MELALUI media facebook yang diprakarsai Nazarudin Azhar, sastrawan Sunda sekarang sedang bersemangat menulis fiksimini. Sebut di antaranya Godi Suwarna, Acep Zamzam Noor, Hadi AKS, Taufik Faturahman, Tatang Soemarsono, Etty R.S., Cecep Burdansyah, Soni Farid Maluana, Dadan Sutisna, Darpan, Deden A. Aziz, Nana Sukmana, Dipa Galuh Purba, Oom, Sarabunis, Lugiana, dan Toni Lesmana. Atau yang sebelumnya dikenal sangat concern terhadap kesundaan semisal Kang Ganjar Kurnia, Ahda, Gibson, Mang Jamal, Asep Ruhimat, Tisna Sanjaya, Kyai Matdon, Ahmad Fauzi Imran, Is Tuning, Rudi, Iwan. Masih banyak nama lainnya yang tidak mungkin disebut satu persatu dengan kualitas terjaga, imajinasi auratik dan nalar yang menjulang.
Dalam sastra Indonesia wacana fiksimini sudah ramai diperbincangkan terutama sejak Agus Noor menerbitkan "Anjing & Fiksi Mini Lainnya" atau "35 Cerita untuk Seorang Wanita" (2009) lengkap dengan kerangka epistemologi yang dibangunnya. Disimpulkannya karakter fiksimini itu: (1) menceritakan seluas mungkin dunia, seminim mungkin kata; (2) laksana dalam tinju, fiksimini serupa satu pukulan telak; (3) jika cerpen menata kepingan dunia, maka fiksimini mengganggunya; (4), fiksimini yang kuat ibarat granat yang meledak dalam kepala (5) ia bisa berupa kisah sederhana, tetapi selalu terasa ada yang tidak sederhana di dalamnya. Tandi Skober, budayawan dari Indaramyu, mengibaratkannya dengan "orgasme yang tuntas" walaupun tidak harus melalui pemanasan terlebih dahulu.
Bahkan disebut-sebut juga fiksimini memiliki tautan geneologisnya bukan saja sejak 1920 ketika Hemingway menuliskan fiksi mininya itu "For Sale: Baby Shoes", "Never Worn", beberapa tulisan Kawabata, Kafka, Chekov, O Henry, dan Calvino, malah jauh ke belakang dalam fabel-fabel pendeknya Aesop (620-560 SM) atau kisah-kisah sufi dari Timur tengah.
Anekdot-anekdot Nasrudin Khoja seperti dapat ditelusuri dalam beberapa ontologinya yang ditulis Almaqrizi, Alqalqasyandi, Annuwairi, Alqazwini, Addumairi, Alfaraj Alisfahani, Aljahiz, Alashma'i, Abdullah ibn Almuqaffa, Alashri, Ibn Abdu Rabbahi, atau kitab "Natsr Addurar" dan kitab "Majma Alamtsal", juga berbicara dalam nafas yang sama.
Anekdot-anekdot ini jangan dimaknai sebatas humor ringan tapi memiliki interaksi simbolik yang luas. Objek pembicaraannya berkelindan dengan persoalan sosial, politik, ekonomi termasuk tentu mistisisme. Kata Idris Shah dalam "The Sufies," "Humor-humor yang dapat mengantarkan seseorang menemukan jatidirnya, pulang pergi antara dunia fisik dan alam metafisik dalam kesadaran yang utuh". Makna pun menjadi serupa jigsaw puzzles, baik dalam tataran paradigmatis (hubungan tingkatan bahasa) maupun sintagmatis (gabungan kata).
Dalam Tradisi Sunda
Inilah yang sering dipadungdengkeun, termasuk tempo hari di UNPAD. Bukan hanya namanya yang dipersoalkan namun histopriografinya. Ada yang menyebut fiksi kilat, sudden fiction atau micro fiction meski akhirnya lebih populer menggunakan fiksimini. Dari sisi historiografinya, ada yang menisbahkannya serupa dengan ruang-ruang humor dalam majalah Sunda. Ini sebanding lurus dengan dosis syahwat orang Sunda yang suka banyol sehingga kalau dimaknai seperti ini maka seluruh komunikasi orang Sunda memiliki tendensi ke arah fiksimini. Tentu ini kesimpulan simplistis sebab tidak semua fiksimini berisi humor.
