-

Thursday, February 02, 2012

Islam dari Cina Menyebar ke Indonesia

SAAT ini umat Islam di Cina lebih dari seratus juta jiwa, sumber resmi hanya menyebut 30 Juta jiwa. Tak kurang 42.000 masjid melengkapi aktivitas peribadatan. Penduduk dunia biasanya mengenal Islam dianut oleh suku Hui, tapi yang sebenarnya tersebar sebagai jumlah mayoritas di suku: Xinjiang, Gansu, Hubel, Qinghai dan Yunan. Juga menyebar di suku: Uyghur, Kazak, Tartar, Salar, Dongxiang, Tajik, Uzbek dan Baoan. Pastinya suku Han. Begitulah penuturan An Wan Seng dalam Rahasia Sukses Muslim Cina (Hikmah, 2008).
An Wan Seng menjelaskan, ketika terjadi Revolusi Kebudayaan di tahun 1960-an sewaktu komunis berkuasa, penguasa komunis mengintimidasi para pemeluk umat beragama di Cina. Islam melawan pengaruh komunis. Islam bukan agama baru di Cina. Tetapi sudah ribuan tahun dan berbaur dengan kebudayaan setempat jauh sebelum pengusung paham komunis memerintah.

Masih merujuk literatur yang sama, kita bisa jumpai pembeberan dua teori mengenai masuknya Islam di Cina. Pertama, Islam sudah ada di Cina sewaktu Muhamad Rasulullah masih hidup.

Bahkan kerja sama dalam perniagaan sudah jauh terjalin sebelum masa Islam. Nabi Saw mengirimkan para sahabat untuk berdakwah. Bergerak dari barat Cina, yang kelak dikenal sebagai jalur sutra dan Marcopolo melintasi rute ini saat berkunjung ke Kubilai Khan. Sampai sekarang makam para sahabat bisa dilihat di jaluri barat Cina ini. Kedua, Islam masuk ketika Dinasti Tang berkuasa. Dibawah komando khalifah Utsman bin Affan telah menjalin kerja sama di bidang perekonomian yang dikepalai oleh Sa'ad bin Abi Waqas bersama 15 sahabat lainnya. Bahkan komunitas muslim sudah terbentuk di Kanton wilayah Dinasti Tang pada awal abad ke-7 Selain catatan resmi Dinasti Tang yang menyatakan kedatangan Sa'ad bin Abi Waqas, ada pendapat yang beredar Islam masuk dibawah pimpinan Abu Hamzah bin Hamzah bin Abi Thalib. Selain utusan dari Madinah, dinasti Tang juga menjalin perdagangan dengan Kamboja dan Annam (Vietnam).

Setelah menjalin perniagaan dengan Dinasti Tang, kaum muslim juga berlajut membangun komunikasi sosial dengan Dinasti Song dan Dinasti-dinasti berikutnya. Turut membantu memadamkan pemberontakan yang pernah bergolak semisal pada kasus pemberontakan An Xi (755 M). Berdakwah selain melalui media perniagaan, juga dilakukan dengan jalur pernikahan. Gelombang imigrasi dari semenanjung Arabia turut menyuburkan Islamisasi lewat pendekatan budaya.


Cheng Ho

Di tahun 1244 Kubilai Khan mengangkat sejumlah tokoh penting dari kaum muslim dipemerintahannya. Diantaranya, Abdurrahman sebagai ketua Keuangan, Syekh Ajjal dan Umar Shamsuddin dua tokoh ini diamanahi Ketua Keuangan dan Gubenur di Yunnan. Ketika Dinasti Ming berkuasa pengaruh umat Islam makin maksimal. Dipercaya menjadi bagian terpenting dari penentu kebijakan politik luar negeri.

Salah satu tokoh legendaris bernama Laksamana Cheng Ho alias Zheng He alias Ma Sanbao, karena memang punya kemampuan menjalankan tugas kepemerintahan yang diamanahkan.

Dalam buku tebal Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara (Kompas, 2010), Dr. Tan Ta Sen mengurai misi kebijakan politik luar negeri Ming Cina yang dimotori Cheng Ho, guna melayari lautan samudra di Asia, Afrika dan Eropa dari 1405-1433 M.

Dari 33 negara di Asia Tenggara yang dikunjungi antara lain, Champa, Zhenla, siam, Malaka, Jawa, Palembang, Samudra, Aru, Naguer, Lambri, Pahang, Kelantan, Lidai, dan Sulu.

