Beragama Islam secara utuh (kafah) itu butuh kesabaran (QS 103: 3). Termasuk sabar dalam menyikapi keberadaan orang-orang yang tidak beragama Islam. Untuk memelihara salah satu misi ajaran Islam tentang perdamaian, diperlukan kesabaran dalam menyikapi perbedaan. Perbedaan harus dihormati, terutama untuk menghindari munculnya beragam bentuk ketegangan sosial yang kerap amat memprihatinkan.
Bukankah perbedaan itu merupakan wujud kebinekaan yang sejak awal merupakan keniscayaan yang diakui Alquran, khususnya bagi bangsa Indonesia? Lalu, mengapa fakta kebinekaan masyarakat kita ini masih saja muncul dalam nuansa yang tidak bersahabat? Tidak jarang fenomena itu hadir dalam wujud kekerasan yang amat merugikan. Kebinekaan dalam berkeyakinan kerap berubah menjadi konflik yang sangat memprihatinkan. Watak ramah masyarakat pun tidak lagi menjadi pemandangan persahabatan yang menyejukkan.
Sistem nilai yang terbuat dalam kebinekaan adalah aturan Tuhan (sunatullah) yang tidak mungkin berubah, diubah, dilawan, dan diingkari. Barang siapa yang mencoba mengingkari hukum kemajemukan budaya maka akan menimbulkan fenomena pergolakan yang tiada berkesudahan. Bahkan, Alquran mengakui keberadaan agama lain yang memiliki kitab suci, kecuali agama yang berdasarkan paganisme dan syirik, dan menyerukan umat Islam untuk hidup berdampingan dengan mereka.
Sejarah kejayaan Islam yang berlangsung dalam harmoni kebinekaan memang telah berlalu, namun spirit keragaman seperti tertuang dalam Alquran tetap menyala hingga kini. Sehingga, perlu direalisasikan dalam kehidupan nyata. Ini bukan merupakan kemustahilan karena ada kesejajaran antara kebinekaan Islam dan kemajemukan modernisme. Akan tetapi, kebinekaan atau yang kini sering muncul dalam terminologi pluralitas kadang-kadang masih ditandai berbagai penyimpangan dalam praktik politiknya.
Hal ini merupakan bentuk kegagalan dakwah karena berbagai interest politik yang picik masih belum mampu diredusir, baik oleh sebagian umat Islam secara khusus maupun umat manusia pada umumnya.
Langkah bijaksana bagi setiap umat adalah bersabar dan sanggup mengendalikan diri untuk tetap menghormati perbedaan. Selain itu, diperlukan pula kesabaran dalam mewujudkan suasana sosial yang kondusif untuk menciptakan toleransi. Sebab, dalam batas-batas sosiologis, toleransi tidak bisa terwujud dengan sendirinya, tapi membutuhkan proses rekayasa kultural sehingga masyarakat dapat terkondisikan secara produktif. Toleransi bukan saja menjadi ajaran yang hanya hadir dalam wacana, tapi sejatinya menjadi perilaku yang membudaya dalam kehidupan secara lebih terbuka.
Lihatlah pemandangan sosial masyarakat yang dibangun Nabi dengan para sahabatnya. Jika dalam terminologi ajaran Islam dikenal istilah harbi dan dzimni untuk menunjuk masyarakat yang berbeda agama, hal itu menggambarkan adanya pemberian tempat khusus secara damai bagi mereka yang berbeda agama selama tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat melanggar kerukunan.
Oleh: Prof Dr Asep S Muhtadi
sumber : www.republika.co.id
Bukankah perbedaan itu merupakan wujud kebinekaan yang sejak awal merupakan keniscayaan yang diakui Alquran, khususnya bagi bangsa Indonesia? Lalu, mengapa fakta kebinekaan masyarakat kita ini masih saja muncul dalam nuansa yang tidak bersahabat? Tidak jarang fenomena itu hadir dalam wujud kekerasan yang amat merugikan. Kebinekaan dalam berkeyakinan kerap berubah menjadi konflik yang sangat memprihatinkan. Watak ramah masyarakat pun tidak lagi menjadi pemandangan persahabatan yang menyejukkan.
Sistem nilai yang terbuat dalam kebinekaan adalah aturan Tuhan (sunatullah) yang tidak mungkin berubah, diubah, dilawan, dan diingkari. Barang siapa yang mencoba mengingkari hukum kemajemukan budaya maka akan menimbulkan fenomena pergolakan yang tiada berkesudahan. Bahkan, Alquran mengakui keberadaan agama lain yang memiliki kitab suci, kecuali agama yang berdasarkan paganisme dan syirik, dan menyerukan umat Islam untuk hidup berdampingan dengan mereka.
Sejarah kejayaan Islam yang berlangsung dalam harmoni kebinekaan memang telah berlalu, namun spirit keragaman seperti tertuang dalam Alquran tetap menyala hingga kini. Sehingga, perlu direalisasikan dalam kehidupan nyata. Ini bukan merupakan kemustahilan karena ada kesejajaran antara kebinekaan Islam dan kemajemukan modernisme. Akan tetapi, kebinekaan atau yang kini sering muncul dalam terminologi pluralitas kadang-kadang masih ditandai berbagai penyimpangan dalam praktik politiknya.
Hal ini merupakan bentuk kegagalan dakwah karena berbagai interest politik yang picik masih belum mampu diredusir, baik oleh sebagian umat Islam secara khusus maupun umat manusia pada umumnya.
Langkah bijaksana bagi setiap umat adalah bersabar dan sanggup mengendalikan diri untuk tetap menghormati perbedaan. Selain itu, diperlukan pula kesabaran dalam mewujudkan suasana sosial yang kondusif untuk menciptakan toleransi. Sebab, dalam batas-batas sosiologis, toleransi tidak bisa terwujud dengan sendirinya, tapi membutuhkan proses rekayasa kultural sehingga masyarakat dapat terkondisikan secara produktif. Toleransi bukan saja menjadi ajaran yang hanya hadir dalam wacana, tapi sejatinya menjadi perilaku yang membudaya dalam kehidupan secara lebih terbuka.
Lihatlah pemandangan sosial masyarakat yang dibangun Nabi dengan para sahabatnya. Jika dalam terminologi ajaran Islam dikenal istilah harbi dan dzimni untuk menunjuk masyarakat yang berbeda agama, hal itu menggambarkan adanya pemberian tempat khusus secara damai bagi mereka yang berbeda agama selama tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat melanggar kerukunan.
Oleh: Prof Dr Asep S Muhtadi
sumber : www.republika.co.id