Ada yang masih terus mencari relasi akademisnya. Bagi kelompok ini apa pun genre sastra harus memenuhi unsur epistemologi, aksiologi, dan ontologisnya. Baru dianggap sahih sebagai ilmu. Jika tidak? Hanya sebatas pengetahuan saja. Khas orang timur yang infrastruktur kognitifnya lama dijajah: merasa terpuaskan dahaga nalarnya kalau ada rujukan teorinya dari barat, tipikal politik sastra postkolonial. Ada puisi pendek, dengan cepat mengatakan oh di Jepang juga ada yang model seperti ini, Haiku. Ada puisi jeprut, oh di Barat juga sudah lama berkembang; ada sastra religi, terus dicarikan kebenaran korespondensinya dengan atmosfer mistik yang sama di belahan dunia lain.
Di samping ada juga yang "tidak menganggapnya" karena dipandang tidak memenuhi seluruh konstruski estetika sastra. Karena semula mempunyai mazhab bahwa estetika itu bersifat universal, bukan partikular. Berasumsi bahwa yang baru adalah residu, dan yang lama harus dipiara. Yang baru sebagai bidah, yang lama adalah sunnah. Kata kawan saya dari pesantren, faham seperti ini di NU sudah lama ditinggalkan dengan alasan kaidah Almuhafadhah 'alal qadimish sholih wal akhdu 'alal-jadidil ashlah (memelilaihara tradisi yang baik, dan mengambil inovasi yang lebih baik). Kalau begitu, fiksimini itu ideologinya NU banget.
Tipologi fiksimini
Kalau dilihat seluruh tulisan fiksimini yang dalam pengakuan Nazarudin Azhar dalam sebulan saja dari "peluncurannya" sudah menjaring 348 anggota , sekarang sudah mencapai ribuan kata Dadan Sutisna yang telah membuatkannya dalam bentuk web. Maka saya dapat memilahnya dalam empat tipologi.
Pertama, berisi bobodoran bahkan ada yang copy-paste baik dari majalah Sunda atau dari humor Indonesia yang sudah diadaptasi sebelumnya karena mungkin beranggapan bahwa cerita itu sudah menjadi "folklore" yang bisa diambil siapapun. Tentu menulis humor genuine itu tidak gampang, dan lebih tidak gampang lagi humor yang "serius". Humor yang tidak merupakan reflika harfiah dari relitas peristiwa empiric tapi disublimkan, humor yang membuat --meminjam Kang Acep-- "bulu kuduk kita berdiri".
Kedua, tendensi melakukan kritik terhadap fenomena sosial-budaya yang berlangsung di sekitar kita. Kritik tentu vitamin, namun jika kritik itu dilakukan dengan telanjang maka akan kalah bersaing dengan headline koran harian atau majalah berita mingguan yang tidak kalah galak tiap hari mewartakan kebobrokan. Dalam konteks ini kritik fisikmini itu seumpama watak "rok mini", mendayuh antara dua karang: rasa penasaran dan tuntunan untuk memberikan masukan agar tetap dalam balutan kewajaran.
Ketiga, bermuatan cawokah dan lebih menjurus pada area "rumah tangga" khas "masyarakat huma." Cawokah berbeda dengan jorang. Yang pertama memberikan pencerahan, yang kedua membikin kita "tegang" dan bisa jadi mengakibatkan diberhentikan dari status anggota dewan tak ubahnya yang menimpa salah satu wakil rakyat ketika sidang paripurna (diplesetkan pariporno) kebetulan dari daerah pemilihan Ciamis, kampung halamannya penggagas fiksimini Sunda.
Dahulu orang Yunani, menulis dan membicarakan seks cawokah sama pentingnya dengan mendiskusikan politik, sastra dan filsafat. Fiksimini cawokah, meminjam Baudrillard, berpusat sebagai bahan baku (raw material), sistem pertukaran tanda (sign exchange) dalam rangka mengembangkan nilai tanda (sign value) menuju manusia yang sehat jiwa dan raganya.
Keempat, kritik terhadap fenomena keberagamaan yang dianggap masih berkutat pada persoalan formalitas dan atau memperhadapkannya dengan tradisi lokal. Semacam fiksimini dengan tendensi teo-kultural. Seumpama hikayat menyingkirnya "bedug" tergerus pengeras suara dalam fiksi mini yang dibuat Godi yang kalau dalam novel memerlukan ratusan lembar seperti "Robohnya Surau Kami" atau dalam pencarian iman yang rusuh menghajatkan berlembar-lembarnya Akhdiat membuat Atheis.