Berikut tujuan yang hendak dicapai serta membutuhkan 27 tahun mengarungi lautan dan menggunakan 42 kapal, 30.000 0rang, 180 dokter, dan sejumlah ahli diberbagai bidang termasuk penulis dan penerjemah. Pertama, pelayaran-pelayaran bermotif politik. Kedua, diplomatis untuk menjaga dan melindungi wilayah yang menjalin kerjasama. Ketiga, memajukan perdagangan. Keempat, menawarkan kebudayaan dan menjalin pertukaran budaya. Kelima, mempelajari dunia maritim yang petanya belum terpecahkan. Keenam, kerjasama militer dengan Timur dan negeri-negeri Islam yang sudah muslim seperti negeri-negeri di Semenanjung Arabia maupun yang sudah Islam tapi belum berbentuk kekuatan kerajaan Islam, seperti yang terjadi di Samudra Pasai kerajaan Malaka.

Tujuh dari Wali Songo Keturunan Cina?

Dalam perjalanan ke tanah Jawa, Cheng Ho menjumpai satusatunya perkampungan Cina muslim di lingkungan wilayah Majapahit. Perkembangan Cina muslim perantauan di Tuban sebagai pelabuhan dan basis perniagaan semakin menemukan bentuk terbaiknya.

Maju pesat. Sehingga, timbul inisiatif dari Cheng Ho untuk memindahkan kantor pusat perdagangan Cina perantauan Muslim dari Manila (Philipina) ke Tuban, Jawa Timur pada tahun 1420-an. Sejumlah masjid dibangun Cheng Ho di wilayah Jawa Timur, juga daerah-daerah yang dilaluinya. Tentu dengan gaya khas arsitektur ala Cina.

Di luar perkumpulan saudagar Cina yang organisasinya diremajakan, Cheng Ho juga berhasil menempatkan orang kepercayaannya menjadi bagian penguasa Majapahit. Pada perkembangannya, aroma budaya Cina turut mewarnai tata pemerintahan Majapahit. Misalnya pada gelar administratif kerajaan Su King Ta buat gelar Suhita, A Lu Ya buat gelar Arya, dan seterusnya.

Merujuk kesimpulan Slamet Mulyana yang meneliti Babad Tanah Jawi, Serat Kanda dan dokumen MASC (The Malay Annals of Semarang and Cirebon), Dr. Tan Ta Sen cenderung berpendapat, dari Sembilan dewan dakwah yang tergabung dalam Wali Songo hanya dua ulama yang bukan keturunan Cina, yakni Sunan Giri dan Sunan Kudus (dari Arab).

Penulis tuliskan lagi hasil identifikasi anggota Wali Songo:
1. Sunan Ampel alias Raden Rahmat alias Bong Swi Hoo.
2. Sunan Bonang alias Raden Makhdum Ibrahim (putra tertua Sunan Ampel).
3. Sunan Giri alias Raden Paku.
4. Sunan Drajad alias Raden Qasim (adik Sunan Bonang).
5. Sunan Kalijaga alias Raden Said alias Gan Si Cang.
6. Sunan Kudus alias Ja'- far Sadik. 7. Sunan Muria alias Raden Umar Sain (putra Sunan Kalijaga). 8. Sunan Gunung Jati alias Syarif Hidayat Fatahillah alias Toh A Bo.
9. Raden Patah alias Jin Boon.

Keterangan di atas berbeda dengan penilaian sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara sebagaimana termuat dalam Api Sejarah (Salamadani, 2009). Beliau berpendapat, sudah jadi kebiasaan orangorang Cina menyebut nama-nama di Nusantara Indonesia segala sesuatunya dibahasakan dengan bahasa Cina. Dicinakan. Sama halnya orang Jawa menjawakan J.P. Coen menjadi Mur Jangkung.

Nederland diindonesiakan menjadi Belanda. Hasyim Asyari dan Ahmad Dahlan dua ulama pendiri NU dan Muhammadiyah namanya bahasa Arab, tapi keduanya asli Indonesia. Simpulan Ahmad Mansur, penulisan Bong Swi Hoo bagi Sunan Ampel, Gan Si Cang bagi Sunan Kalijaga, Toh A Bo bagi Sunan Gunung Djati yang tertulis di Kronik Kelenteng Sam Po Kong di Semarang diartikan sebagai penyebutan versi Cina saja. Wallahu a'alam.
(Penulis lepas tinggal di Bandung)**
jumat, 27 januari 2012

Oleh : M.L. Nihwan Sumuranje

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment