Oleh: TANDI SKOBER
Adakah jiwa manusia Nusantara terlukis di kelir batik? Tentu, tak jelas. Tapi ketika 2 Oktober 2010 Unesco PBB mencanangkan batik sebagai international heritage yang berasal dari Indonesia, nalarku liar ke ruang masa silam Nusantara. Terbetik cerita, batik bermula dari Tari Panji. Saat itu, sepi menepi. Ratu Siwa sedakep sinuku tunggal menghadapi kedok Panji, getah putih, getih merah, dan alat pembatik canting jali. Sabda Palon dan Naya Genggong menabuh gending "Manunggaling Kawula Gusti". Tak jauh dari Ratu Siwa terlihat keluarga raja mematut diri bersimpuh di hadapan jasad telanjang cah ayu yang tetap perawan sepanjang hayat bernama Prawan Sunti.
Tari Panji pun bergerak dalam ruang yang hening. Dengan mengenakan kedok Panji, Ratu Siwa meninting canting jali berisi cairan getah dan getih. Gamelan megatruh mengalun. Canting jali pun melukisi tubuh Cah Ayu Prawan Sunti. Tiap kali satu garis diakhiri tusukan ujung lancip canting jali --sebuah titik pemberhentian-- rintihan pedih cah ayu menjadi aura ritual yang menghentak.
Rintihan itu mengalir pedih, "Di langit tubuhmu bening, bagai sepasang sayap kupu-kupu belum dilukis oleh benda-benda, oleh pelbagai cuaca, oleh air mata. Bersyukurlah kau jadi orang yang tak ada. Bertahanlah terus untuk tak ada. Tak pernah ada!" (Kumpulan puisi "Setelah Hari Keenam" Ahmad Nurullah).
Bermula dari sini kelir batik menyejarah. Ada gumam lirih bahwa megatruh bermakna memecat ruh. Mereka meyakini dalam getah pohon berwarna putih dan getih manusia berwarna merah --yang kelak kerap disebut bubur merah putih-- ada eksitensi Sang Hyang Tunggal yang awang-uwung. Hal itu yang membuat Topeng Panji berwarna putih, bersih tanpa hiasan. Hal itu pula yang mendasari Tari Panji miskin gerak. Diam yang kosong.
Emanasi kelir batik Topeng Panji pun jadi geger-rerungon di era Majapahit delapan abad yang lalu. Tak aneh manakala dalam Tari Panji berkelir batik ada pernik-pernik filosofi sinkretisme Hindu-Budha sekaligus wejangan bagaimana manusia Jawa harus memosisikan kekuasaan. Topeng ini mengajarkan bahwa hanya raja yang berhak memakai kedok yang terbuat dari emas intan permata mutu manikam itu. Hanya raja yang berhak menari diiringi gemuruh gamelan. Sebab kedok dan gamelan adalah pertanda kekuasaaan. Sebab raja adalah titisan perwujudan penguasa alam raya. Raja adalah percikan suci Sang Hyang Tunggal. Sebab raja adalah Gusti dan rakyat adalah kawula. Bahkan dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan Hayam Wuruk menarikan topeng emas atapel di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit.
Hingga ketika Majapahit runtuh pada 1525M dan nur Islam mulai menjadi pelangi di tanah Jawa, Kedok Panji diapresiasi menjadi bagian dari seni politik Islam. Tarian kedok Majapahit itu diadopsi sebagai alat legitimasi politik. Maklum, kekuasaan ternyata juga butuh simbol dan itu ada pada kelir batik dan Kedok Panji. Tak aneh manakala di kaki Gunung Lawu, lihatlah Raden Patah menari Klana di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Raden Patah ingin mengatakan kepada Brawijaya bahwa kini bukan Hayam Wuruk yang layak memakai kedok Panji. Raja Majapahit Brawijaya tidak lebih dari sang penonton.
Cahaya Islam pun bertkelebat. Tapi ada yang terluka. Sebut saja Dewi Lanjar dari Pekalongan. Dewi Lanjar adalah seorang janda yang konon belum tersentuh jin dan manusia. Sejak Raja Majapahit Brawijaya lengser, ia kerap tercenung. Dan dalam ruang yang tak terlalu terang, ia tulisi kain putih dengan canting jali. Ada gumam lirih tiap kali canting jali itu alirkan garis-garis nasib dirinya. "Kang murub dipuncipta malih dumateng Gusti Hyang Maha Agung nuli keringet kinclong."