Nana Sukmana juga dengan menarik menulis fiksimini pola ini namun lebih "ke dalam", realitas keagamaan ditarik dalam sebuah pembacaan (qiroat) atas fakta sosial yang acapkali jatuh dalam --istilah HHM-- kenca kaiblisan namun batin selalu merindu terdekap katuhu kamalaikatan. Kita simak:
"Geura gugah!" Bayati ririh ngageuing. Batin ngan ukur ngulisik. Pikiran beunta meueusan. Samar-samar aya imut. Leleb. Anteb. Ngajak reureuh dina lahunan Tresna, dina liuh-liuh Heman nu mangkak na saban mangsa. "Geura gugah!" Gumalindeng lagu Shoba. Hate anggur morongkol, pikiran kalahka tibra. Neruskeun sakotret ngimpi nu bieu paragat ku gentra Quflah. Lelembutan mangprung beuki jauh, najan lengkah geus ramohpoy. "Geura gugah, Bageur! Geura gugah!" Nahawand carindakdak, bari ngageubig-geubig batin nu angger teu lilir-lilir. Ngipyak ngigelan durja. Ngengklak dina tarahalna mangsa. "Jungjunaaan!" Bayati Husaini jerit jempling nyeungceurikan raga. Ngajepat dirurub kebat.
Dari keempat tipologi (takdir tipologi adalah reduksi!) dibangun dalam tiga model: realis, surealis , atau kombinasi keduanya. Mengangkat tema fisik ada yang metafisik atau berada dalam dunia panca tengah. Tema-tema seperti ini bagi orang Sunda bukanlah hal yang luar biasa selaras dengan kosmologi kala-nya yang mengenal sangkala (alam dunia), buana niskala (dunia gaib), dan buana jatiniskala (kemahagaiban sejati).
Dilihat dari karakter maknanya, ada yang mudah diraba, banyak juga yang membiarkan pembaca menerka. Bahkan di tangan Deden A. Aziz fenomena syair Ayu Ting Ting menjadi fiksimini dengan diberi muatan makna safar kultural:
"Ke mana ke mana ke mana, kuharus mencari ke mana..." Sora Ayu Tingting alewoh jeroeun sirahna. Leumpang sakaparan-paran. Apay-apayan. Mapay-mapay beuteung beurang. Neangan alamat. Bari leungeun nyekel pageuh keresek dieusi sendal capit, manehna tatanya taya reureuhna. Nanyakeun nu geus mangtaun-taun lunta taya iberna. "Di mana di mana di mana, tinggalnya sekarang di mana..." Gero Ayu Tingting beuki mijah dina dadana. Indit ngiciprit. Ngagidig. Ngagedig. Mipir-mipir birit peuting. Bari panon neuteup keukeuh unggal jalan nu kasaba, manehna talete taya kacape nalengteng nu geus mangalam-alam indit taya mulangna. Ka mana? "Nung, Engkang angkat heula ka payun ngagaleuh roko. Bade nitip naon?" cenah. Ti harita, nepika ayeuna, teu beja teu carita. "Ke sana kemari membawa alamat. Namun yang kutemui bukan dirinya, sayaaaang..." Ayu Tingting ngocoblak sorangan.
Secara sosiologis fiksimini juga adalah ekspresi dari elan vital zaman yang meminta kita untuk melipat berbagai hal. Dunia menjadi mini (globalisasi), format koran mengecil (rerubrikasi), obrolan dipadatkan (SMS), malah nikah juga bisa dibatasi waktunya (mut'ah) atau malah ada yang hanya semalam, dan lain sebagainya.
Diksi mini dalam konteks fiksi tentu pada gilirannya menyisakan dua kemungkinan. Pertama, gagasan yang direduksi dan supaya mendapat pahala tersebutlah kata silaturahmi. Dalam politik kebahasaan sebut saja sebagai siasat melestarikan bahasa Sunda yang konon sedang sakaratul maut.
Kedua, pemadatan gagasan dan penghayatan alam sastrawi yang diikhtisarkan dengan ujung cerita yang membuat kita "terjengkang" dan atau mempertanyakan kembali hal ihwal termasuk mempertanyakan kiblat diri yang boleh jadi kerap bertindak anomali. Fiksimini yang kedua memberikan ruang bagi pembaca seluas-luasnya menyelesaikan ceritanya sendiri kemana pun arahnya diselaraskan dengan konteks sosial dan psikologi sang pembaca. Maknanya menjadi heterogen diacukan kepada imajinasi pembaca.
