Jalan Braga bagaikan mata air yang tak pernah kering bagi seniman. Dari dulu hingga sekarang banyak karya seni yang terinspirasi oleh Jln. Braga. Pada Braga Festival 2011, 23-25 September, pengunjung dapat menikmati karya seni yang lahir dari persentuhan para seniman dengan jalan legendaris tersebut.
Dari sekian banyak performance art di gelaran Braga Festival 2011, instalasi aspal layak untuk disimak. Instalasi yang dipamerkan di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK), Jln. Naripan ini mengajak para pengunjung untuk lebih jauh mengenal Jln. Braga.
Instalasi karya Tisna Sanjaya ini lebih menyoroti kebobrokan dan kehancuran Jln. Braga setelah diganti dari aspal dengan batu andesit. Karya seni berupa tumpukan drum aspal yang sudah kosong ini --sebagian bertuliskan ekspresi seni untuk jalan serta aspal untuk Jln. Braga-- menggambarkan dukungan seniman terhadap perubahan Jln. Braga. Namun bukan mendukung atau meminta Jln. Braga diaspal kembali. Instalasi ini merupakan bentuk keprihatinan seniman pada kondisi Jln. Braga saat ini.
"Instalasi ini saya buat untuk mengingatkan Pemerintah Kota Bandung untuk segera memperbaiki Jln. Braga yang amburadul," ujar Tisna yang ditemui di Gedung YPK, Jln. Naripan Bandung, Jumat (23/9).
Menurut Tisna, dengan kondisi Jln. Braga yang rusak, dirinya sangat yakin masyarakat pengguna sangat terganggu. Bahkan ada beberapa di antaranya yang mengalami kecelakaan, sehingga menimbulkan trauma dan tidak mau melintas di Jln. Braga lagi. "Pemerintah mungkin juga tahu, namun kepedulian untuk segera memperbaiki jauh panggang dari api," katanya.
Berbarengan dengan gelaran Braga Festival, Tisna Sanjaya bersama empat rekannya, Isa Perkasa, Rahmat Djabaril, Deden Sambas, dan Diyanto akan melakukan performance art berupa karya lukis di tengah-tengah Jln. Braga.
Karya mereka akan dilelang dan hasilnya akan disumbangkan ke Pemkot Bandung untuk perbaikan Jln. Braga. "Berapa pun hasilnya, kami akan serahkan ke Pemkot Bandung. Silakan saja mau dibelikan apa," ungkapnya.
Penuh sampah
Di tempat yang sama ada pula instalasi saluran air yang mampet akibat sampah, terutama sisa botol plastik bekas minuman mineral sepanjang 50 meter dengan berat 100 kg. Instalasi ini merupakan karya Isa Perkasa, yang menggambarkan kondisi saluran-saluran air di Kota Bandung yang dipenuhi sampah.
"Kita tidak bisa memungkiri, saluran air di Kota Bandung, mulai Sungai Cikapundung sampai selokan-selokan kecil dipenuhi sampah. Artinya, kepedulian masyarakat Bandung masih kurang," terangnya.
Botol dan gelas plastik ini, dikumpulkan Isa selama lebih dari seminggu di wilayah Ledeng, Kota Bandung. Bisa dibayangkan, jika sampah plastik dan botol serta gelas plastik se-Bandung dikumpulkan hasilnya bisa mencapai 100 ton lebih dalam sebulan.
"Makanya jangan sepelekan keberadaan tukung cindeuw (tukang pulung). Mereka telah berjasa mengurangi tumpukan sampah," ujar Isa.
Namun keberadaan para tukang cindeuw ini sering dianggap sepele, bahkan dianggap sampah oleh masyarakat. Bisa dibayangkan, jika sampah plastik, gelas dan botol plastik tidak dikumpulkan mereka, Kota Bandung menjadi kota lautan sampah. "Melalui instalasi ini, kami mengajak kesadaran masyarakat terhadap sampah," ujar Isa.
Dikeluhkan warga
Sementara itu, warga sekitar Jln. Braga, mengeluhkan pelaksanaan Braga Festival yang mengganggu aktivitas mereka. Terlebih pelaksanaan Braga Festival menurut mereka tidak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.
"Sebetulnya pelaksanaan Braga festival mengganggu aktivitas masyarakat yang ada di sekitar Braga. Terutama terkait masalah akses jalan yang ditutup panitia, sehingga untuk masuk wilayah ini pun sangat sulit dan harus seizin panitia," ujar Dadang Darmawan, salah seorang tokoh masyarakat di RW 08, Kel. Braga, Kec. Sumur, Bandung.
