KOTA Bandung dalam beberapa tahun ini dikenal sebagai daerah tujuan wisata. Ribuan bahkan sampai puluhan ribu, wisatawan lokal dan asing datang ke Bandung hanya untuk menghambur-hamburkan uang di kota yang dikenal Parijs van Java ini.
Keberadaan factory outlet (FO) dan aneka kuliner khasnya yang menjadi daya tarik para wisatawan datang ke Bandung. Bandung pun dikenal sebagai pusat mode dan kiblat mode Indonesia setelah munculnya pusat jeans dan FO hingga sekarang.
Salah satu daerah yang menjadi tujuan wisatawan lokal dan asing adalah Jalan Cihampelas yang sejak era tahun 1990-an dikenal sebagai pusat pakaian dan celana jeans. Tak heran di hampir sepanjanh Jalan Cihampelas bermunculan toko yang menjual aneka pakaian dan celana terbuat dari kain jeans dengan harga yang terjangkau. Belakangan di Jalan Cihampelas pun muncul FO-FO yang menjual aneka pakaian dan celana dengan model terbaru.
Model yang terbaru dan harga yang murah menjadikan Jalan Cihampelas sebagai buruan pencinta mode yang murah. Hampir setiap hari, Jalan Cihampelas dipenuhi penggila mode. Bahkan pada week end dan hari libur nasional maupun liburan sekolah, jalan yang dulunya dipenuhi pepohonan ini menjadi sesak. Kemacetan tak terhindarkan.
Dipenuhinya Jalan Cihampelas oleh para wisatawan, ternyata tidak cukup untuk membuka mata pemerintah dan pengusaha. Jika kita berjalan-jalan dan belanja di Jalan Cihampelas dipastikan tidak akan menemui fasilitas umum maupun sosial, seperti toilet wisata, tempat parkir, tempat istirahat, tempat ibadah dan sebagainya. Selain itu, tidak adanya trotoar untuk pejalan kaki menjadikan kawasan Cihampelas ini kumuh dan tak beraturan. Jika dilihat ini merupakan cerminan pimpinan Kota yang atak beraturan dan senang hidup kumuh.
Tidak hanya di Jalan Cihampelas, tetapi di semua tempat yang dijadikan pusat perbelanjaan di Kota Bandung, seperti di Jalan H Juanda (Dago), Jalan Merdeka, Jalan Junjunan, Jalan Setiabudhi, Jalan Ahmad Yani, Pasar Baru, dan banyak lagi. Coba perhatikan, apakah sudah ada fasilitas umum maupun fasilitas sosial bagi para wisatawan (pengunjung). Padahal sudah menjadi suatu keharusan, sebuah destinasi wisata harus dilengkapi dengan fasilitas sosial dan fasilitas umum. Semua itu untuk memberikan kenyamanan kepada para wisatawan. Kan ada pepatah "Tamu adalah Raja". Tapi yang didapatkan raja ketika menginjakan kaki di Kota Bandung. Inilah cerminan kota yang tidak ramah.
Padahal dari sektor pariwisata ini, Pemkot Bandung berhasil meraup untung yang sangat besar sekitar 65 persen atau sekitar Rp 165 miliar setiap tahunnya. Bahkan keuntungan itu dijadikan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Bandung terbesar dibandingkan dari sektor lain.
Tapi apa daya, Pemkot Bandung acuh tak acuh terhadap sektor pariwisata terutama untuk penyediaan fasilitas umum maupu fasilitas sosial. Jadi, uang rakyat ini lebih banyak digunakan untuk sektor lain.
Kepedulian Pemkot Bandung pada sektor pariwisata memang sangat kecil. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan para wisatawan akan meninggalkan Kota Bandung. Mereka beranggapan buat apa datang ke Kota Bandung tanpa kenyamanan. Justru yang didapat adalah rasa takut tertabrak kendaraan, takut tidak bisa buang hajat dan kencing karena tidak ada toilet wisata, takut dicopet atau dirampok karena tidak adanya kenyamanan dan keamanan, serta rasa takut lainnya. Apakah hal ini dirasakan oleh pemerintah Kota Bandung? Jawabannya duka teuing, emutan we!
senin, 02 januari 2012
Oleh : KIKI KURNIA
(Wartawan Galamedia)**
Keberadaan factory outlet (FO) dan aneka kuliner khasnya yang menjadi daya tarik para wisatawan datang ke Bandung. Bandung pun dikenal sebagai pusat mode dan kiblat mode Indonesia setelah munculnya pusat jeans dan FO hingga sekarang.
