktunya untuk mengupas masalah-masalah furu'iyah dalam syari'at, dan sama sekali mengecilkan arti vital Islam dalam menciptakan keadilan sosial dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas.
Memang, secara komprehensip Islam tidak menyediakan teori-teori ilmiah dan managemen yang detail mengenai penyelesaian problem manusia. Tetapi secara genuine, Islam sangat concern dengan persoalan-persoalan tersebut. Dan disinilah peran manusia untuk menerjemahkan pesan-pesan agama akan menemukan jalan keluar yang sesungguhnya.
Pesan kemanusiaan agama tersebut tidak akan pernah terwujud dalam dunia nyata, jika sang manusia itu sendiri tidak mampu menerjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa? karena agama sesungguhnya hanyalah salah satu diantara uluran tangan Tuhan dalam kerja besar manusia memecahkan problem-problem kehidupannya.
Ungkapan Marx bahwa agama itu candu bagi masyarakat misalnya, harus dipahami bukan semata-mata untuk menyalahkan agama, seperti yang disangka banyak orang, tetapi harus dipahami dalam pengertian bahwa selain tidak membawa perubahan bagi masyarakat, agama dalam konteks tertentu justru sering digunakan untuk melanggengkan kemapanan.
Untuk itu, jika agama ingin dijadikan sebagai alat perubahan, maka manusia harus mampu menerjemahkan agama sebagai 'senjata pamungkas' bagi kelompok masyarakat yang tertindas dan tereksploitasi. Agama harus diformulasikan dalam teologi pembebasan yang dapat memainkan peran sentral sebagai praksis revolusioner. Agama tidak boleh hanya berhenti pada upacara-upacara ritual belaka, tetapi juga harus menyelusup masuk untuk membela problem riil yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Agama bukan hanya berbicara tentang teks, tetapi juga berinteraksi dengan konteks masyarakatnya.
Sisi lain keberadaan Pesantren tidak bisa dilepaskan dari pengembangan tradisi memperdalam ilmu keislaman di Nusantara saja, sosok Kiai yang jadi panutan para santrinya selalu menjadi magnet bagi zamannya. Posisi Kiai dari sejak zaman penjajahan sampai sekarang masih harus tetap berada di tengah-tengah umat untuk mengawal peradaban.
Setidaknya dalam analisis saya ada beberapa harapan masyarakat Indonesia dari banyaknya tuntutan yang mereka lakukan terrhadap keberadaan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Pertama, normalisasi proses demokrasi. Kedua, peningkatan kesejahtraan ekonomi rakyat secara keseluruhan. Ketiga, pengembangan dan pemberdayaan kaum intelektualitas dan profesional di segala bidang. Keempat melakukan hubungan internasional yang lebih progres untuk kemajuan negara. Kelima sosialisasi pendidikan ketatanegaraan. Semua aspek tersebut apabila mampu dilaksanakan oleh pengemban amanah kepemimpinan, tentunya harapan untuk membangun keadaban demokratis dapat segera terwujud.
Galamedia jumat, 10 februari 2012
Oleh : Wahyu Iryana
(Penulis, Staf Pengajar Fakultas Adhum dan Saintek UIN Bandung)**