Keringat Kinclong itu menjadi warna batik Dewi Lanjar. Bermula dari sini, batik tidak hanya sekadar lukisan si canting jali juga geliat kultural holistis yang melahirkan banyak mitos. Dalam batik ada pertanda zaman. Tanda ketika sebuah peradaban memiliki syahwat sekaligus jenis kelamin tertentu. Motif Lereng pada patung Siwa di Candi Dieng, motif Ceplok di Candi Banon, motif Sangeang yaitu gabungan antara deretan titik dengan garis sejajar di zaman perunggu di Bima, motif Liris dari Ngemplak, Ceplok, Kawung, Sido-mekti hingga motif Semen di dinding Masjid tua kompleks makam Ratu Kalinyamat, Mantingan Selatan Japara tahun 1559 adalah deret tetenger zaman. Adalah jiwa sejarah dari masa lalu yang tetap memikat untuk disimak.
Oleh sebab itu, Kanjeng Sinuhun Sunan Kalijaga memediasi sinkretisme tidak hanya melalui pagelaran wayang melainkan juga lewat sentuhan apik canting jali batik. Ia mengajari Dewi Lanjar banyak hal tentang berbagai hal. Bahkan ia mengajarkan huruf Arab melalui torehan canting jali. "Huruf ba diberi titik jadilah batik," menjadi ajaran segar yang khas.
Tak aneh, manakala dalam batik ada wajah sejarah. Ada dakwah. Ada kearifan syahwat peradaban. Motif Mega Mendung khas Cirebon, misalnya, mengajarkan bahwa usai langit disekat gelap terbitlah awan putih mega pencerah kalbu. Batik pada di titik terjauh tidak sekadar penutup aurat, juga budaya adiluhung.
Utak-atik sejarah batik dari ruang metafisika mengingatkan saya akan ujaran Dewi Lanjar, "Saya merasa tetap menjadi seorang janda," ucap sang Dewi, "Saya hanya ingin mengatakan bahwa batik itu berawal dari huruf ba diberti titik. Batik."
"Huruf ba diberi titik?"
Dewi Lanjar mengangguk. Anggukan yang tidak saya mengerti. Tak jelas untuk siapa. Tapi dari ruang muram kamar kerjaku, entah mengapa, kini ujung jemari saya sering membuat huruf arab ba. Telunjukku laksana canting jali torehkan garis melengkung di atas kain kafan putih. Mirip perahu Nuh yang diberi titik. Mirip mangkuk-mangkuk syahwat yang diberi titik. Mirip kolam kelam Indonesia yang diberi titik. Mirip kubangan kuburan yang diberi titik. Telunjukku itu kini laksana canting jali yang torehkan garis melengkung di atas kain kafan putih. (Ketua Dewan Syuro Lingkar Dialog Kebudayaan Cirebon)**
Sumber: Galamedia
Adakah jiwa manusia Nusantara terlukis di kelir batik? Tentu, tak jelas. Tapi ketika 2 Oktober 2010 Unesco PBB mencanangkan batik sebagai international heritage yang berasal dari Indonesia, nalarku liar ke ruang masa silam Nusantara. Terbetik cerita, batik bermula dari Tari Panji. Saat itu, sepi menepi. Ratu Siwa sedakep sinuku tunggal menghadapi kedok Panji, getah putih, getih merah, dan alat pembatik canting jali. Sabda Palon dan Naya Genggong menabuh gending "Manunggaling Kawula Gusti". Tak jauh dari Ratu Siwa terlihat keluarga raja mematut diri bersimpuh di hadapan jasad telanjang cah ayu yang tetap perawan sepanjang hayat bernama Prawan Sunti.
Tari Panji pun bergerak dalam ruang yang hening. Dengan mengenakan kedok Panji, Ratu Siwa meninting canting jali berisi cairan getah dan getih. Gamelan megatruh mengalun. Canting jali pun melukisi tubuh Cah Ayu Prawan Sunti. Tiap kali satu garis diakhiri tusukan ujung lancip canting jali --sebuah titik pemberhentian-- rintihan pedih cah ayu menjadi aura ritual yang menghentak.
Rintihan itu mengalir pedih, "Di langit tubuhmu bening, bagai sepasang sayap kupu-kupu belum dilukis oleh benda-benda, oleh pelbagai cuaca, oleh air mata. Bersyukurlah kau jadi orang yang tak ada. Bertahanlah terus untuk tak ada. Tak pernah ada!" (Kumpulan puisi "Setelah Hari Keenam" Ahmad Nurullah).
Bermula dari sini kelir batik menyejarah. Ada gumam lirih bahwa megatruh bermakna memecat ruh. Mereka meyakini dalam getah pohon berwarna putih dan getih manusia berwarna merah --yang kelak kerap disebut bubur merah putih-- ada eksitensi Sang Hyang Tunggal yang awang-uwung. Hal itu yang membuat Topeng Panji berwarna putih, bersih tanpa hiasan. Hal itu pula yang mendasari Tari Panji miskin gerak. Diam yang kosong.