Selain itu, lanjutnya, pelaksanaan Braga Festival pun tidak memberikan kontribusi yang baik bagi perbaikan perekonomian warga sekitar. Apalagi selama ini peserta Braga Festival, terutama untuk stan kuliner, bukan diisi warga sekitar. Tetapi cenderung oleh para pengusaha yang berasal dari daerah lain.
Memang, tambahnya, panitia penyelenggara melibatkan beberapa warga sekitar untuk Braga Festival. Namun demikian peranan yang diberikan tidaklah signifikan. Terlebih warga hanya dilibatkan untuk pengamanan dan jaga parkir saja.
"Mestinya panitia memberikan fasilitas kepada masyarakat, untuk menampilkan produk kuliner di Braga Festival. Dengan demikian hal tersebut bisa berdampak positif bagi masyarakat," katanya.
Ia mengakui, panitia memang memberikan sebuah stan untuk digunakan oleh masyarakat. Namun hal tersebut kurang pas, karena jumlah masyarakat pengusaha kecil di Braga cukup banyak.
Hal senada diungkapkan Ketua RW 08 Imam Sadikin. Menurutnya, pelaksanaan Braga Festival selama ini tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar Braga. Terlebih hanya sebagian kecil masyarakat di sana yang dilibatkan. Itu pun hanya sebagai pelangkap dan bersifat formalitas.
"Sebetulnya harapan masyarakat, acara Braga Festival ditiadakan saja. Sebab tidak ada manfaatnya bagi masyarakat, malah membuat aktivitas masyarakat menjadi terganggu. Sebab sulit masuk dan keluar dari wilayahnya," katanya.
Ia menyebutkan, selama ini pelaksanaan Braga Festival tidak memberikan kontribusi yang baik bagi perekonomian masyarakat sekitar. Padahal kawasan Braga merupakan wilayah yang cukup potensial.
Pemerintah menggelar Braga Festival untuk mengangkat potensi yang ada di Jln. Braga, sehingga bisa menjadi daya tarik para wisatawan. Namun demikian, ironisnya, hal itu tidak berdampak bagi perekonomian masyarakat sekitar.
"Mestinya, pemerintah menjadikan wilayah Braga menjadi satu wilayah untuk wisata kuliner, sehingga masyarakat sekitar bisa dilibatkan di sana. Seperti di Marlioboro, setiap hari Sabtu dan Minggu lokasi tersebut selalu penuh oleh para wisatawan. Sehingga perekonomian masyarakat pun terangkat. Jadi tidak hanya pengusaha besar yang terlibat di sana," katanya. (kiki kurnia/agus hermawan/"GM")**
Dari sekian banyak performance art di gelaran Braga Festival 2011, instalasi aspal layak untuk disimak. Instalasi yang dipamerkan di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK), Jln. Naripan ini mengajak para pengunjung untuk lebih jauh mengenal Jln. Braga.
Instalasi karya Tisna Sanjaya ini lebih menyoroti kebobrokan dan kehancuran Jln. Braga setelah diganti dari aspal dengan batu andesit. Karya seni berupa tumpukan drum aspal yang sudah kosong ini --sebagian bertuliskan ekspresi seni untuk jalan serta aspal untuk Jln. Braga-- menggambarkan dukungan seniman terhadap perubahan Jln. Braga. Namun bukan mendukung atau meminta Jln. Braga diaspal kembali. Instalasi ini merupakan bentuk keprihatinan seniman pada kondisi Jln. Braga saat ini.
"Instalasi ini saya buat untuk mengingatkan Pemerintah Kota Bandung untuk segera memperbaiki Jln. Braga yang amburadul," ujar Tisna yang ditemui di Gedung YPK, Jln. Naripan Bandung, Jumat (23/9).
Menurut Tisna, dengan kondisi Jln. Braga yang rusak, dirinya sangat yakin masyarakat pengguna sangat terganggu. Bahkan ada beberapa di antaranya yang mengalami kecelakaan, sehingga menimbulkan trauma dan tidak mau melintas di Jln. Braga lagi. "Pemerintah mungkin juga tahu, namun kepedulian untuk segera memperbaiki jauh panggang dari api," katanya.
Berbarengan dengan gelaran Braga Festival, Tisna Sanjaya bersama empat rekannya, Isa Perkasa, Rahmat Djabaril, Deden Sambas, dan Diyanto akan melakukan performance art berupa karya lukis di tengah-tengah Jln. Braga.
Karya mereka akan dilelang dan hasilnya akan disumbangkan ke Pemkot Bandung untuk perbaikan Jln. Braga. "Berapa pun hasilnya, kami akan serahkan ke Pemkot Bandung. Silakan saja mau dibelikan apa," ungkapnya.
