Setiap manusia pasti membutuhkan pertolongan Allah SWT karena tiada daya dan upaya melainkan karena pertolongan-Nya. Hanya saja, manusia terkadang takabbur (sombong) sehingga kenikmatan, kekayaan, kesehatan, kekuasaan, dan kehormatan yang diperolehnya tidak disyukuri.
Malah dianggapnya sebagai kehebatan prestasi dirinya sendiri. Sikap sombong seperti ini tidak jarang melahirkan perbuatan melampaui batas.
"Sekali-kali, sungguh manusia itu cenderung berbuat tirani (melampaui batas). [Karena] Ia melihat dirinya merasa cukup (tidak butuh pihak/orang lain)" (QS Al-'Alaq [96]: 6-7).
Fir'aun menjadi diktator, bahkan mengaku menjadi tuhan, juga karena kesombongannya. "[Hai Musa], datangi [dan dakwahilah] Fir'aun itu karena ia telah berlaku semena-mena (diktator) (QS Taha [20]: 24).
Oleh karena itu, setiap Muslim perlu mengembangkan sikap isti'anah. Kata isti'anah artinya merasa memerlukan dan selalu memohon pertolongan. Yang wajib dimintai pertolongan, tentu saja, adalah Allah SWT karena Dia Mahakaya, Mahakuasa, dan Mahasegalanya, bukan dukun, paranormal, eyang ini dan itu.
Sikap isti'anah disyari'atkan melalui pembacaan Al-Fatihah dalam setiap raka'at shalat. "Hanya kepada-Mu kami beribadah; dan hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan." (QS Al-Fatihah [1]: 5).
Hal tersebut menunjukkan shalat mendidik kita agar tidak menjadi sombong. Lebih-lebih, ritualitas shalat dimulai dengan ucapan Allahu Akbar, Allah itu Mahabesar.
Sikap hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan itu mencerahkan kecerdasan spiritual kita ketika misalnya meminta pertolongan kepada sesama, kita meyakini sepenuh hati tanpa pertolongan Allah, orang yang kita mintai pertolongan pasti tidak dapat menolong kita.
Demikian pula, dengan segala kerendahan hati dan sikap isti'anah, kita tidak mungkin dapat menolong sesama tanpa pertolongan Allah SWT.
Isti'anah kepada Allah sangat penting diteguhkan dalam hati setiap Muslim karena banyak hal dalam hidup ini yang berada di luar jangkauan akal pikiran manusia.
Ketika sakit, kita biasanya meminta pertolongan dokter. Dokter menolong kita sebatas ilmu kedokteran yang dimilikinya; namun Allah-lah yang pada akhirnya memberikan kesembuhan kepada kita.
Karena sikap isti'anah, kita tidak hanya berharap kepada sang dokter agar diberi kemampuan oleh Allah untuk dapat membantu mengangkat penyakit kita, melainkan juga berdoa kepada Allah agar memberi kesembuhan kepada kita.
Isti'anah dalam ayat kelima surat Al-Fatihah tersebut, menurut mufassir Muhammad Ali Ash-Shabuni, tidak dapat dipisahkan dari kalimat sebelumnya: "Hanya kepada-Mu kami beribadah (menghambakan diri).
Artinya, kita memohon pertolongan hanya kepada Allah agar tetap menjalankan ibadah, patuh, dan taat kepada-Nya, sehingga Allah pun pasti memberi pertolongan kepada kita.
Firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman, jika engkau menolong Allah, Allah pun pasti akan menolong kalian, dan meneguhkan pendirian [iman] kalian." (QS Muhammad [47]: 7).
Dengan demikian, isti'anah kepada Allah dapat membentuk pribadi Muslim yang antikemusyrikan, antipenghambaan kepada sesama, sekaligus menghindarkan diri dari dosa besar yang tak terampuni.
Betapa banyak orang salah alamat dalam meminta pertolongan. Untuk mendapat rezeki yang lancar, kecantikan yang dapat memikat hati, dan kekuasaan yang tidak mudah digoyang, tidak sedikit orang mendatangi dukun atau paranormal agar diberi jimat, pasang susuk emas, dan sebagainya.
Aktualisasi isti'anah tersebut sangat penting dimanifestasikan dalam hidup ini dengan senantiasa menyeimbangkan dan memperkokoh iman, ilmu, dan amal sekaligus membudayakan fikir dan zikir secara cerdas dan ikhlas.
Karena itu, setiap Muslim yang melaksanakan shalat diwajibkan memohon petunjuk jalan yang lurus (benar) (QS. Al-Fatihah [1]: 6), sebagai tindak lanjut dari memohon pertolongan kepada Allah.
Pada saat yang sama, setiap Muslim pun dituntut untuk saling tolong menolong dalam rangka terwujudnya kebajikan dan takwa (QS Al-Maidah [5]: 2). Nabi SAW juga menegaskan: "Allah senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba mau menolong sesamanya." (HR Muslim).
Oleh karena itu, ketika hendak mendatangi Fir'aun itu, Nabi Musa As. meminta pertolongan kepada Allah agar diberi kelapangan dada, kemudahan dalam penyelesaian urusan, kefasihan dalam berkomunikasi, dan keikutsertaan saudaranya, Nabi Harun As, (QS Thaha [20]: 25-29) dalam menjalankan misinya yang amat berat itu.