Emanasi kelir batik Topeng Panji pun jadi geger-rerungon di era Majapahit delapan abad yang lalu. Tak aneh manakala dalam Tari Panji berkelir batik ada pernik-pernik filosofi sinkretisme Hindu-Budha sekaligus wejangan bagaimana manusia Jawa harus memosisikan kekuasaan. Topeng ini mengajarkan bahwa hanya raja yang berhak memakai kedok yang terbuat dari emas intan permata mutu manikam itu. Hanya raja yang berhak menari diiringi gemuruh gamelan. Sebab kedok dan gamelan adalah pertanda kekuasaaan. Sebab raja adalah titisan perwujudan penguasa alam raya. Raja adalah percikan suci Sang Hyang Tunggal. Sebab raja adalah Gusti dan rakyat adalah kawula. Bahkan dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan Hayam Wuruk menarikan topeng emas atapel di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit.
Hingga ketika Majapahit runtuh pada 1525M dan nur Islam mulai menjadi pelangi di tanah Jawa, Kedok Panji diapresiasi menjadi bagian dari seni politik Islam. Tarian kedok Majapahit itu diadopsi sebagai alat legitimasi politik. Maklum, kekuasaan ternyata juga butuh simbol dan itu ada pada kelir batik dan Kedok Panji. Tak aneh manakala di kaki Gunung Lawu, lihatlah Raden Patah menari Klana di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Raden Patah ingin mengatakan kepada Brawijaya bahwa kini bukan Hayam Wuruk yang layak memakai kedok Panji. Raja Majapahit Brawijaya tidak lebih dari sang penonton.
Cahaya Islam pun bertkelebat. Tapi ada yang terluka. Sebut saja Dewi Lanjar dari Pekalongan. Dewi Lanjar adalah seorang janda yang konon belum tersentuh jin dan manusia. Sejak Raja Majapahit Brawijaya lengser, ia kerap tercenung. Dan dalam ruang yang tak terlalu terang, ia tulisi kain putih dengan canting jali. Ada gumam lirih tiap kali canting jali itu alirkan garis-garis nasib dirinya. "Kang murub dipuncipta malih dumateng Gusti Hyang Maha Agung nuli keringet kinclong."
Keringat Kinclong itu menjadi warna batik Dewi Lanjar. Bermula dari sini, batik tidak hanya sekadar lukisan si canting jali juga geliat kultural holistis yang melahirkan banyak mitos. Dalam batik ada pertanda zaman. Tanda ketika sebuah peradaban memiliki syahwat sekaligus jenis kelamin tertentu. Motif Lereng pada patung Siwa di Candi Dieng, motif Ceplok di Candi Banon, motif Sangeang yaitu gabungan antara deretan titik dengan garis sejajar di zaman perunggu di Bima, motif Liris dari Ngemplak, Ceplok, Kawung, Sido-mekti hingga motif Semen di dinding Masjid tua kompleks makam Ratu Kalinyamat, Mantingan Selatan Japara tahun 1559 adalah deret tetenger zaman. Adalah jiwa sejarah dari masa lalu yang tetap memikat untuk disimak.
Oleh sebab itu, Kanjeng Sinuhun Sunan Kalijaga memediasi sinkretisme tidak hanya melalui pagelaran wayang melainkan juga lewat sentuhan apik canting jali batik. Ia mengajari Dewi Lanjar banyak hal tentang berbagai hal. Bahkan ia mengajarkan huruf Arab melalui torehan canting jali. "Huruf ba diberi titik jadilah batik," menjadi ajaran segar yang khas.
Tak aneh, manakala dalam batik ada wajah sejarah. Ada dakwah. Ada kearifan syahwat peradaban. Motif Mega Mendung khas Cirebon, misalnya, mengajarkan bahwa usai langit disekat gelap terbitlah awan putih mega pencerah kalbu. Batik pada di titik terjauh tidak sekadar penutup aurat, juga budaya adiluhung.
Utak-atik sejarah batik dari ruang metafisika mengingatkan saya akan ujaran Dewi Lanjar, "Saya merasa tetap menjadi seorang janda," ucap sang Dewi, "Saya hanya ingin mengatakan bahwa batik itu berawal dari huruf ba diberti titik. Batik."
"Huruf ba diberi titik?"
Dewi Lanjar mengangguk. Anggukan yang tidak saya mengerti. Tak jelas untuk siapa. Tapi dari ruang muram kamar kerjaku, entah mengapa, kini ujung jemari saya sering membuat huruf arab ba. Telunjukku laksana canting jali torehkan garis melengkung di atas kain kafan putih. Mirip perahu Nuh yang diberi titik. Mirip mangkuk-mangkuk syahwat yang diberi titik. Mirip kolam kelam Indonesia yang diberi titik. Mirip kubangan kuburan yang diberi titik. Telunjukku itu kini laksana canting jali yang torehkan garis melengkung di atas kain kafan putih. (Ketua Dewan Syuro Lingkar Dialog Kebudayaan Cirebon)**
Sumber: Galamedia
thx ya opiniku disharing... ini dicopas dari koran mana neeee?