Salah satu daerah yang menjadi tujuan wisatawan lokal dan asing adalah Jalan Cihampelas yang sejak era tahun 1990-an dikenal sebagai pusat pakaian dan celana jeans. Tak heran di hampir sepanjanh Jalan Cihampelas bermunculan toko yang menjual aneka pakaian dan celana terbuat dari kain jeans dengan harga yang terjangkau. Belakangan di Jalan Cihampelas pun muncul FO-FO yang menjual aneka pakaian dan celana dengan model terbaru.
Model yang terbaru dan harga yang murah menjadikan Jalan Cihampelas sebagai buruan pencinta mode yang murah. Hampir setiap hari, Jalan Cihampelas dipenuhi penggila mode. Bahkan pada week end dan hari libur nasional maupun liburan sekolah, jalan yang dulunya dipenuhi pepohonan ini menjadi sesak. Kemacetan tak terhindarkan.
Dipenuhinya Jalan Cihampelas oleh para wisatawan, ternyata tidak cukup untuk membuka mata pemerintah dan pengusaha. Jika kita berjalan-jalan dan belanja di Jalan Cihampelas dipastikan tidak akan menemui fasilitas umum maupun sosial, seperti toilet wisata, tempat parkir, tempat istirahat, tempat ibadah dan sebagainya. Selain itu, tidak adanya trotoar untuk pejalan kaki menjadikan kawasan Cihampelas ini kumuh dan tak beraturan. Jika dilihat ini merupakan cerminan pimpinan Kota yang atak beraturan dan senang hidup kumuh.
Tidak hanya di Jalan Cihampelas, tetapi di semua tempat yang dijadikan pusat perbelanjaan di Kota Bandung, seperti di Jalan H Juanda (Dago), Jalan Merdeka, Jalan Junjunan, Jalan Setiabudhi, Jalan Ahmad Yani, Pasar Baru, dan banyak lagi. Coba perhatikan, apakah sudah ada fasilitas umum maupun fasilitas sosial bagi para wisatawan (pengunjung). Padahal sudah menjadi suatu keharusan, sebuah destinasi wisata harus dilengkapi dengan fasilitas sosial dan fasilitas umum. Semua itu untuk memberikan kenyamanan kepada para wisatawan. Kan ada pepatah "Tamu adalah Raja". Tapi yang didapatkan raja ketika menginjakan kaki di Kota Bandung. Inilah cerminan kota yang tidak ramah.
Padahal dari sektor pariwisata ini, Pemkot Bandung berhasil meraup untung yang sangat besar sekitar 65 persen atau sekitar Rp 165 miliar setiap tahunnya. Bahkan keuntungan itu dijadikan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Bandung terbesar dibandingkan dari sektor lain.
Tapi apa daya, Pemkot Bandung acuh tak acuh terhadap sektor pariwisata terutama untuk penyediaan fasilitas umum maupu fasilitas sosial. Jadi, uang rakyat ini lebih banyak digunakan untuk sektor lain.
Kepedulian Pemkot Bandung pada sektor pariwisata memang sangat kecil. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan para wisatawan akan meninggalkan Kota Bandung. Mereka beranggapan buat apa datang ke Kota Bandung tanpa kenyamanan. Justru yang didapat adalah rasa takut tertabrak kendaraan, takut tidak bisa buang hajat dan kencing karena tidak ada toilet wisata, takut dicopet atau dirampok karena tidak adanya kenyamanan dan keamanan, serta rasa takut lainnya. Apakah hal ini dirasakan oleh pemerintah Kota Bandung? Jawabannya duka teuing, emutan we!
senin, 02 januari 2012
Oleh : KIKI KURNIA
(Wartawan Galamedia)**