Permohonan itu diajukan oleh Nabi Musa As. supaya dengan sikap isti'anah itu ia dan saudaranya dapat selalu bertasbih dan berzikir hanya kepada Allah (QS Thaha [20]: 33-34).
Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id
Malah dianggapnya sebagai kehebatan prestasi dirinya sendiri. Sikap sombong seperti ini tidak jarang melahirkan perbuatan melampaui batas.
"Sekali-kali, sungguh manusia itu cenderung berbuat tirani (melampaui batas). [Karena] Ia melihat dirinya merasa cukup (tidak butuh pihak/orang lain)" (QS Al-'Alaq [96]: 6-7).
Fir'aun menjadi diktator, bahkan mengaku menjadi tuhan, juga karena kesombongannya. "[Hai Musa], datangi [dan dakwahilah] Fir'aun itu karena ia telah berlaku semena-mena (diktator) (QS Taha [20]: 24).
Oleh karena itu, setiap Muslim perlu mengembangkan sikap isti'anah. Kata isti'anah artinya merasa memerlukan dan selalu memohon pertolongan. Yang wajib dimintai pertolongan, tentu saja, adalah Allah SWT karena Dia Mahakaya, Mahakuasa, dan Mahasegalanya, bukan dukun, paranormal, eyang ini dan itu.
Sikap isti'anah disyari'atkan melalui pembacaan Al-Fatihah dalam setiap raka'at shalat. "Hanya kepada-Mu kami beribadah; dan hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan." (QS Al-Fatihah [1]: 5).
Hal tersebut menunjukkan shalat mendidik kita agar tidak menjadi sombong. Lebih-lebih, ritualitas shalat dimulai dengan ucapan Allahu Akbar, Allah itu Mahabesar.
Sikap hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan itu mencerahkan kecerdasan spiritual kita ketika misalnya meminta pertolongan kepada sesama, kita meyakini sepenuh hati tanpa pertolongan Allah, orang yang kita mintai pertolongan pasti tidak dapat menolong kita.
Demikian pula, dengan segala kerendahan hati dan sikap isti'anah, kita tidak mungkin dapat menolong sesama tanpa pertolongan Allah SWT.
Isti'anah kepada Allah sangat penting diteguhkan dalam hati setiap Muslim karena banyak hal dalam hidup ini yang berada di luar jangkauan akal pikiran manusia.
Ketika sakit, kita biasanya meminta pertolongan dokter. Dokter menolong kita sebatas ilmu kedokteran yang dimilikinya; namun Allah-lah yang pada akhirnya memberikan kesembuhan kepada kita.
Karena sikap isti'anah, kita tidak hanya berharap kepada sang dokter agar diberi kemampuan oleh Allah untuk dapat membantu mengangkat penyakit kita, melainkan juga berdoa kepada Allah agar memberi kesembuhan kepada kita.
Isti'anah dalam ayat kelima surat Al-Fatihah tersebut, menurut mufassir Muhammad Ali Ash-Shabuni, tidak dapat dipisahkan dari kalimat sebelumnya: "Hanya kepada-Mu kami beribadah (menghambakan diri).
Artinya, kita memohon pertolongan hanya kepada Allah agar tetap menjalankan ibadah, patuh, dan taat kepada-Nya, sehingga Allah pun pasti memberi pertolongan kepada kita.
Firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman, jika engkau menolong Allah, Allah pun pasti akan menolong kalian, dan meneguhkan pendirian [iman] kalian." (QS Muhammad [47]: 7).
Dengan demikian, isti'anah kepada Allah dapat membentuk pribadi Muslim yang antikemusyrikan, antipenghambaan kepada sesama, sekaligus menghindarkan diri dari dosa besar yang tak terampuni.
Betapa banyak orang salah alamat dalam meminta pertolongan. Untuk mendapat rezeki yang lancar, kecantikan yang dapat memikat hati, dan kekuasaan yang tidak mudah digoyang, tidak sedikit orang mendatangi dukun atau paranormal agar diberi jimat, pasang susuk emas, dan sebagainya.
Aktualisasi isti'anah tersebut sangat penting dimanifestasikan dalam hidup ini dengan senantiasa menyeimbangkan dan memperkokoh iman, ilmu, dan amal sekaligus membudayakan fikir dan zikir secara cerdas dan ikhlas.
Karena itu, setiap Muslim yang melaksanakan shalat diwajibkan memohon petunjuk jalan yang lurus (benar) (QS. Al-Fatihah [1]: 6), sebagai tindak lanjut dari memohon pertolongan kepada Allah.
Pada saat yang sama, setiap Muslim pun dituntut untuk saling tolong menolong dalam rangka terwujudnya kebajikan dan takwa (QS Al-Maidah [5]: 2). Nabi SAW juga menegaskan: "Allah senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba mau menolong sesamanya." (HR Muslim).
Oleh karena itu, ketika hendak mendatangi Fir'aun itu, Nabi Musa As. meminta pertolongan kepada Allah agar diberi kelapangan dada, kemudahan dalam penyelesaian urusan, kefasihan dalam berkomunikasi, dan keikutsertaan saudaranya, Nabi Harun As, (QS Thaha [20]: 25-29) dalam menjalankan misinya yang amat berat itu.
Permohonan itu diajukan oleh Nabi Musa As. supaya dengan sikap isti'anah itu ia dan saudaranya dapat selalu bertasbih dan berzikir hanya kepada Allah (QS Thaha [20]: 33-34).
Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id