Salah satu perintah utama ajaran Islam pada umatnya adalah agar membiasakan berjamaah dalam segala aktivitas kebaikan.Baik aktivitas yang berkaitan dengan ibadah mahdhah kepada Allah SWT maupun ibadah yang terkait dengan pembangunan kesejahteraan masyarakat dan bangsa, serta umat manusia secara luas (muamalah).
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS al-Baqarah [2]: 43). “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS al-Maidah [5]: 2).
Shalat berjamaah di masjid sebagai contoh, selain pahalanya lebih besar 27 kali lipat dibanding shalat sendirian, juga akan membangun silaturahim dan ukhuwah Islamiyah antara sesama orang yang shalat.
Akhirnya, diharapkan akan menguatkan kesatuan dan persatuan. Bahkan, pada zaman Rasulullah, shalat berjamaah dijadikan sebagai medium kontrol terhadap perilaku dan keadaan sahabat-sahabat beliau.
Apabila beliau selesai mengimami shalat Subuh, beliau memalingkan tubuh dan wajahnya ke arah jamaah sambil menanyakan apakah sahabatnya lengkap hadir atau tidak.
Jika ada yang tidak hadir, ditelusurinya mengapa sampai tidak hadir. Yang sangat mengesankan, berjamaah ibadah di zaman Rasulullah dan para sahabat melahirkan semangat berjamaah dalam bidang muamalah.
Misalnya, bidang ekonomi, politik, kepemimpinan, dan pengentasan kemiskinan, serta peningkatan kesejahteraan. Jamaah masjid pada saat itu menjadi jamaah dalam bidang ekonomi.
Para jamaah akan membeli keperluan hidupnya hanya pada kios dagangan yang dimiliki oleh sesama jamaah. Akibatnya, perdagangan dan ekonomi umat berjalan secara baik dengan berbasiskan jamaah masjid.
Artinya, berbasiskan nilai-nilai keimanan, ketakwaan, amanah, dan kejujuran, serta tidak ada khianat dan terjadi penipuan.
Terkenallah ucapan beliau, seperti dikemukakan dalam hadis sahih, “Nahnu qoumun, laa na’kulu illaa tho’aama taqiyyin, walaa ya’kulu tho’aamanaa illaa taqiyyun” (Kami adalah kaum yang tidak pernah mengonsumsi, kecuali dari makanan orang takwa, dan tidak mengonsumsi makanan kita, kecuali orang yang bertakwa). Oleh sebab itu, jelas terdapat garis ketakwaan yang menghubungkan antara produsen dan konsumen.
Seyogyanya, jamaah masjid sekarang pun menjadi jamaah ekonomi umat. Tidak akan pernah jamaah bertransaksi pada perbankan, kecuali perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya, seperti asuransi syariah atau pegadaian syariah.
Tidak akan pernah jamaah mengonsumsi makanan, kecuali makanan yang bersih dan halal yang diproduksi oleh sesama kaum muslimin.
Hubungan antarjamaah kaum Muslimin selain dibangun atas dasar kesamaan akidah dan ibadah, juga kesamaan dalam bidang muamalah.
Dan, jika ini yang terjadi, akan lahir kekuatan umat yang mampu berkontribusi di dalam pembangunan bangsa secara lebih luas. Karena itu, mari kita kuatkan berjamaah dalam ibadah dan dalam bidang muamalah.
Oleh: KH Didin Hafidhuddin
sumber : www.republika.co.id
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS al-Baqarah [2]: 43). “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS al-Maidah [5]: 2).
Shalat berjamaah di masjid sebagai contoh, selain pahalanya lebih besar 27 kali lipat dibanding shalat sendirian, juga akan membangun silaturahim dan ukhuwah Islamiyah antara sesama orang yang shalat.
Akhirnya, diharapkan akan menguatkan kesatuan dan persatuan. Bahkan, pada zaman Rasulullah, shalat berjamaah dijadikan sebagai medium kontrol terhadap perilaku dan keadaan sahabat-sahabat beliau.
Apabila beliau selesai mengimami shalat Subuh, beliau memalingkan tubuh dan wajahnya ke arah jamaah sambil menanyakan apakah sahabatnya lengkap hadir atau tidak.
Jika ada yang tidak hadir, ditelusurinya mengapa sampai tidak hadir. Yang sangat mengesankan, berjamaah ibadah di zaman Rasulullah dan para sahabat melahirkan semangat berjamaah dalam bidang muamalah.
Misalnya, bidang ekonomi, politik, kepemimpinan, dan pengentasan kemiskinan, serta peningkatan kesejahteraan. Jamaah masjid pada saat itu menjadi jamaah dalam bidang ekonomi.
Para jamaah akan membeli keperluan hidupnya hanya pada kios dagangan yang dimiliki oleh sesama jamaah. Akibatnya, perdagangan dan ekonomi umat berjalan secara baik dengan berbasiskan jamaah masjid.
Artinya, berbasiskan nilai-nilai keimanan, ketakwaan, amanah, dan kejujuran, serta tidak ada khianat dan terjadi penipuan.
Terkenallah ucapan beliau, seperti dikemukakan dalam hadis sahih, “Nahnu qoumun, laa na’kulu illaa tho’aama taqiyyin, walaa ya’kulu tho’aamanaa illaa taqiyyun” (Kami adalah kaum yang tidak pernah mengonsumsi, kecuali dari makanan orang takwa, dan tidak mengonsumsi makanan kita, kecuali orang yang bertakwa). Oleh sebab itu, jelas terdapat garis ketakwaan yang menghubungkan antara produsen dan konsumen.
Seyogyanya, jamaah masjid sekarang pun menjadi jamaah ekonomi umat. Tidak akan pernah jamaah bertransaksi pada perbankan, kecuali perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya, seperti asuransi syariah atau pegadaian syariah.
Tidak akan pernah jamaah mengonsumsi makanan, kecuali makanan yang bersih dan halal yang diproduksi oleh sesama kaum muslimin.
Hubungan antarjamaah kaum Muslimin selain dibangun atas dasar kesamaan akidah dan ibadah, juga kesamaan dalam bidang muamalah.
Dan, jika ini yang terjadi, akan lahir kekuatan umat yang mampu berkontribusi di dalam pembangunan bangsa secara lebih luas. Karena itu, mari kita kuatkan berjamaah dalam ibadah dan dalam bidang muamalah.
Oleh: KH Didin Hafidhuddin
sumber : www.republika.co.id