Pilihannya hanya dua: fiksimini atau mini mini juga fiksi! Dan cakrawala kebudayaan Sunda memungkinkan untuk mewadahi keduanya. Selamat merayakan fiksimini. (Penulis, Pemerhati Kebudayaan Sunda/Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya)
Galamedia kamis, 26 januari 2012
Oleh : ASEP SALAHUDIN
Dalam sastra Indonesia wacana fiksimini sudah ramai diperbincangkan terutama sejak Agus Noor menerbitkan "Anjing & Fiksi Mini Lainnya" atau "35 Cerita untuk Seorang Wanita" (2009) lengkap dengan kerangka epistemologi yang dibangunnya. Disimpulkannya karakter fiksimini itu: (1) menceritakan seluas mungkin dunia, seminim mungkin kata; (2) laksana dalam tinju, fiksimini serupa satu pukulan telak; (3) jika cerpen menata kepingan dunia, maka fiksimini mengganggunya; (4), fiksimini yang kuat ibarat granat yang meledak dalam kepala (5) ia bisa berupa kisah sederhana, tetapi selalu terasa ada yang tidak sederhana di dalamnya. Tandi Skober, budayawan dari Indaramyu, mengibaratkannya dengan "orgasme yang tuntas" walaupun tidak harus melalui pemanasan terlebih dahulu.
Bahkan disebut-sebut juga fiksimini memiliki tautan geneologisnya bukan saja sejak 1920 ketika Hemingway menuliskan fiksi mininya itu "For Sale: Baby Shoes", "Never Worn", beberapa tulisan Kawabata, Kafka, Chekov, O Henry, dan Calvino, malah jauh ke belakang dalam fabel-fabel pendeknya Aesop (620-560 SM) atau kisah-kisah sufi dari Timur tengah.
Anekdot-anekdot Nasrudin Khoja seperti dapat ditelusuri dalam beberapa ontologinya yang ditulis Almaqrizi, Alqalqasyandi, Annuwairi, Alqazwini, Addumairi, Alfaraj Alisfahani, Aljahiz, Alashma'i, Abdullah ibn Almuqaffa, Alashri, Ibn Abdu Rabbahi, atau kitab "Natsr Addurar" dan kitab "Majma Alamtsal", juga berbicara dalam nafas yang sama.
Anekdot-anekdot ini jangan dimaknai sebatas humor ringan tapi memiliki interaksi simbolik yang luas. Objek pembicaraannya berkelindan dengan persoalan sosial, politik, ekonomi termasuk tentu mistisisme. Kata Idris Shah dalam "The Sufies," "Humor-humor yang dapat mengantarkan seseorang menemukan jatidirnya, pulang pergi antara dunia fisik dan alam metafisik dalam kesadaran yang utuh". Makna pun menjadi serupa jigsaw puzzles, baik dalam tataran paradigmatis (hubungan tingkatan bahasa) maupun sintagmatis (gabungan kata).
Dalam Tradisi Sunda
Inilah yang sering dipadungdengkeun, termasuk tempo hari di UNPAD. Bukan hanya namanya yang dipersoalkan namun histopriografinya. Ada yang menyebut fiksi kilat, sudden fiction atau micro fiction meski akhirnya lebih populer menggunakan fiksimini. Dari sisi historiografinya, ada yang menisbahkannya serupa dengan ruang-ruang humor dalam majalah Sunda. Ini sebanding lurus dengan dosis syahwat orang Sunda yang suka banyol sehingga kalau dimaknai seperti ini maka seluruh komunikasi orang Sunda memiliki tendensi ke arah fiksimini. Tentu ini kesimpulan simplistis sebab tidak semua fiksimini berisi humor.
Ada yang masih terus mencari relasi akademisnya. Bagi kelompok ini apa pun genre sastra harus memenuhi unsur epistemologi, aksiologi, dan ontologisnya. Baru dianggap sahih sebagai ilmu. Jika tidak? Hanya sebatas pengetahuan saja. Khas orang timur yang infrastruktur kognitifnya lama dijajah: merasa terpuaskan dahaga nalarnya kalau ada rujukan teorinya dari barat, tipikal politik sastra postkolonial. Ada puisi pendek, dengan cepat mengatakan oh di Jepang juga ada yang model seperti ini, Haiku. Ada puisi jeprut, oh di Barat juga sudah lama berkembang; ada sastra religi, terus dicarikan kebenaran korespondensinya dengan atmosfer mistik yang sama di belahan dunia lain.
