Di alam ini, tak ada yang pasti kecuali kematian. Kematian, kata Ghazali, pasti, sedangkan yang lain tak ada yang pasti. Meskipun begitu, manusia cenderung abai dan tak hirau dengan kematian.
Biasanya, manusia mengingat kematian jika kebetulan ada kereta jenazah lewat di depannya. Ia pun buru-buru ber-istirja`, inna lillah wa inna ilaihi raji`un.
Kematian (al-maut) menyerang siapa saja dan sering kali tiba-tiba (ja’at fuj’atan). Maut merenggut nyawa orang tua, anak-anak, orang biasa, orang hebat, dan siapa saja.
Bahkan, menyerang pengantin baru pada malam pertama dan orang yang sedang pesta dan bergembira ria bersama keluarga dan orang-orang yang dicinta.
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.’” (QS Al-Jum`ah [62]: 8).
Karena wataknya yang seperti tak mengenal belas kasihan, kematian itu disebut oleh Nabi dengan istilah hadzim al-ladzdzaat, yakni penghancur kenikmatan dan kelezatan duniawi (HR Tirmidzi, Nasa’i, dan Ahmad dari Abu Hurairah).
Sebagian ulama menyebutnya dengan istilah, mufarriq al-ahbab (yang menceraikan manusia dari orang-orang yang dicinta) dan musyattit al-jam`iyyah (yang memutuskan manusia dari kelompok sosialnya).
Meskipun merupakan fenomena sehari-hari, manusia belum sepenuhnya mengetahui hakikat kematian itu. Menurut al-Ghazali, kematian itu bukan tak adanya hidup, melainkan berubahnya keadaan.
Ini berarti, dengan mati (kematian), bukanlah kehidupan itu tak ada. Kehidupan tetap ada, tetapi berubah dalam wujud (kehidupan) yang lain.
Dalam al-‘Adl al-Ilahi, Murtadza Muthahhari menerangkan perbedaan kehidupan itu, yakni kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Dikatakan, kehidupan dunia tak sejati karena masih bisa bercampur antara hak dan batil, kejujuran dan kepalsuan, serta antara pejuang dan pengkhianat.
Ini berbeda dengan kehidupan akhirat yang disebutnya murni dan sejati. Firman Allah menyebutkan, “Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui.” (QS al-Ankabut [29]: 64).
Dalam Alquran, kematian disebut dengan beberapa terma, antara lain, al-maut, al-wafah, al-ajal, dan al-ruju` yang secara harfiah berarti kembali.
Bila menunjuk kata yang terakhir, al-ruju`, kematian bisa dipahami sebagai proses perjalanan pulang menuju negeri akhirat, kampung halaman kita yang sebenarnya.
Secara kejiwaan, pulang atau perjalanan pulang merupakan kegiatan paling menyenangkan karena setiap orang, menurut fitrahnya, ingin cepat-cepat pulang (kembali).
Tradisi pulang kampung (mudik) sangat menyenangkan meski berdesak-desak dan macet sepanjang jalan. Jadi, kematian itu seperti mudik ke tanah leluhur; mestinya menyenangkan, dengan satu syarat, tentu saja memiliki dan membawa bekal yang cukup, yaitu kebaikan (amal saleh).
Sebagai Muslim, kita mesti mampu memetik pelajaran dari setiap peristiwa kematian. Pertama, karena kematian pasti, kita mesti selalu mengingatnya dan menjadikannya sebagai nasihat.
Kedua, karena kematian sejatinya merupakan perjalanan pulang, kita mesti meperbanyak bekal, ibadah, dan amal shaleh.
Ketiga, tidak boleh lupa, kita berdoa kepada Allah agar tidak kembali kehadirat-Nya kecuali dalam keadaan Islam. “Dan, janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali Imran [3]: 102). Wallahu a`lam!
, Oleh: A Ilyas Ismail
sumber : www.republika.co.id
Biasanya, manusia mengingat kematian jika kebetulan ada kereta jenazah lewat di depannya. Ia pun buru-buru ber-istirja`, inna lillah wa inna ilaihi raji`un.
Kematian (al-maut) menyerang siapa saja dan sering kali tiba-tiba (ja’at fuj’atan). Maut merenggut nyawa orang tua, anak-anak, orang biasa, orang hebat, dan siapa saja.
Bahkan, menyerang pengantin baru pada malam pertama dan orang yang sedang pesta dan bergembira ria bersama keluarga dan orang-orang yang dicinta.
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.’” (QS Al-Jum`ah [62]: 8).
Karena wataknya yang seperti tak mengenal belas kasihan, kematian itu disebut oleh Nabi dengan istilah hadzim al-ladzdzaat, yakni penghancur kenikmatan dan kelezatan duniawi (HR Tirmidzi, Nasa’i, dan Ahmad dari Abu Hurairah).
Sebagian ulama menyebutnya dengan istilah, mufarriq al-ahbab (yang menceraikan manusia dari orang-orang yang dicinta) dan musyattit al-jam`iyyah (yang memutuskan manusia dari kelompok sosialnya).
Meskipun merupakan fenomena sehari-hari, manusia belum sepenuhnya mengetahui hakikat kematian itu. Menurut al-Ghazali, kematian itu bukan tak adanya hidup, melainkan berubahnya keadaan.
Ini berarti, dengan mati (kematian), bukanlah kehidupan itu tak ada. Kehidupan tetap ada, tetapi berubah dalam wujud (kehidupan) yang lain.
Dalam al-‘Adl al-Ilahi, Murtadza Muthahhari menerangkan perbedaan kehidupan itu, yakni kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Dikatakan, kehidupan dunia tak sejati karena masih bisa bercampur antara hak dan batil, kejujuran dan kepalsuan, serta antara pejuang dan pengkhianat.
Ini berbeda dengan kehidupan akhirat yang disebutnya murni dan sejati. Firman Allah menyebutkan, “Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui.” (QS al-Ankabut [29]: 64).
Dalam Alquran, kematian disebut dengan beberapa terma, antara lain, al-maut, al-wafah, al-ajal, dan al-ruju` yang secara harfiah berarti kembali.
Bila menunjuk kata yang terakhir, al-ruju`, kematian bisa dipahami sebagai proses perjalanan pulang menuju negeri akhirat, kampung halaman kita yang sebenarnya.
Secara kejiwaan, pulang atau perjalanan pulang merupakan kegiatan paling menyenangkan karena setiap orang, menurut fitrahnya, ingin cepat-cepat pulang (kembali).
Tradisi pulang kampung (mudik) sangat menyenangkan meski berdesak-desak dan macet sepanjang jalan. Jadi, kematian itu seperti mudik ke tanah leluhur; mestinya menyenangkan, dengan satu syarat, tentu saja memiliki dan membawa bekal yang cukup, yaitu kebaikan (amal saleh).
Sebagai Muslim, kita mesti mampu memetik pelajaran dari setiap peristiwa kematian. Pertama, karena kematian pasti, kita mesti selalu mengingatnya dan menjadikannya sebagai nasihat.
Kedua, karena kematian sejatinya merupakan perjalanan pulang, kita mesti meperbanyak bekal, ibadah, dan amal shaleh.
Ketiga, tidak boleh lupa, kita berdoa kepada Allah agar tidak kembali kehadirat-Nya kecuali dalam keadaan Islam. “Dan, janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali Imran [3]: 102). Wallahu a`lam!
, Oleh: A Ilyas Ismail
sumber : www.republika.co.id