GELIAT Kota Bandung sebagai Kota Pariwisata benar-benar sangat dirasakan hampir seluruh masyarakat kota. Walaupun ada sebagian masyarakat yang tidak merasakan manfaat dari kota pariwisata ini.
Banyak hal yang berubah pada wajah Kota Bandung, setelah kota ini semakin banyak dikunjungi para wisatawan domestik maupun mancanegara. Infrastruktur pun serta fasilitas semakin bertambah, walaupun banyak yang masih kurang.
Kedatangan para wisatawan ini, sedikit demi sedikit banyak mempengaruhi sejumlah nama daerah. Perubahan ini pun setidaknya bisa memengaruhi jati diri daerah itu. Bahkan, daerah yang sebelumnya bukan kawasan komersil menjadi kawasan komersial. Tidak hanya itu, para pemilik toko berlomba-lomba mengubah nama toko mereka dari bahasa Indonesia menjadi bahasa asing.
Contohnya, sepanjang Jalan Dago hampir 75 persen toko yang ada di Dago menggunakan nama asing. Tentunya hal ini tidak hanya di kawasan Dago saja. Kawasan yang menjadi daerah komersial, terutama yang terdapat pusat perbelanjaan (mal) dan apartemen, penamaan menggunakan nama asing menjadi suatu keharusan. Benarkah? Akibatnya, masyarakat sekitar pun menjadi terasing di daerahnya. Mereka menjadi tamu dan bukan menjadi tuan rumah di negerinya. Yang jadi tuan rumah mereka yang punya uang dan mereka yang mendapat jaminan usaha dari pemerintah.Pemerintah Kota Bandung seolah tutup mata dengan masalah ini. Yang penting ada uang, pengusaha jadi tuan.
Saya jadi ingat pada zaman Orde Baru ketika negara dipimpin Soeharto (Pak Harto). Pak Harto dengan tegas menginstruksikan, nama-nama yang berbau asing harus diganti menggunakan nama bahasa Indonesia. Bukan hanya pada nama seseorang, tetapi nama perusahaan, toko, maupun lainnya harus menggunakan nama Indonesia. Intinya, Pak Harto ingin mengindonesiakan apapun yang berbau asing, agar bahasa Indonesia semakin diakui di dunia internasional.
Tapi sekarang? Semua orang ingin kembali menggunakan bahasa asing. Jangankan nama perusahaan, toko maupu lainnya, nama seseorang pun banyak menggunakan bahasa asing. Keren katanya!
Bahkan sejumlah perguruan tinggi, hotel dan sebagainya merubah nama Indonesia diasingkan menggunakan bahasa asing, contoh Universitas Pendidikan Indonesia diubah menjadi The Educational University of Indonesia dan banyak lagi. Di Kota Bandung, nama-nama asing banyak ditemui baik di toko, mal, hotel, rumah sakit, distro, dan sebagainya. Ini menandakan tidak percaya dirinya bangsa dan masyarakat Indonesia pada nama dan bahasa Indonesia. Mereka seolah malu menggunakan nama dan bahasa Indonesia, padahal mereka hidup di negara Indonesia. Sementara bahasa Indonesia sudah dipelajari dihampir 40 negara di dunia, dan tengah diupayakan menjadi bahasa ASEAN (bahasa internasional).
Salah satu tempat umum yang konsisten menggunakan bahasa Indonesia di Indonesia, adalah bandara (bandar udara) yang dikelola PT Angkasa Pura. Setiap ruangan dan penunjuk jalan menggunakan nama berbahasa Indonesia dengan huruf besar dan jelas, sedangkan bagian bawahnya bahasa asing. Selama itu tak ada komplain dari wisatawan penumpang pesawat dari luar negeri mengenai hal itu.
Tidak percaya dirinya pada bahasa Indonesia dan nama Indonesia berdampak pada bahasa daerah. Bahasa ibu ini kian hari kian ditinggalkan oleh penuturnya. Jangankan di ruang publik, di sekolah maupun di rumah, bahasa ibu ini sudah jarang diajarkan dan semakin hari semakin berkurang penuturnya. Penggunaan bahasa dan nama asing pun semakin marak di sekolah maupun di keluarga. Jika demikian salah siapa?
Jangan salahkan jika kedepan untuk belajar bahasa Indonesia dan bahasa daerah kita harus berangkat ke luar negeri. Sebab mereka sangat mengerti dan paham, untuk menjajah bangsa Indonesia cukup mempajari bahasa dan budayanya, kemudian dikembangkan di negaranya. Ini yang luput dari perhatian kita maupun pemerintah kita. Tah mun geus kitu rek kumaha ketakna?
senin, 30 januari 2012
Oleh : KIKI KURNIA
(Wartawan Galamedia)**
Banyak hal yang berubah pada wajah Kota Bandung, setelah kota ini semakin banyak dikunjungi para wisatawan domestik maupun mancanegara. Infrastruktur pun serta fasilitas semakin bertambah, walaupun banyak yang masih kurang.