Di samping ada juga yang "tidak menganggapnya" karena dipandang tidak memenuhi seluruh konstruski estetika sastra. Karena semula mempunyai mazhab bahwa estetika itu bersifat universal, bukan partikular. Berasumsi bahwa yang baru adalah residu, dan yang lama harus dipiara. Yang baru sebagai bidah, yang lama adalah sunnah. Kata kawan saya dari pesantren, faham seperti ini di NU sudah lama ditinggalkan dengan alasan kaidah Almuhafadhah 'alal qadimish sholih wal akhdu 'alal-jadidil ashlah (memelilaihara tradisi yang baik, dan mengambil inovasi yang lebih baik). Kalau begitu, fiksimini itu ideologinya NU banget.
Tipologi fiksimini
Kalau dilihat seluruh tulisan fiksimini yang dalam pengakuan Nazarudin Azhar dalam sebulan saja dari "peluncurannya" sudah menjaring 348 anggota , sekarang sudah mencapai ribuan kata Dadan Sutisna yang telah membuatkannya dalam bentuk web. Maka saya dapat memilahnya dalam empat tipologi.
Pertama, berisi bobodoran bahkan ada yang copy-paste baik dari majalah Sunda atau dari humor Indonesia yang sudah diadaptasi sebelumnya karena mungkin beranggapan bahwa cerita itu sudah menjadi "folklore" yang bisa diambil siapapun. Tentu menulis humor genuine itu tidak gampang, dan lebih tidak gampang lagi humor yang "serius". Humor yang tidak merupakan reflika harfiah dari relitas peristiwa empiric tapi disublimkan, humor yang membuat --meminjam Kang Acep-- "bulu kuduk kita berdiri".
Kedua, tendensi melakukan kritik terhadap fenomena sosial-budaya yang berlangsung di sekitar kita. Kritik tentu vitamin, namun jika kritik itu dilakukan dengan telanjang maka akan kalah bersaing dengan headline koran harian atau majalah berita mingguan yang tidak kalah galak tiap hari mewartakan kebobrokan. Dalam konteks ini kritik fisikmini itu seumpama watak "rok mini", mendayuh antara dua karang: rasa penasaran dan tuntunan untuk memberikan masukan agar tetap dalam balutan kewajaran.
Ketiga, bermuatan cawokah dan lebih menjurus pada area "rumah tangga" khas "masyarakat huma." Cawokah berbeda dengan jorang. Yang pertama memberikan pencerahan, yang kedua membikin kita "tegang" dan bisa jadi mengakibatkan diberhentikan dari status anggota dewan tak ubahnya yang menimpa salah satu wakil rakyat ketika sidang paripurna (diplesetkan pariporno) kebetulan dari daerah pemilihan Ciamis, kampung halamannya penggagas fiksimini Sunda.
Dahulu orang Yunani, menulis dan membicarakan seks cawokah sama pentingnya dengan mendiskusikan politik, sastra dan filsafat. Fiksimini cawokah, meminjam Baudrillard, berpusat sebagai bahan baku (raw material), sistem pertukaran tanda (sign exchange) dalam rangka mengembangkan nilai tanda (sign value) menuju manusia yang sehat jiwa dan raganya.
Keempat, kritik terhadap fenomena keberagamaan yang dianggap masih berkutat pada persoalan formalitas dan atau memperhadapkannya dengan tradisi lokal. Semacam fiksimini dengan tendensi teo-kultural. Seumpama hikayat menyingkirnya "bedug" tergerus pengeras suara dalam fiksi mini yang dibuat Godi yang kalau dalam novel memerlukan ratusan lembar seperti "Robohnya Surau Kami" atau dalam pencarian iman yang rusuh menghajatkan berlembar-lembarnya Akhdiat membuat Atheis.