Penuh sampah
Di tempat yang sama ada pula instalasi saluran air yang mampet akibat sampah, terutama sisa botol plastik bekas minuman mineral sepanjang 50 meter dengan berat 100 kg. Instalasi ini merupakan karya Isa Perkasa, yang menggambarkan kondisi saluran-saluran air di Kota Bandung yang dipenuhi sampah.
"Kita tidak bisa memungkiri, saluran air di Kota Bandung, mulai Sungai Cikapundung sampai selokan-selokan kecil dipenuhi sampah. Artinya, kepedulian masyarakat Bandung masih kurang," terangnya.
Botol dan gelas plastik ini, dikumpulkan Isa selama lebih dari seminggu di wilayah Ledeng, Kota Bandung. Bisa dibayangkan, jika sampah plastik dan botol serta gelas plastik se-Bandung dikumpulkan hasilnya bisa mencapai 100 ton lebih dalam sebulan.
"Makanya jangan sepelekan keberadaan tukung cindeuw (tukang pulung). Mereka telah berjasa mengurangi tumpukan sampah," ujar Isa.
Namun keberadaan para tukang cindeuw ini sering dianggap sepele, bahkan dianggap sampah oleh masyarakat. Bisa dibayangkan, jika sampah plastik, gelas dan botol plastik tidak dikumpulkan mereka, Kota Bandung menjadi kota lautan sampah. "Melalui instalasi ini, kami mengajak kesadaran masyarakat terhadap sampah," ujar Isa.
Dikeluhkan warga
Sementara itu, warga sekitar Jln. Braga, mengeluhkan pelaksanaan Braga Festival yang mengganggu aktivitas mereka. Terlebih pelaksanaan Braga Festival menurut mereka tidak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.
"Sebetulnya pelaksanaan Braga festival mengganggu aktivitas masyarakat yang ada di sekitar Braga. Terutama terkait masalah akses jalan yang ditutup panitia, sehingga untuk masuk wilayah ini pun sangat sulit dan harus seizin panitia," ujar Dadang Darmawan, salah seorang tokoh masyarakat di RW 08, Kel. Braga, Kec. Sumur, Bandung.
Selain itu, lanjutnya, pelaksanaan Braga Festival pun tidak memberikan kontribusi yang baik bagi perbaikan perekonomian warga sekitar. Apalagi selama ini peserta Braga Festival, terutama untuk stan kuliner, bukan diisi warga sekitar. Tetapi cenderung oleh para pengusaha yang berasal dari daerah lain.
Memang, tambahnya, panitia penyelenggara melibatkan beberapa warga sekitar untuk Braga Festival. Namun demikian peranan yang diberikan tidaklah signifikan. Terlebih warga hanya dilibatkan untuk pengamanan dan jaga parkir saja.
"Mestinya panitia memberikan fasilitas kepada masyarakat, untuk menampilkan produk kuliner di Braga Festival. Dengan demikian hal tersebut bisa berdampak positif bagi masyarakat," katanya.
Ia mengakui, panitia memang memberikan sebuah stan untuk digunakan oleh masyarakat. Namun hal tersebut kurang pas, karena jumlah masyarakat pengusaha kecil di Braga cukup banyak.
Hal senada diungkapkan Ketua RW 08 Imam Sadikin. Menurutnya, pelaksanaan Braga Festival selama ini tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar Braga. Terlebih hanya sebagian kecil masyarakat di sana yang dilibatkan. Itu pun hanya sebagai pelangkap dan bersifat formalitas.
"Sebetulnya harapan masyarakat, acara Braga Festival ditiadakan saja. Sebab tidak ada manfaatnya bagi masyarakat, malah membuat aktivitas masyarakat menjadi terganggu. Sebab sulit masuk dan keluar dari wilayahnya," katanya.
Ia menyebutkan, selama ini pelaksanaan Braga Festival tidak memberikan kontribusi yang baik bagi perekonomian masyarakat sekitar. Padahal kawasan Braga merupakan wilayah yang cukup potensial.
Pemerintah menggelar Braga Festival untuk mengangkat potensi yang ada di Jln. Braga, sehingga bisa menjadi daya tarik para wisatawan. Namun demikian, ironisnya, hal itu tidak berdampak bagi perekonomian masyarakat sekitar.
"Mestinya, pemerintah menjadikan wilayah Braga menjadi satu wilayah untuk wisata kuliner, sehingga masyarakat sekitar bisa dilibatkan di sana. Seperti di Marlioboro, setiap hari Sabtu dan Minggu lokasi tersebut selalu penuh oleh para wisatawan. Sehingga perekonomian masyarakat pun terangkat. Jadi tidak hanya pengusaha besar yang terlibat di sana," katanya. (kiki kurnia/agus hermawan/"GM")**