Suatu hari, Abu Thalhah ra asyik bekerja di kebunnya. Saking asyik berkebun, ia tak menyadari matahari sudah di ujung pepohonan atau hampir terbenam. Mengetahui hal itu, pacul dan berbagai perlengkapan pertanian segera ia singkirkan.
Buru-buru ia pergi ke masjid untuk menunaikan shalat ashar. Beruntung ia masih bisa shalat ashar meski sangat mepet, sudah di ujung waktu.
Seusai shalat, ia lari menemui Rasulullah saw sambil menangis tersedu-sedu. Ia mengadu kepada Rasulullah saw.
“Binasa Abu Thalhah, wahai Rasul Allah. Gara-gara berkebun, aku hampir tak bisa shalat ashar, kecuali saat matahari sudah terbenam. Karena itu, kebun tersebut dan segala isinya aku sedekahkan untuk Allah.” (Sayr A`lam al-Nubala', Abu Thalhah).
Abu Thalhah ra dikenal sebagai salah seorang sahabat Rasulullah yang sangat mulia dan dermawan. Apa yang diperlihatkannya dalam kisah di atas, memberikan inspirasi dan teladan berharga bagi kita semua.
Setidaknya, ada empat hal yang layak diteladani dari sikapnya yang menyedekahkan kebun karena hal itu telah melalaikannya dari mengingat Allah SWT.
Pertama, kemampuan membuat dan memahami skala prioritas (fiqh al-awlawiyat). Orang mukmin, seperti ditunjukkan Abu Thalhah, mesti tahu hal yang sangat penting (al-aham), lalu yang agak penting (tsumm al-aham), dan seterusnya.
Bekerja, seperti berbisnis dan berkebun tidak dilarang, bahkan diperintahkan. Akan tetapi, ketika waktu shalat tiba, hal pokok yang mesti dilakukan adalah shalat. “Ash-Shalat-u `alaa waqti-ha,” (shalat tepat pada waktunya), demikian pesan Nabi saw.
Kedua, kemampuan menjaga dan memelihara shalat. Dalam Alquran, seperti diketahui, perintah shalat dikemukakan dengan beberapa istilah. Di antaranya dengan kata mendirikan (iqamat al-shalah), menjaga dan memelihara (muhafazhah), melakukan dan mengerjakan secara kontinu (mudawamah).
Dan puncaknya ialah khusyuk dalam shalat (QS al-Mu`minun [23]: 2). Karena itu, tak seorang pun boleh bermain-main dengan shalat, kecuali diancam Neraka Wail. (QS al-Ma`un [107]: 4-7).
Ketiga, kemampuan melakukan evaluasi diri, sehingga diketahui dan disadari keterbatasan dan kelemahan diri (taqshir). Abu Thalhah sadar betul ibadah shalat harus dilakukan dengan semangat maksimal, bukan minimal.
Itu sebabanya, kesadarannya tentang adanya kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam shalat, membuatnya harus menambal dengan kebaikan lain, yaitu memberikan kebun terbaiknya untuk Allah SWT.
Keempat, kemampuan melatih dan mendidik diri sendiri. Abu Thalhah tak hanya menyesal dan menangis atas hilangnya kesempatan, tetapi ia mampu membuka peluang baru dan melipatgandakannya menjadi kebaikan yang lebih besar. Ini merupakan pendidikan diri yang tak hanya inovatif, juga inspiratif. Wallahu a`lam.
Oleh A Ilyas Ismail
sumber : www.republika.co.id
Buru-buru ia pergi ke masjid untuk menunaikan shalat ashar. Beruntung ia masih bisa shalat ashar meski sangat mepet, sudah di ujung waktu.
Seusai shalat, ia lari menemui Rasulullah saw sambil menangis tersedu-sedu. Ia mengadu kepada Rasulullah saw.
“Binasa Abu Thalhah, wahai Rasul Allah. Gara-gara berkebun, aku hampir tak bisa shalat ashar, kecuali saat matahari sudah terbenam. Karena itu, kebun tersebut dan segala isinya aku sedekahkan untuk Allah.” (Sayr A`lam al-Nubala', Abu Thalhah).
Abu Thalhah ra dikenal sebagai salah seorang sahabat Rasulullah yang sangat mulia dan dermawan. Apa yang diperlihatkannya dalam kisah di atas, memberikan inspirasi dan teladan berharga bagi kita semua.
Setidaknya, ada empat hal yang layak diteladani dari sikapnya yang menyedekahkan kebun karena hal itu telah melalaikannya dari mengingat Allah SWT.
Pertama, kemampuan membuat dan memahami skala prioritas (fiqh al-awlawiyat). Orang mukmin, seperti ditunjukkan Abu Thalhah, mesti tahu hal yang sangat penting (al-aham), lalu yang agak penting (tsumm al-aham), dan seterusnya.
Bekerja, seperti berbisnis dan berkebun tidak dilarang, bahkan diperintahkan. Akan tetapi, ketika waktu shalat tiba, hal pokok yang mesti dilakukan adalah shalat. “Ash-Shalat-u `alaa waqti-ha,” (shalat tepat pada waktunya), demikian pesan Nabi saw.
Kedua, kemampuan menjaga dan memelihara shalat. Dalam Alquran, seperti diketahui, perintah shalat dikemukakan dengan beberapa istilah. Di antaranya dengan kata mendirikan (iqamat al-shalah), menjaga dan memelihara (muhafazhah), melakukan dan mengerjakan secara kontinu (mudawamah).
Dan puncaknya ialah khusyuk dalam shalat (QS al-Mu`minun [23]: 2). Karena itu, tak seorang pun boleh bermain-main dengan shalat, kecuali diancam Neraka Wail. (QS al-Ma`un [107]: 4-7).
Ketiga, kemampuan melakukan evaluasi diri, sehingga diketahui dan disadari keterbatasan dan kelemahan diri (taqshir). Abu Thalhah sadar betul ibadah shalat harus dilakukan dengan semangat maksimal, bukan minimal.
Itu sebabanya, kesadarannya tentang adanya kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam shalat, membuatnya harus menambal dengan kebaikan lain, yaitu memberikan kebun terbaiknya untuk Allah SWT.
Keempat, kemampuan melatih dan mendidik diri sendiri. Abu Thalhah tak hanya menyesal dan menangis atas hilangnya kesempatan, tetapi ia mampu membuka peluang baru dan melipatgandakannya menjadi kebaikan yang lebih besar. Ini merupakan pendidikan diri yang tak hanya inovatif, juga inspiratif. Wallahu a`lam.
Oleh A Ilyas Ismail
sumber : www.republika.co.id