Nana Sukmana juga dengan menarik menulis fiksimini pola ini namun lebih "ke dalam", realitas keagamaan ditarik dalam sebuah pembacaan (qiroat) atas fakta sosial yang acapkali jatuh dalam --istilah HHM-- kenca kaiblisan namun batin selalu merindu terdekap katuhu kamalaikatan. Kita simak:
"Geura gugah!" Bayati ririh ngageuing. Batin ngan ukur ngulisik. Pikiran beunta meueusan. Samar-samar aya imut. Leleb. Anteb. Ngajak reureuh dina lahunan Tresna, dina liuh-liuh Heman nu mangkak na saban mangsa. "Geura gugah!" Gumalindeng lagu Shoba. Hate anggur morongkol, pikiran kalahka tibra. Neruskeun sakotret ngimpi nu bieu paragat ku gentra Quflah. Lelembutan mangprung beuki jauh, najan lengkah geus ramohpoy. "Geura gugah, Bageur! Geura gugah!" Nahawand carindakdak, bari ngageubig-geubig batin nu angger teu lilir-lilir. Ngipyak ngigelan durja. Ngengklak dina tarahalna mangsa. "Jungjunaaan!" Bayati Husaini jerit jempling nyeungceurikan raga. Ngajepat dirurub kebat.
Dari keempat tipologi (takdir tipologi adalah reduksi!) dibangun dalam tiga model: realis, surealis , atau kombinasi keduanya. Mengangkat tema fisik ada yang metafisik atau berada dalam dunia panca tengah. Tema-tema seperti ini bagi orang Sunda bukanlah hal yang luar biasa selaras dengan kosmologi kala-nya yang mengenal sangkala (alam dunia), buana niskala (dunia gaib), dan buana jatiniskala (kemahagaiban sejati).
Dilihat dari karakter maknanya, ada yang mudah diraba, banyak juga yang membiarkan pembaca menerka. Bahkan di tangan Deden A. Aziz fenomena syair Ayu Ting Ting menjadi fiksimini dengan diberi muatan makna safar kultural:
"Ke mana ke mana ke mana, kuharus mencari ke mana..." Sora Ayu Tingting alewoh jeroeun sirahna. Leumpang sakaparan-paran. Apay-apayan. Mapay-mapay beuteung beurang. Neangan alamat. Bari leungeun nyekel pageuh keresek dieusi sendal capit, manehna tatanya taya reureuhna. Nanyakeun nu geus mangtaun-taun lunta taya iberna. "Di mana di mana di mana, tinggalnya sekarang di mana..." Gero Ayu Tingting beuki mijah dina dadana. Indit ngiciprit. Ngagidig. Ngagedig. Mipir-mipir birit peuting. Bari panon neuteup keukeuh unggal jalan nu kasaba, manehna talete taya kacape nalengteng nu geus mangalam-alam indit taya mulangna. Ka mana? "Nung, Engkang angkat heula ka payun ngagaleuh roko. Bade nitip naon?" cenah. Ti harita, nepika ayeuna, teu beja teu carita. "Ke sana kemari membawa alamat. Namun yang kutemui bukan dirinya, sayaaaang..." Ayu Tingting ngocoblak sorangan.
Secara sosiologis fiksimini juga adalah ekspresi dari elan vital zaman yang meminta kita untuk melipat berbagai hal. Dunia menjadi mini (globalisasi), format koran mengecil (rerubrikasi), obrolan dipadatkan (SMS), malah nikah juga bisa dibatasi waktunya (mut'ah) atau malah ada yang hanya semalam, dan lain sebagainya.
Diksi mini dalam konteks fiksi tentu pada gilirannya menyisakan dua kemungkinan. Pertama, gagasan yang direduksi dan supaya mendapat pahala tersebutlah kata silaturahmi. Dalam politik kebahasaan sebut saja sebagai siasat melestarikan bahasa Sunda yang konon sedang sakaratul maut.
Kedua, pemadatan gagasan dan penghayatan alam sastrawi yang diikhtisarkan dengan ujung cerita yang membuat kita "terjengkang" dan atau mempertanyakan kembali hal ihwal termasuk mempertanyakan kiblat diri yang boleh jadi kerap bertindak anomali. Fiksimini yang kedua memberikan ruang bagi pembaca seluas-luasnya menyelesaikan ceritanya sendiri kemana pun arahnya diselaraskan dengan konteks sosial dan psikologi sang pembaca. Maknanya menjadi heterogen diacukan kepada imajinasi pembaca.
Pilihannya hanya dua: fiksimini atau mini mini juga fiksi! Dan cakrawala kebudayaan Sunda memungkinkan untuk mewadahi keduanya. Selamat merayakan fiksimini. (Penulis, Pemerhati Kebudayaan Sunda/Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya)
Galamedia kamis, 26 januari 2012
Oleh : ASEP SALAHUDIN