Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid ra, ia berkata: “Rasulullah saw mengutus kami ke Huraqah, salah satu suku Juhainah. Pada pagi hari, kami mendatangi sumber air mereka, lalu saya dan seorang sahabat Anshar mengejar salah seorang diantara mereka. Ketika kami telah mengepungnya, ia mengucapkan “La ilaha illallah”.
Sahabat Anshar tadi melepaskannya, tetapi saya menikamnya dengan tombak saya sehingga saya membunuhnya. Ketika kami sampai di Madinah, berita itu telah sampai pada Nabi saw, beliau berkata kepada saya, “Hai Usamah, kenapa kamu membunuhnya padahal ia telah mengucapkan “La ilaha illallah?''
Saya menjawab, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia mengucapkan kalimat itu karena takut pada pedang.” Beliau bertanya: “Apakah sudah kamu belah dadanya sehingga kamu mengetahui isi hatinya; Apakah ia mengucapkan kalimat itu dengan setulus hati atau tidak?” Beliau berkali-kali mengulang pertanyaan itu, sehingga saya berangan-angan baru masuk Islam pada hari itu.”
Kisah di atas memberikan tuntunan kepada kita bahwa di dalam masalah hukum hendaknya seseorang berpegang pada asas fahkum bidhawahir, yakni menghukumi seseorang dilihat dari fakta lahiriyahnya dan amal perbuatan yang muncul darinya.
Sebab, hukum harus dikaitkan dengan aspek lahiriyah dan tidak boleh menyelisik apa yang ada dalam batin manusia. Itu karena yang dapat kita ketahui dari seseorang sebagai dasar pengambilan suatu keputusan adalah dari lahiriyahnya dan amal perbuatannya karena apa yang ada di dalam hatinya kita tidak akan mengetahuinya, hanya dia dan Allah SWT yang mengetahuinya.
Dari Umar bin Khattab ra, ia berkata dalam khutbahnya: “Sesungguhnya manusia di masa Rasulullah dituntut dengan wahyu. Sesungguhnya wahyu ini telah putus dan kami sekarang menuntut kamu dengan amal-amalmu yang kelihatan bagi kami.”
Bila kita memutuskan suatu hukuman terhadap orang lain berdasar fakta lahiriyah dan dari amal perbuatannya akan mencegah terjadinya kesalahan.
Selain itu, kita memiliki alat bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS al-Maidah [5]: 47).
Untuk itu, hukumilah seseorang berdasarkan fakta lahiriyahnya jangan berdasarkan asumsi atau dugaan kita. Adapun urusan batinnya, apakah batinnya jujur atau tidak kita serahkan perhitungannya kepada Allah SWT.
Akhirnya, untuk memperteguh sikap fahkum bidhawahir (hukum sesuai fakta) ini, Rasulullah saw mengingatkan; “Sesungguhnya aku manusia biasa dan jika kalian membawa perkara kepadaku dan barangkali sebagian dari kalian lebih kuat argumentasinya daripada sebagian yang lain, kemudian aku memutuskannya berdasarkan sesuatu yang aku dengar. Maka barang siapa aku putuskan mendapatkan sesuatu dari hak saudaranya, maka ia jangan mengambilnya, karena aku memberinya potongan dari neraka.” (Muttafaq Alaih).
, Oleh Moch Hisyam
sumber : www.republika.co.id
Sahabat Anshar tadi melepaskannya, tetapi saya menikamnya dengan tombak saya sehingga saya membunuhnya. Ketika kami sampai di Madinah, berita itu telah sampai pada Nabi saw, beliau berkata kepada saya, “Hai Usamah, kenapa kamu membunuhnya padahal ia telah mengucapkan “La ilaha illallah?''
Saya menjawab, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia mengucapkan kalimat itu karena takut pada pedang.” Beliau bertanya: “Apakah sudah kamu belah dadanya sehingga kamu mengetahui isi hatinya; Apakah ia mengucapkan kalimat itu dengan setulus hati atau tidak?” Beliau berkali-kali mengulang pertanyaan itu, sehingga saya berangan-angan baru masuk Islam pada hari itu.”
Kisah di atas memberikan tuntunan kepada kita bahwa di dalam masalah hukum hendaknya seseorang berpegang pada asas fahkum bidhawahir, yakni menghukumi seseorang dilihat dari fakta lahiriyahnya dan amal perbuatan yang muncul darinya.
Sebab, hukum harus dikaitkan dengan aspek lahiriyah dan tidak boleh menyelisik apa yang ada dalam batin manusia. Itu karena yang dapat kita ketahui dari seseorang sebagai dasar pengambilan suatu keputusan adalah dari lahiriyahnya dan amal perbuatannya karena apa yang ada di dalam hatinya kita tidak akan mengetahuinya, hanya dia dan Allah SWT yang mengetahuinya.
Dari Umar bin Khattab ra, ia berkata dalam khutbahnya: “Sesungguhnya manusia di masa Rasulullah dituntut dengan wahyu. Sesungguhnya wahyu ini telah putus dan kami sekarang menuntut kamu dengan amal-amalmu yang kelihatan bagi kami.”
Bila kita memutuskan suatu hukuman terhadap orang lain berdasar fakta lahiriyah dan dari amal perbuatannya akan mencegah terjadinya kesalahan.
Selain itu, kita memiliki alat bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS al-Maidah [5]: 47).
Untuk itu, hukumilah seseorang berdasarkan fakta lahiriyahnya jangan berdasarkan asumsi atau dugaan kita. Adapun urusan batinnya, apakah batinnya jujur atau tidak kita serahkan perhitungannya kepada Allah SWT.
Akhirnya, untuk memperteguh sikap fahkum bidhawahir (hukum sesuai fakta) ini, Rasulullah saw mengingatkan; “Sesungguhnya aku manusia biasa dan jika kalian membawa perkara kepadaku dan barangkali sebagian dari kalian lebih kuat argumentasinya daripada sebagian yang lain, kemudian aku memutuskannya berdasarkan sesuatu yang aku dengar. Maka barang siapa aku putuskan mendapatkan sesuatu dari hak saudaranya, maka ia jangan mengambilnya, karena aku memberinya potongan dari neraka.” (Muttafaq Alaih).
, Oleh Moch Hisyam
sumber : www.republika.co.id