Kedatangan para wisatawan ini, sedikit demi sedikit banyak mempengaruhi sejumlah nama daerah. Perubahan ini pun setidaknya bisa memengaruhi jati diri daerah itu. Bahkan, daerah yang sebelumnya bukan kawasan komersil menjadi kawasan komersial. Tidak hanya itu, para pemilik toko berlomba-lomba mengubah nama toko mereka dari bahasa Indonesia menjadi bahasa asing.
Contohnya, sepanjang Jalan Dago hampir 75 persen toko yang ada di Dago menggunakan nama asing. Tentunya hal ini tidak hanya di kawasan Dago saja. Kawasan yang menjadi daerah komersial, terutama yang terdapat pusat perbelanjaan (mal) dan apartemen, penamaan menggunakan nama asing menjadi suatu keharusan. Benarkah? Akibatnya, masyarakat sekitar pun menjadi terasing di daerahnya. Mereka menjadi tamu dan bukan menjadi tuan rumah di negerinya. Yang jadi tuan rumah mereka yang punya uang dan mereka yang mendapat jaminan usaha dari pemerintah.Pemerintah Kota Bandung seolah tutup mata dengan masalah ini. Yang penting ada uang, pengusaha jadi tuan.
Saya jadi ingat pada zaman Orde Baru ketika negara dipimpin Soeharto (Pak Harto). Pak Harto dengan tegas menginstruksikan, nama-nama yang berbau asing harus diganti menggunakan nama bahasa Indonesia. Bukan hanya pada nama seseorang, tetapi nama perusahaan, toko, maupun lainnya harus menggunakan nama Indonesia. Intinya, Pak Harto ingin mengindonesiakan apapun yang berbau asing, agar bahasa Indonesia semakin diakui di dunia internasional.
Tapi sekarang? Semua orang ingin kembali menggunakan bahasa asing. Jangankan nama perusahaan, toko maupu lainnya, nama seseorang pun banyak menggunakan bahasa asing. Keren katanya!
Bahkan sejumlah perguruan tinggi, hotel dan sebagainya merubah nama Indonesia diasingkan menggunakan bahasa asing, contoh Universitas Pendidikan Indonesia diubah menjadi The Educational University of Indonesia dan banyak lagi. Di Kota Bandung, nama-nama asing banyak ditemui baik di toko, mal, hotel, rumah sakit, distro, dan sebagainya. Ini menandakan tidak percaya dirinya bangsa dan masyarakat Indonesia pada nama dan bahasa Indonesia. Mereka seolah malu menggunakan nama dan bahasa Indonesia, padahal mereka hidup di negara Indonesia. Sementara bahasa Indonesia sudah dipelajari dihampir 40 negara di dunia, dan tengah diupayakan menjadi bahasa ASEAN (bahasa internasional).
Salah satu tempat umum yang konsisten menggunakan bahasa Indonesia di Indonesia, adalah bandara (bandar udara) yang dikelola PT Angkasa Pura. Setiap ruangan dan penunjuk jalan menggunakan nama berbahasa Indonesia dengan huruf besar dan jelas, sedangkan bagian bawahnya bahasa asing. Selama itu tak ada komplain dari wisatawan penumpang pesawat dari luar negeri mengenai hal itu.
Tidak percaya dirinya pada bahasa Indonesia dan nama Indonesia berdampak pada bahasa daerah. Bahasa ibu ini kian hari kian ditinggalkan oleh penuturnya. Jangankan di ruang publik, di sekolah maupun di rumah, bahasa ibu ini sudah jarang diajarkan dan semakin hari semakin berkurang penuturnya. Penggunaan bahasa dan nama asing pun semakin marak di sekolah maupun di keluarga. Jika demikian salah siapa?
Jangan salahkan jika kedepan untuk belajar bahasa Indonesia dan bahasa daerah kita harus berangkat ke luar negeri. Sebab mereka sangat mengerti dan paham, untuk menjajah bangsa Indonesia cukup mempajari bahasa dan budayanya, kemudian dikembangkan di negaranya. Ini yang luput dari perhatian kita maupun pemerintah kita. Tah mun geus kitu rek kumaha ketakna?
senin, 30 januari 2012
Oleh : KIKI KURNIA
(Wartawan Galamedia)**